Historiografi Lampung, Mau ke Mana?

Oleh Arman AZ
BILA Lampung diibaratkan sebuah buku tebal, banyak halamannya yang hilang. Akibatnya, siapa pun yang hendak “membaca” Lampung dari awal hingga akhir, akan “terganggu” dan niscaya kebingungan.
Satu sisi, mayoritas informasi sejarah-budaya Lampung masih berdasarkan, cerita turun-temurun, mitos, atau katanya. Di sisi lain sangat minim arsip, literatur atau dokumentasi yang dapat dijadikan rujukan ilmiah. Belum lagi sebagian pihak — tersebab “sentimensejarah” — meragukan arsip atau dokumentasi kuno jika sumbernya berbau kolonial atau Belanda.
Akhirnya, kita masih mengandalkan informasi atau rujukan yang itu-itu saja, nyaris tanpa upaya untuk mengkritisi, memikirkan-menafsir ulang dengan bantuan perangkat-perangkat ilmiah, hingga menghadirkan “menu” baru.
Seiring kemajuan zaman, banyak ragam ilmu pengetahuan yang dapat menjadi alat bantu untuk memverifikasi sebuah kisah, memudahkan masyarakat dalam menemukan data-data yang belum terungkap. Banyak perangkat ilmu untuk mendekati atau menguji sebuah ketepatan sejarah-budaya; filologi, antropologi, arkeologi, kartografi, geologi, vulkanologi, nautika, dan sebagainya.
Ada sejumlah contoh di depan mata kita yang menunjukkan klise, berlarut-larut, dan berlarat-laratnya permasalahan kebudayaan di Lampung.
Ambil contoh: dialek A dan O yang kerap timbul tenggelam sebagai perbalahan hingga menjadi dalih atau tersandera dalam “rumitnya pembelajaran Bahasa Lampung di sekolah”.
Padahal, dalam sumber primernya saja (tulisan Van Royen), tidak ada menyertakan kajian/analisis/apa pun istilahnya, yang menggiring dia hingga berkesimpulan bahwa bahasa Lampung dibagi dalam dialek A dan O. Apa yang dicetuskan Van Royen satu abad lalu, tanpa telisik/etimologi/kajian apa pun darinya, adalah “pepesan kosong”. Ironisnya, kita bagai kerbau dicucuk hidung, sampai saat ini masihkerapmengeluhkannya.
Jadi konyol rasanya jika kita masih “berpegang teguh” memertahankan keberadaan istilah “dialek A & dialek O”. Entah kalau memang pemerintah dan masyarakat Lampung memang ingin “melestarikan” kekonyolan semacam ini.
Masalah “turunan” lain setelah dialek A-O, adalah perdebatan tak kunjung usai tentang penggunaan “kh”, “gh”, atau “r” dalam penulisan bahasa Lampung. Dalam buku ini juga kita temukan dialektika tentang r/kh/gh yang pernah dimuat di sebuah koran harian di Lampung, ketika itu Udo Z Karzi menjadi redakturnya.
Contoh lain, sejarah masuk-berkembangnya Islam di Lampung, masih “berkabut” — itu lagi itu lagi – nyaris tanpa ada temuan atau informasi terbaru dari pemerintah daerah.
Data resmi menunjukkan masjid tertua di Lampung adalah Masjid Al Anwar di Telukbetung, dibangun 1838 (berdasarkan dokumentasi masjid bersangkutan) dan direnovasi tahun 1883 pasca letusan Krakatau. Hal itu memunculkan sederet pertanyaan: apakah sebelum 1838 dan 1883 tidak ada masjid/langgar/surau bagi aktivitas umat muslim di Lampung? Jika ada, di mana? Mengapa tidak tercatat dalam sejarah? Mengapa instansi pemerintah yang berkompeten abai mendokumentasikan/mengarsipkannya. Jika tidak ada secuil pun informasi tentang masjid lebih tua, mengapa?
Sementara jika kita melacak informasi di daerah bahkan negara lain, keberadaan masjid tua masih terawat dan masih ada fisiknya. Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yang pertama dilakukannya adalah membangun masjid Quba. Di Maluku, yang notabene masyarakatnya mayoritas non-muslim, masjid tertuanya (Masjid Wapauwe) yang dibuat tahun 1414 masih tegak berdiri. Di Cina, yang dianggap negara komunis, bahkan masjid batu yang dibangun abad ke-7, masih berdiri tegak.
Masih banyak lagi fakta dan data yang jika diverifikasi, di-cross-check, dengan data lainnya, ternyata ada kontradiksi bahkan silang sengkarut. Itulah “halaman-halaman yang hilang” tentang Lampung, misalnya ihwal kerajaan Tulangbawang yang tak ada jejaknya, Krakatau, muasal orang Lampung, situs-situs, piil pesenggiri dalam konteks masa kini, tentang sebaran prasasti di Lampung, romantisme kopi Lampung, memori lada Lampung, dan lain sebagainya.
Ada semacam missing link, kerumpangan, dalam kronik sejarah-budaya Lampung, ada sejumlah kekeliruan setelah ditemukan data dan arsip tua. Kekeliruan ini yang selama puluhan tahun “dipercaya”, “diikuti”, “dimahfumi”, dijadikan “halang-rintang” dalam pengembangan budaya Lampung, justru oleh masyarakat Lampung sendiri.
***
Lampung hanya berjarak setengah jam via pesawat dari Jakarta. Kedekatan geografis itu tidak seiring sejalan dengan pembangunan budaya dan pembangunan manusia. Beberapa tahun belakangan, sejumlah kalangan mengeluhkan (lagi) tiadanya fakultas ilmu budaya di Lampung dengan harapan ada institusi yang tepat untuk “meredefinisi” kebudayaan Lampung. Dan nyatanya, sampai sekarang harapan itu tetap atau belum terwujud. Memang ada alumni fakultas sejarah dan budaya dari universitas di luar Lampung. Namun, sumbangsih mereka terhadap sejarah-budaya Lampung tidak muncul karena beragam faktor.
Sampai saat ini sangat langka kajian “segar”, anyar, komprehensif dan rigid tentang sejarah-budaya Lampung. Mulai dari etimologi sampai fungsi dan perannya dalam kehidupan masa kini di Lampung. Karena keengganan pada sebagian masyarakat Lampung, terutama instansi yang berwenang – baik itu pemerintah maupun lembaga yang mengatasnamakan sejarah-budaya Lampung – untuk menggali lebih dalam dan memperluas cakrawala pandang terhadap “kelampungan”, menemukan kembali potongan-potongan halaman yang hilang.
Kritik layak ditujukan kepada pemerintah daerah yang mestinya berada di depandalamupayapenggalian-pengembanganbudaya Lampung. Pemerintah, dari tahun ke tahun masih sibuk dengan acara seremonial, festival-festival. Penelitian macam apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Lampung, tentang kebudayaan Lampung, yang dilakukan selama bertahun-tahun secara intens-konsisten?
Jika pun ada kabupaten atau dinas yang menggarap pekerjaan yang berkaitan dengan sejarah-budaya, sifatnya temporer, hanya berorientasi proyek. Sementara, kerja kebudayaan adalah kerja panjang. Bagaimana mungkin mendapatkan hasil maksimal bila penelitian tentang khazanah budaya Lampung hanya dilakukan beberapa bulan, dana terbatas, belum lagi potongan sana-sini yang sudah jadi rahasia umum.
“Pondasi” Lampung belum kokoh. Lampung seperti “kehilangan silsilah”. Masih banyak kepingan puzzle yang berserakan belum terangkai utuh. Jangan-jangan kita sudah terlalu lama “gede rasa” (ge-er) bahwa urusan sejarah Lampung sudah selesai sekian tahun lalu. Jangan-jangan kita selama ini “ge-er”, bahwa kebudayaan Lampung itu “adiluhung”.
***
Tahun 2020, Udo Z. Karzi, salah satu sastrawan Lampung, berusia setengah abad. Di tahun yang sama, Provinsi Lampung berusia 74 tahun. Buku ini, di satu sisi, menjadi memorabilia Udo Z. Karzi, dan di sisi lain, memorabilia terhadap pembangunan kebudayaan di Lampung.
Sebagian masyarakat sipil di Lampung bahkan melampaui hak dan kewajibannya dalam melestarikan-mengembangkan kebudayaan di Lampung. Apa yang mestinya menjadi ranah atau tanggungjawab pemerintah, justru dilakukan oleh mereka, atas inisiatif, upaya, bahkan dana masing-masing. Mereka bekerja dalam senyap; asyik sendiri mencari, menemukan, memetakan ulang, menyusun perlahan, ihwal sejarah-budaya Lampung. Udo Z Karzi adalah satu dari sejumlah individu yang konsisten melakukan upaya tersebut.
Tulisan ini, juga sosok dan kiprah Udo Z Karzi dalam ranah sejarah panjang kebudayaan Lampung, adalah semacam “provokator” bagi sekian banyak pihak agar serius-intens-dan konsistenlah merawat-membangun kebudayaan Lampung.
Harus diakui, mesin ekosistem kebudayaan Lampung belum berjalan baik. Kata “sinergi” dalam konteks kebudayaan masih pemanis mulut belaka. Seluruh komponen berjalan sendiri-sendiri, terkesan sporadis atau insidentil.
Sesungguhnya, Lampung macam apa yang akan diwariskan untuk generasi kita kelak? Dalam seluruh aspek kehidupan, apa yang bisa dibanggakan Lampung dihadapan provinsi lain, bahkan negara lain? Ini tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat Lampung.
Pembangunan manusia (Lampung) yang meliputi banyak hal, seperti pembangunan nalar, pembangunan etik, pembangunan etos kerja, pembangunan piil. Masih ada harapan di tangan generasi muda Lampung. Merekalah yang kelak melanjutkan tongkat estafet sejarah-biografi Lampung.
Benar, kita harus optimis menyikapi-menghadapi masa depan kebudayaan di Lampung. Di lintasan berbeda, kita juga harus merawat pesimisme-skeptisisme melihat kenyataan kurangnya daya kreatif-inovatif terhadap kebudayaan Lampung. Dari situlah, muncul ide, gerakan konkret.
Meski terkesan klise, nampaknya harus ada upaya terus menerus untuk memperluas ruang dialog seluruh komponen masyarakat Lampung yang peduli, intens, dan konsisten terhadap nasib masa depan kebudayaan Lampung. []
——–
* Ditulis untuk buku Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (dalam proses terbit).
