Kedalaman Proses dari Sebuah Teater

Oleh F. Moses
Judul : Di Balik Terang Cahaya: Catatan Proses Aktor Teater Satu
Penulis : Imas Sobariah, dkk
Penerbit : Pustaka LaBRAK
Cetakan : I, 2016
ISBN : 9786029677317
Tebal : 329 halaman
TEATER tak sekadar pertunjukan belaka bagi kepuasan aktor dan penonton di dalamnya. Lebih dari itu, pelbagai catatan menyoal seni berteater berpotensi memberi ragam dampak bagi lingkungannya; baik masyarakat pemerhati maupun pengrajin seni—bahkan masyarakat “gagap seni” sekalipun (semata menonton pertunjukan) terhadap sebuah teater. Maka catatan dirasa sudah tak lagi cukup dari “riuh tepuk tangan” dan apresiasi, karena ada lebih mesti dipahami: menyoal kedalaman dari sebuah proses teater terjadi. Hal terpenting juga, Teater Satu yang didirikan oleh Iswadi Pratama dan Imas Sobariah pada 1996 di Lampung, dalam perjalanan kreativitas seni pertunjukan sekaligus laboratorium penelitian dan penerbitan, dianggap perlu untuk berbagi kedalaman proses bagi “masyarakatnya”. Buku Di Balik Terang Cahaya pun mesti diakui, bahwa catatan atas proses mereka selama ini memang cara terbaik untuk disosialisasikan bagi masyarakat penggiat maupun pemerhati.
Buku Di Balik Terang Cahaya jelas dan praksis membahas perjalanan dari setiap aktor dalam mereportasekan kedalaman pengalamannya, seperti Budi Laksana Aku Berteater Maka Aku Ada; Hendri Rosevelt Aktor, Bukan Pesohor; Andriyan Dwi Prawersthi Teater dan Sebuah Nada yang Lirih; Ruth Marini Sebuah Peran yang Menjelma; Hamidah Sherpa Melampaui Tubuh, Menjelmakan Ruh; Rarae Masae Soca Wening Ati Sebuah Dunia yang Penuh Imajinasi; Nersalya Renata Aku Belum Berakhir; Deri Efwanto Seribu Kali Kalah Untuk Satu Kebenaran; Sugianto Jayen Segelas Kopi, Sebatang Rokok, dan Ingatan-Ingatan Tentang Panggung; Erika Bunga Berteater Karena Masuk Akal; Baysa Deni Dari Pelosok Lampung Menjelajah Panggung; Vita Oktaviana Jalan Sunyi Seorang Aktor; Desi Susanti Bangun! Dan Remukan Dirimu, Seribu Kali; Raras Shinta Tetaplah Jadi Pemula; Gandi Maulana Panggung dan Sebuah Obscuritas; Dwi Novita Transformasi yang Belum Selesai; Imam Setia Hagi 365 Hari Tanpa Pementasan; Ema Luthfiani Kesaksian dalam Nada Lirih; dan Ahmad Jusmar Cahaya, Tanpa Puisi Kata-Kata. Mereka bukan sekadar melaporkan perjalanan kehidupan teater dengan segala pergumulannya, melainkan ada capaian hendak ditunai, yakni usaha “mentransformasikan energi” yang tak terlihat dari balik panggung menjadi bacaan menarik.
Transformasi
Buku Di Balik Terang Cahaya bukan petunjuk apalagi kiat atau bagaimana benar-salah dari sebuah teater dengan aturan di dalamnya, tapi reposrtase pengisahan yang, kalau boleh dibilang mampu, sarat keberbagian transformasi beragam dampak; seperti dari yang merasa semakin eksis lantaran berteater, keberhasilan relatif kehidupan yang mesti tetap ditopang dengan kerendahan hati, kehidupan yang dirasa lebih imajinatif, kesenantiasaan kesabaran dari peliknya kehidupan, usaha untuk terus menampilkan sesuatu lebih berbeda dari perjalanan kehidupan, dan transformasi lain menyoal kehidupan dengan penyampaian lugas dan apa adanya dari para aktor. Meski tak semua aktor yang pernah berproses di Teater Satu sejak berdiri pada 1996 menuliskan catatan proses kreatif, tapi setidaknya sampai 2016 ini adalah capaian tindak nyata mereka—bahwa proses dunia teater yang di dalamnya pernah terjadi sikap “datang dan pergi” dari sekian aktor yang pernah proses, mampu menampilkan puncak kesetiaan dari para aktor hingga mereka menulis untuk berbagi transformasi bagi pembaca dari buku ini.
Tak sekadar pengakuan di atas, seorang Deri Efwanto dalam catatannya, menyoal Seribu Kali Salah Untuk Satu Kebenaran, ia seperti hendak membenturkan pelbagai cara manusia dalam berkehidupan tanpa sepatah pun mengajari apalagi menggurui. Mulai dari ketakpahamannya tentang teater hingga sedemikian dahyatnya mempertaruhkan masa depannya—sebuah kebimbangan pada masa ia mesti memilih jalan kehidupan antara dunia kerja sebagaimana biasa dan teater.
Kedalaman Proses
Catatan dari proses para aktor Teater Satu masih beragam untuk disimak satu per satu. Setiap aktor memiliki kekhasan pesona “derita dan bahagia”nya masing-masing. Akan tetapi, kedalaman proses juga merupakan sebuah tindakan relatif bagi pembacanya. Maksudnya, kerawanan pembaca memilah di antara masing-masing kedalaman dari apresiasi para aktor terhadap dunia teater yang digelutinya akan membuat kajian perbandingan tersendiri. Terlebih bagi pembaca yang, mungkin kebetulan, juga berkedudukan sama dari sekian banyak aktor teater di negeri ini—menimbulkan terbukanya ruang ambivalensi terhadap kedalaman berproses.
Tapi kedalaman Di Balik Terang Cahaya sudah melakukan “kejujuran” bahkan kesungguhan berteaternya tersendiri. Maksudnya, selain keterbukaannya menampilkan setiap gagasan di atas panggung, mereka seperti paham akan pentingnya “kesenian dalam kehidupan”—bukan “kehidupan dalam kesenian”. Karena mereka secara tak langsung, selain memanusiakan manusia melalui wilayah panggung, juga mempertanggungjawabkannya pada sebuah teks yang telah dibukukan.
Kedalaman proses merupakan tantangan menggairahkan bagi Teater Satu. Kesadaran akan kedalaman hari ini semoga sekaligus mampu mengeksistensikan daya konsistensi para aktornya; bahwa akan selalu ada kedalaman di dalam kedalaman untuk terus mereka gali dan kembangkan.
Maka, kerawanan terhadap “kedalaman pengakuan proses aktor” bukanlah hal “menakutkan”, melainkan sikap ketulusan teks yang tak perlu disangsikan lagi—karena Di Balik Terang Cahaya, mereka berkenan melampaui batas pengakuan. []
