Pustaka

Sunyi, Refleksi, Literasi…

TEROR Cofid-19 belum juga berhenti dan benar-benar membuat dunia tercekat. Siang malam ‘setan’ (bukan: malaikat maut!) mengintai. Tidak memilih orang, tidak memilih tempat, tidak pula memilih waktu. Dalam cerita-cerita honor, sekian banyak orang musnah menyisakan sepasang, paling tidak segelintir orang saja yang selamat.

Siapakah yang akan selamat? Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu. Tapi, upaya-upaya antisasi tetap harus dilalukan. Untuk memutus mata rantai penyebaran Cofid-19 beberapa hal disaran, mulai dari rajin mencuci tangan, mengenakan masker, menghindari bersentuhan, tidak menyentuh area wajah, menggunakan etika ketika bersih dan batuk, menghindari berbagi barang pribadi, membersihkan perabot rumah, menghindari kerumunan dan menjaga jarak minimal 1 meter, selalu mencuci bahan makanan hingga meningkatkan daya imunitas tubuh.

Sejauh kita melaksanakan saran-saran kebersihan dan kesehatan ini, kita punya harapan kondisi yang sangat mencemaskan ini segera berakhir.

***

Itu sudah, tetapi ternyata timbul lagi kekhawatiran baru. Saat sedang menulis esai ini, muncul sinyalemen baru: penyebaran virus corona atau Covid-19 di Tanah Air akan mengalami puncaknya pada Juli 2020. Pernyataan ini justru keluar dari mulut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Cofid-19 Letjen TNI Doni Monardo dengan mendasarkan Badan Intelijen Negara (BIN). Doni dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR yang dilakukan secara virtual pada Kamis (2/4/2020), dituliskan sebanyak 106.287 kasus akan tercatat di periode puncak itu. Masih berdasarkan kajian BIN yang dipaparkan Doni, kasus virus corona akan mengalami peningkatan setiap bulannya sebelum mencapai puncak, 1.577 di akhir Maret, 27.307 di akhir April, 95.451 di akhir Mei, dan 105.765 di akhir Juni.

Pukulan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya terhadap negeri ini sangat besar kalau membaca kajian BIN. Apalagi jika ditelan mentah-mentah oleh masyarakat awam. Kecemasan pun kian menjadi-jadi. Harus ada kecerdasan literasi dalam membaca informasi. Kajian mungkin tidak salah. Tapi, tentu ada ada penelitian lain, yang bisa membuat kita lebih positif memandang masa depan kita. 

Selain BIN, beberapa lembaga penelitian dan ilmuwan di Indonesia telah merilis hasil penelitian terkait prediksi titik puncak penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia, di antaranya Pusat Permodelan Matematikan dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB), Ilmuwan Pengenalan Pola dari Pemda DI Yogyakarta, Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Ilmuwan Matematika dari UNS (Universitas Sebelas Maret hingga gabungan tim dari UGM (Universitas Gadjah Mada).

Mayoritas dari penelitian-penelitian yang dilakukan bersumber dari data yang sama, yaitu data penambahan jumlah kasus penyebaran Covid-19 yang diperbarui harian oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Secara umum, penelitian-penelitian itu menyimpulkan,  periode titik puncak mayoritas penelitian memprediksi terjadi sekitar bulan Mei 2020. Pada periode ini, diprediksi pertambahan jumlah kasus harian sudah mulai melambat. Periode kritis diprediksi terjadi pada minggu kedua bulan April hingga awal Mei 2020 di mana tingkat pertambahan harian akan meningkat cukup tajam. Periode pemulihan diprediksi paling cepat pada 110 hari hingga 150 hari.

Mana yang benar puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia, Mei atau Juli 2020? Wallahu ‘alam! Yang penting dilakukan semua pihak adalah mengikuti semua saran dan rekomendasi untuk menghentikan mata rantai persebaran Cofid-19. Dengan begitu, diharap bencana ini segera berlalu.

***

Pandemi Corona, baik tingkat global maupun tingkat nasional, telah bergeser ke arah politik, menjadi biang keributan baru, dan saling tuding antara satu dengan yang lainnya. Amerika menyalahkan Tiongkok. Apalagi Presiden Donald Trump terus disalah-salahkan rakyatnya karena lamban menangani Covid-19. Menlu AS Mike Pompeo menuduh Tiongkok tidak mau memberikan informasi sedini mungkin agar AS bisa lebih siap.

Tiongkok membantah tuduhan itu. Bantahannya kian keras dan kasar. “Berhentilah berbohong dengan menggunakan mulut seperti itu,” ujar Hua Chunying, salah satu juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Tiongkok mengaku sudah memberikan informasi itu tanggal 3 Januari 2020.

Pompeo membalas. “Tapi tanggal 5 Januari Tiongkok menghancurkan data-data Covid-19,” ujar Pompeo. Apa yang dimaksud Pompeo dengan penghancuran data Covid-19 itu?

Pompeo tidak memberikan gambaran lebih rinci. Konon, data-data virus itu memang sudah pernah dibuka ke dunia internasional.

Kabarnya, sudah ada pula lembaga di Indonesia yang mendapat kiriman data itu.

Mestinya, kalau tidak menganggap remeh, Amerika juga sudah mendapatkannya. Siapa pun, asal bisa menunjukkan dari lab mana, bisa mendapat data itu. Asal, setelah melakukan riset lanjutan, bersedia membagi hasil risetnya ke Tiongkok. Dengan data dari Tiongkok itu ilmuwan di mana pun bisa tahu ‘jenis apakah makhluk lembut sekali’ yang kemudian disebut Covid-19 itu.

Para ahli bisa memahami kode-kode virus tersebut. Profil dan deskripsi virusnya ada di data itu.

Yang patut dipuji Korea Selatan. Negara ini begitu mendapatkan data, segera membuat kit untuk melakukan tes Covid-19.

Yang celaka, Indonesia yang juga sudah mendapatkannya tidak segera membuat sendiri alat tes Covid-19. Dalam berbagai hal, kelihatan pemerintah kita juga agak kedodoran dalam melawan persebaran virus. Pemerintah daerah punya tafsir sendiri-sendiri dalam upaya mengatasi bencana ini. Saling tuding terjadi.

Berita berseliweran. Masyarakat justru bertambah panik.

Sebuah pesan bocor dan menyebar dari grup Wattsapp yang tertutup yang menyebutkan nama-nama yang diduga terpapar Cofid-19. Padahal, itu hanya sebagai bentuk peringatan internal agar lebih berhati-hati, lebih antisipatif, dan perlu segera melakukan isolasi mandiri. Ada klarifikasi dari yang bersangkuan, tetapi nyaris tidak dipercaya. Untungnya, orang-orang yang disebut-sebut dalam keadaan sehat semua.

Seorang teman berpesan, “Terlalu update berita Covid bisa membuat kecemasaan hati dan pikiran. Faktor tersebut bisa menyebabkan turunnya imunitas kesehatan. Perbanyak saja baca Alquran. Insya Allah aman.”

Saya pun menjawab, “Insya Allah. Semoga kita dilindungi-Nya dan bisa lulus dari ujian ini. Amiin.”

Ya, di tengah bertumpuknya informasi wabah korona, kritik bertubi-tubi atas ketidaksiapan pemerintah (daerah) menghadapi musibah global ini,  dan kecemasan massal yang tidak terhindari; saya berusaha menenangkan  diri,  berpikir positif, dan mengajak keluarga untuk tidak terlalu larut dalam ketakutan berlebih. Saya mungkin bisa. Tapi, orang-orang terdekat saya tentu tidak sama.

Kepada mereka, saya sitirkan sebuah nasihat dari seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang: Iran). Ibnu Sina, yang dikenal juga sebagai Avicenna (980-1037) berkata, “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.” Kita meyakini Allah Swt akan memberikan kita keselamatan, kesehatan, dan kemudahan dalam banyak hal asal kita tetap dalam keimanan, kesadaran, dan kesabaran dalam menghadapi ujian.

***

Malam ini seperti malam-malam kemarin dalam tiga minggu terakhir sejak diberlakukan bekerja atau belajar di rumah saja (work from home) terasa sepi. Setelah azan Isya yang terakhir berkumandang, tidak ada lagi kegiatan masjid yang menghimpun jamaah dan tidak ada lagi suara-suara dari luar rumah. Kalau sebelum-belumnya, hampir setiap hari ada suara gamelan dari belakang rumah, hari-hari belakangan tak ada ada lagi alunan musik itu. Tak ada lagi tetangga yang mengobrol dan terbahak sampai tengah malam. Dari rumah-rumah hanya ada bunyi televisi dan musik yang disetel pelan. Jika televisi dan musik berhenti, malam semakin hening.  Hanya ada suara jangkrik, kadang kodok, dan kokok ayam yang tidak lagi patuh pada waktu fajar.

Jangankan malam, siang pun tak seramai hari-hari biasa sebelum Corona menebar ancaman. Tak ada keramaian. Kalau nekat menggelar pesta, aparat akan langsung membubarkannya. Interaksi sosial yang langsung berhadap-hadapan semakin langka. Semua sendiri-sendiri. Paling banter sekeluarga saja. Ramai di media sosial. Tapi senyatanya sepi. Jadilah siang-malam terasa sunyi.

Suasana senyap ini, bagi sebagian orang yang suka ngobrol, berkumpul-kumpul, dan senang keramaian jelas menyiksa. Tapi, justru situasi seperti ini yang dibutuhkan bagi negeri yang suka reseh-rusuh ini. Ya, selama ini negeri ini terlalu riuh-rendah terus-menerus, tidak henti-hentinya. Kita nyaris kehilangan ruang jeda untuk merenung, berefleksi tentang segala hal yang telah, sedang, dan akan berlaku atas diri kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan negara-bangsa kita. Dengan berefleksilah, kita bisa berbuat sebaik-baiknya untuk hari-hari mendatang  yang membentang di hadapan kita.

Sudah jamak dipahami bahwa dunia sunyi adalah milik seniman, budayawan, penulis, dan ilmuwan. Nah, kondisi sepi seperti ini boleh jadi menjadi momentum buat kaum ini – termasuk yang ingin memanfaatkannya – untuk melakukan sesuatu bagi peradaban negeri ini dengan karya, pemikiran, dan ilmu pengetahuan.

Dalam kesepian di Gua Hira, hanya istrinya yang mengantar makan-minum alakadarnya, Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama (Surat Al-Alaq) dari Allah Swt dan kemudian berlanjut dengan wahyu-wahyu lainnya yang kemudian disusun menjadi Alquran. Dan, wahyu pertama ini berisi perintah kepada manusia untuk membaca (iqra’).

Leonardo Da Vinci sering merenung dan berpikir di pinggiran hutan yang tenang di desa sambil memperhatikan hewan-hewan dan alam sekitarnya. Proses iqra’ ini yang membawanya  menemukan semacam teori anatomi manusia dan hewan yang penting tidak hanya untuk karya lukisnya, tetapi juga bagi ilmu lainnya misalnya kedokteran.

Albert Einstein juga suka berefleksi. Sejak kecil dia memang pemalu dan suka menyendiri. Tempat favoritnya adalah di atas bukit di desanya. Kemampuan iqra’-nya yang luar biasa membuatnya cerdas hingga kemudian menemukan teori relativitas yang terkenal: E-MC2.

Nyaris tuli, dikeluarkan dari sekolah, dipecat dari banyak tempat kerja, tak membuat lelaki ini patah semangat. Dalam kesunyian, ia belajar dan bekerja sendiri di rumah. Siapa sangka hasil iqra’-nya yang ia mewariskan berupa 6.000 penemuan yang mengubah dunia. Yang paling spektakuler adalah lampu listrik. Dialah Thomas Alva Edison.

Dunia sepi juga yang membawa kesuksesan Charles Schultz. Pada awalnya tidak seorang pun menghargi bakatnya. Bahkan karyanya dibilang kampungan. Tapi, ia tidak menyerah. Dia melawan arus. Akhirnya dia memukau dunia dengan cerita kartun paling memukau dalam sejarah, yaitu Peanut yang muncul di 2.600 surat kabar dalam 21 bahasa.

Banyak sastrawan membutuhkan suatu kesunyian untuk menulis karya-karya mereka. Bahkan, acapkali dalam mencari inspirasi seorang sastrawan harus mengasingkan dirinya dari dunia yang hingar bingar ke tempat yang sunyi. Kesunyian telah memberi suasana batin yang begitu puitis, romantis dan full of emotion bagi banyak sastrawan. Kesunyian juga telah bersemayam dalam pikiran dan menciptakan kejernihan untuk menggali ide-ide kreatif untuk kemudian dituangkan dalam suatu karya.

Kesunyian dalam karya-karya Maxim Gorky, John Steinbeck, Gabriel Garcia Marquez, Pramoedya Ananta Toer, dan Ahmad Tohari menjadi dialektika antara kesunyian dalam diri penulisnya dan keriuhan dari dunia luarnya seperti keluarga, lingkungan masyarakatnya atau lebih luas lagi negaranya. Lahirlah kritik sosial dalam karya.

***

Demikianlah, tiga minggu #dirumahaja, bahkan mungkin sampai tiga-empat bulan  ke depan, saya pikir menjadi kesempatan untuk menggelorakan gerakan literasi (membaca-menulis),  terutama literasi digital.

Tapi, yang terjadi peningkatan signifikan adalah literasi tentang corona. Tak masalah jika yang dibaca dan dibagikan adalah informasi yang benar dan berdampak positif bagi upaya memutuskan mata rantai penyebaran virus Covid 19 dan menyadarkan semua agar selalu menjaga kebersihan-kesehatan.  Repotnya, membludaknya berita justru membuat overinform — belum lagi yang hoaks. Kondisi ini rentan membangun kecemasan massal, yang justru menurunkan daya imun tubuh.

Tanpa mengurangi sedikit pun kewaspadaan terhadap pandemi corona, ada baiknya kita berbuat yang terbaik selama #dirumahaja dengan kegiatan positif. Saya sendiri menyarankan diri sendiri untuk memperbanyak 3N: ngupi, ngebaca, nulis (ngopi, membaca, menulis). Sehingga, tak melulu meresahkan corona.

Kalaupun ekonomi dunia, termasuk Indonesia sekarat, toko kertas dan percetakan banyak yang tutup, toko buku banyak yang libur, buku bukan menjadi prioritas utama untuk dikonsumsi oleh masyarakat, dan akhirnya penerbit banyak yang terkapar — sebagaimana dikatakan praktisi perbukuan Buldanul Khuri, 2/4/2020 — tetap ada jalan untuk tetap memajukan literasi bangsa ini.

Soalnya jelas, buku adalah petaruhan peradaban bangsa ini.

Begitu saja. Tabik! []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top