Membaca Kembali Reformasi 1998

Oleh Agusri Junaidi
DI tengah pandemi Covid 19 yang membatasi setiap gerak kita dengan social distancing, terasa pada diri kebebasan yang terenggut. Teringatlah saya pada Heraclitus, filsuf Yunani kuno yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang cemerlang dan menantang, yang setelah 2500 tahun masih banyak memberikan inspirasi.
Ia berkata, “Jika langit gelap dan bulan tak muncul, kau mungkin bisa melihat bintang”. Ini adalah ajakan bagi kita untuk mengambil hikmah dari setiap fenomena yang terjadi. Di tengah situasi ini, setidaknya kita punya banyak waktu untuk kembali memikirkan lagi dan merefleksi banyak hal dalam hidup. Banyak hal bermanfaat bisa kita lakukan untuk mengisi waktu.
Kenyataannya sibuk menata kehidupan membuat waktu kita terkuras. Fisik juga lelah sehingga sulit untuk konsentrasi menikmati sebuah bacaan. Beberapa buku bahkan belum sempat kita lepaskan dari plastiknya.
Beberapa waktu lalu seorang anak muda melakukan diskusi buku terbarunya di Amphy Theatre PKOR di bilangan Way Halim, Bandar Lampung. Sebuah roman tentang perjuangan beberapa anak muda melawan otoritarian Orde Baru. Buku tebal sekira 519 halaman itu untuk waktu cukup lama hanya saya letakkan di rak buku. Namun, saya sudah meniatkan untuk membacanya dan memberikan sedikit ulasan. Bukan kritikus tentu saja, hanya saya menganggap cara terbaik kita mengafresiasi sebuah karya adalah membacanya dan mereferensinya jika di mungkinkan.
***
Terkadang menjadi kebiasaan saya menilai sebuah bacaan dengan kalimat-kalimat pertama yang didedahkan penulisnya. Ini kadang membuat saya salah menilai.
Misalnya, saya kesulitan mengikuti gaya surrealisme Eka Kurniawan dalam novel-novelnya yang direkomendasikan kepada saya oleh beberapa teman. Ketika saya bercerita tentang kesukaan saya terhadap novel-novel karya Mochtar Lubis, selain Pramoedya dan Umar Khayam mereka merekomendasikan Eka Kurniawan. Dari sana awalnya saya mengkoleksi dua karya Eka, Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau. Dua novel itu akhirnya tuntas juga memanfaatkan waktu social distancing, dan saya harus merubah penilaian saya. Gaya cerita Eka Kurniawan dengan narasi-narasi yang panjang dan minim percakapan merupakan sesuatu yang khas dan punya karakter tersendiri.
Begitulah yang saya rasakan di awal, ketika membaca roman Purnama Retak karya Subhi Abdillah (diterbitkan NuuN Id, 2019). Ketika mengikuti cerita tentang masa awal kuliah mahasiswa baru Universitas Padjajaran, dengan beberapa episode percintaan khas anak muda di tahun 1992-an.
Dikisahkan Cak Tardjo merupakan senior mahasiswa yang secara kebetulan satu kost dengan tokoh aku (Salim). Kamar mereka bersebelahan, sehingga memungkinkan mereka jadi akrab, dan Cak Tardjo akhirnya menjadi mentor bagi Salim dalam dunia pergerakan.
Bermula dari pendirian study club yang kemudian menjadi Serikat Mahasiswa Rakyat dengan menunggangi organ internal kampus KSM (Kelompok Studi Mahasiswa), dimana beberapa yang potensial di rekrut dan dikenalkan dengan kegiatan advokasi, agitasi propaganda dan lainnya.
Salim awalnya lebih terdorong untuk terlibat selain kedekatan dengan Tardjo juga karena keberadaan Ningsih, gadis manis yang dicintainya dan mencintainya.
Dalam prosesnya seorang mahasiswa bernama Irawan yang pandai berorasi masuk kedalam SMR dan menjadi salah satu pejabat di organisasi tersebut. Ningsih yang terkagum akan Irawan memantik kecemburuan Salim, yang balas ikut memanasi Ningsih dengan merayu Kartika. Akhirnya kedua orang yang sebenarnya saling mencintai itu semakin jauh. Sebuah kejadian membuat Salim terpukul, ketika ia mengantarkan undangan ke kontrakan Irawan yang mewah ia menemukan kenyataan Ningsih tidur dengan Irawan.
Belakangan ia tahu bahwa Ningsih diperdaya dengan obat tidur dan Irawan sebenarnya tidak mencintai Ningsih. Salim yang terlanjur kecewa dan sakit hati begitu prustasi. Ia patah hati dan melarikan diri dengan mengikuti pelatihan kader di Kali Urang, Jogjakarta. Ia meninggalkan kuliah dan perlahan mendapatkan posisi penting sebagai pengurus nasional SMI.
Meski begitu ia tetap saja merindukan Ningsih dan belum melupakan kejadian itu. Justru ketika Ia pulang ke Jatinangor sebuah peristiwa tragis terjadi. Ningsih yang ditinggalkan begitu saja oleh Irawan menggantung diri, ternyata ia sedang hamil.
Salim yang terpukul akhirnya makin radikal dan ia berada ditengah pusaran inti yang menuntut jatuhnya rezim orde baru. Dalam pergulatannya ia terbentur dalam pertentangan antara islam dan ideologi kiri. Jiwanya terombang-ambing dalam pencarian ideologi. Ayahnya yang berasal dari keluarga Kiay di Garut begitu marah ketika Ia meninggalkan kuliah dan menjadi aktifis PDR, partai yang mereka dirikan. Ia di anggap hilang dalam keluarganya.
Salim akhirnya menemukan cintanya pada diri Astuti, mahasiswi IAIN temen seperjuangannya sejak pembentukan PDR. Namun takdir menjadikannya buruan rezim, ia terus melarikan diri dari kejaran aparat penguasa. Meski sempat tertangkap dan disiksa aparat, akhirnya ia dilepaskan dan sebagai wartawan lepas berkesempatan merekam sejarah reformasi beserta intrik dan vandalisme didalamnya. Ia menemukan kenyataan bahwa gerakan mereka ditunggangi oleh kekutan yang lebih besar dan semua proses kerusuhan itu terjadi secara sistematis dan terorganisir.
PDR sempat mengikuti Pemilu namun tak mampu meraih suara, dan ditinggalkan para kader intinya.
Setelah reformasi ia berkesempatan membalaskan dendam pada Irawan tapi itu tak ia lakukan. Ia berusaha menerima semua itu sebagai bagian masa lalu dan ingin berdamai dengan kenyataan. Ia tak ingin terperangkap dalam kebencian terhadap masa lalu.
Ia menolak tawaran kerjasama mengelola media dari Irawan. Bersama seorang rekannya yang mengetahui kemampuannya mengelola Progresif media milik PDR. Mereka mendirikan usaha penerbitan di tahun 2004, enam tahun setelah Suharto turun tahta.
Enam bulan kemudian Ia menikahi Astuti dan ketika mengunjungi Cak Tardjo yang pernah bertemu tak sengaja di stasiun kereta api ia menemukan kenyataan, seniornya itu telah meninggal, di gebuki preman ketika mengadvokasi buruh yang bersengketa dengan perusahaan.
***
Meski awalnya kita akan menemukan bahasa percakapan yang kaku, makin ke dalam kita akan terseret pada bangunan cerita yang dikembangkan Shubhi Abdullah, penulis novel ini. Lelaki kelahiran tahun 1985 yang pernah mengecap pendidikan di Program Studi Sastra Indonesia di UI ini mengajak kita kembali merenungkan hakikat dari kesejahteraan.
Seolah ia mengajak kita bertanya, buat apa seluruh kekayaan alam indonesia ini?. Sebab pada kenyataannya semua pengelolaan sumber daya alam diserahkan pada tangan kapitalisme yang hanya berorientasi keuntungan. Upah buruh begitu murah, lingkungan rusak, dan mapia merajalela disemua sektor.
Ia akan mengajak kita ikut berada dalam pelarian demi pelarian yang tokoh Salim lakukan, untuk menghindari kejaran aparat. Bagian yang mengharukan diantaranya bagaimana Salim dan Astuti mulai membesarkan bibit cinta dihati mereka dalam suasana yang penuh intrik dan ketidakjelasan itu. Keyakinan terhadap Yang Kuasa sedikit banyak menyatukan pandangan mereka, ditengah teman-temannya yang berwatak sekuler. Ia menggambarkan juga dengan cermat peta politik di kampus dengan segala watak dan kekurangannya.
Peristiwa-peristiwa yang berkelindan di roman karya alumni HMI itu membawa kita ikut larut dalam perjalanan demi perjalanan dan menghayati kehidupan penjara, suasana barak militer dan bagaimana institusi itu begitu berperan dalam membungkam gerakan para mahasiswa, demi mengamankan kekuasaan.
Ini sungguh merupakan sejarah yang terbungkus dalam fiksi. Tapi sosok yang dia tampilkan seperti Alimudin, Asmara Hadi, Mustafa, Wahono dan yang lainnya akan mudah kita personifikasi pada tokoh-tokoh pendiri SMID dan juga PRD seperti Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Nezar Patria, Dita Indah Sari, Wiji Thukul, dan lainnya.
Kita akan di ajaknya memahami bagaimana sejarah partai itu sejak embrio sampai kemudian hancur berkeping-keping sebab ketidaksiapan internal. Partai juga telah dilemahkan dengan ditangkapinya para pemimpinnya sebelum peristiwa reformasi mencapai puncaknya.
Usaha Shubhi untuk menulis novel ini patut kita hargai sebagai upaya menjaga ingatan kita.
Demikian pula kritiknya terhadap sekularisme yang membuat agama tak mampu menjadi penjaga moral bagi para pelalu politik disajikan oleh Shubhi dengan perenungan yang dalam melalui percakapan tokoh Salim dan Astuti. Ia menegaskan pencapaian apapun yang ada di dunia barat tidak relevan dengan situasi ke Indonesiaan, dan upaya untuk meniru hal ikhwal barat dalam segala bentuknya adalah ke sia-siaan.
Dalam pencariannya sebagai aktivis pro demokrasi ia merasa terpinggirkan sebab keyakinannya atas agama yang dianutnya. Di tengah kawan-kawannya yang percaya bahwa semua adalah materialisme, dan agama hanyalah entitas terpisah yang dijauhkan dari problema kehidupan sosial politik dan masyarakat Indonesia, Ia merasa kesepian.
Ia juga melakukan evaluasi mengapa PDR yang awalnya berjalan baik dan mendapatkan dukungan tiba – tiba melempem. Menurutnya itu disebabkan tak ada kepemimpinan yang kuat ditubuh PDR. Faksi-faksi yang ada berjalan sendiri dengan agenda dan keyakinan masing-masing.
Ia nyaris mempercayai bahwa dalam semua proses ini mereka hanyalah mur dan skrup, tak cukup kuat untuk melakukan klaim atas sejarah perubahan ditanah air ketika itu.
Revolusi politik memang hanya terjadi bila ada kemerosotan ekonomi, ketidak adilan sosial yang merata dan ideologi yang menarik. Apakah PDR membawa ideologi tertentu semacam sosialisme atau komunisme, ini ditolak oleh tokoh Salim. Hanya, sebagai metode tentu saja relevan jika PDR di kaitkan dengan ideologi kiri. Pola-pola gerakan bawah tanah yang dilakukan merujuk kesana meski jalan sejarah tak menampilkan para pemimpinnya mampu memegang kendali dalam perubahan itu sebagaimana Xanana Gusmao dan Fidel Castro.
Bagaimanapun sejak awal faksi berkuasa yang diwakili oleh Alimudin dan Asmara Hadi memang tidak memilih perjuangan bersenjata sebagai pilihan. Mungkin memang bukan kekuasaan yang mereka incar tapi sekedar perubahan bernegara yang lebih baik. Menyalurkan kegelisahan orang muda atas situasi tanah airnya. Salim sendiri berasal dari keluarga yang cukup berada, ayahnya keturunan kiay dengan bakat berdagang sehingga memiliki sawah yang luas dan peliharaan ternak yang banyak.
Telaahan bagaimana ekonomi negara ambruk melalui kekuasaan negara yang absolut, korup dan kolutif, juga akan kita temukan dalam buku ini. Ini adalah novel sejarah yang dapat menjadi rujukan bagi generasi setelah reformasi untuk memahami situasi yang terjadi kala itu, dus konflik para jendral dilingkar kekuasaan orde baru.
Tapi tentu saja ini bukan kebenaran mutlak. Perlu ruang untuk menjadikan buku ini telaah yang lebih menarik dengan dialektika antara para pelaku sejarah kala itu. Bagaimanapun kita patut bersyukur ada seorang penulis muda yang mampu merangkum semua peristiwa menjelang reformasi dengan begitu jernih dalam bentuk fiksi.
Sudah tentu ini bukan hal yang mudah. Shubhi Abdullah sudah melakukannya. []
