Panggung

Kekayaan Batin dan Cumbuan Ilmu dalam Hasrat Cinta Budaya

Oleh Hermansyah GA

AWALNYA saya ragu untuk menuangkan secangkir cerita tentang jalan budaya secara empirik. Sebab, saya bukan siapa siapa dibanding para sufi atau para seniman dunia. Tapi, saya coba sekelumit kisah bagaimana suka-duka mengejar kecintaan pada budaya yang mengalir dalam darah saya. 56 tahun berlalu saya melintasi pagar duri dan ilalang kering di tengah hamparan ilmu yang luas. Saya terus mengejar, melompati segala halang yang terjal. Bagi saya ilmu yang ada di ketinggian harus dilampaui, meskipun di bukit yang terjal.

Nomaden. Sebutan orang beken tentang kehidupan manusia yang selalu berpindah tempat tinggal tak menentu. Ya, sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) di sebuah sekolah berjuluk Texas, saya menimba ilmu. Karena tak sepaham dengan orang tua, saya pun harus eksodus dari kediaman saya dan menetap di mana saja teman atau sahabat yang baik dan wellcome pada kehadiran saya.

Bertahun lamanya saya bergumul dengan ketidakpastian. Namun, di sela itu saya tak lepas dari dunia seni dan selalu juara di setiap lomba, mulai dari lomba deklamasi, nyanyi lagu daerah, pop singer, Bintang Radio dan Televisi. Tidak kepalang, predikat yang saya raih lebih banyak juara pertama.  Saya selalu gigih jika menghapal kata, syair, bahkan naskah panjang. ika boleh saya bangga daya hapal (memory system) saya di atas rata rata.

Berlatih teater di Taman Budaya bersama (alm) BM Gutomo dan AD Sutjipto membawa saya pada berbagai pementasan, baik di Lampung maupun festival tingkat nasional.  Pada 1986 saya mendapat predikat Sutradara Terbaik sekaligus The Best Aktor dalam gelaran Festival Teater se-Provinsi Lampung di Taman Budaya Lampung (TBL).

Entah angin apa yang membawa prestasi itu, saya tidak terlalu paham. Lalu, berdatanganlah beberapa lakon untuk dipentaskan. Dalam lakon “Napoleon Bonaparte “, saya dipercaya sebagai astrada BM Gutomo. Saya masih ingat nama-nama Cakrawala, Darwani, Jalu Mampang, Sarifudin, Ponco, (alm) Ipung Purwono. Elsa Monalusa, da Anna Toras yang terlibat dalam pentas ini.

Lainnnya, saya kerap kali dipercaya pemerintah untuk menjadi duta kesenian di berbagai daerah. Hampir seluruh daerah di Indonesia saya sudah singgahi dalam berbagai event kesenian hingga ke Bangkok, Thailand, membawakan seni tari hingga peragaan busana Ida Leman.

Sang juara, entah seperti apa saya melakukan gaya berkesenian. Satu hal yang tak masuk diakal, ketika event Festival Budaya Melayu di Medan, saya bersama (alm) Edi Bastari dan (alm) Ipung Purwono mampu menyapu habis tim pantun besaut dari berbagai bangsa Melayu, seperti Riau , Medan , Johor, Singapore, dan berbagai jazirah Melayu. Saya meraih juara pertama.

Lalu, para dekade berikutnya entah seperti apa dalam event Pantun Monolog di Riau, kembali saya meraih juara pertama mengalahkan para jago dari Melayu. 

Terjun Kedua Film

Jiwa patriotisme tumbuh begitu dramatis dalam diri saya. Berbagai organisasi menghampiri, menjadi saya sebagai pengurus. Sejak 1989 saya dipercaya sebagai sekretaris Persatuan Artis Film (Parfi) Lampung yang diketua Jazuli Isa. Kala itu Kang Juli, sapaan akrabnya sangat dekat dengan Ratno Timoer karena pertemuan pendekar Banten bersama (alm) H Kawan Banten. Namun, Parfi kala itu belum bisa berbuat apa apa.

Saya pun harus melemparkan bakti diri ke sebuah daerah di ujung barat Lampung. Ya, Liwa. Atas perintah Kadis Pendidikan Lampung Syamsudin Zakaria, saya diminta membantu seorang kepala dinas yang baru dilantik, Lukman Zaini. Sejak saat itu saya mulai menetap di sebuah rumah penjaga pom bensin (alm) Alimudin Umar. Selama beberapa bulan, saya menetap di sana sambil memberi ilmu seni tari dan musik tradisi.

Berbagai pertunjukan dan pagelaran kesenian saya ikuti hingga lahirlah Festival Danau Ranau pertama, 1994, dan lagu Hymne Lampung Barat.

Kesenian di Lampung Barat memasuki gerbang keemasan. Setiap event tingkat nasional selalu menjadi duta, baik tari, hadrah maupun rebana hingga suatu ketika mengiringi presiden masuk istana membuka Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional di Istana Negara, Jakarta. Sejak saat itu berbagai karya bermunculan, mulai dari Tari Hadrah, Tari Kenui Bekipas, Tari Selendang hingga sebuah Sendratari Muli Temekhanjak yang secara tradisi menjadi promosi budaya.

Lampung Barat Beguai Jejama, sejak sumberjaya, Lumbok, Way Jambu, Siging  hingga Bintuhan, daerah yang memiliki jangkau cukup jauh, saya jalani dengan ikhlas dan tabah. Ini menjadui gemblengan karena gaji yang saya terima tidak lebih dari Rp25 ribu per bulan.  Atas kebesaran dan kemurahan Allahlah saya bisa bertahan hidup dengan gaji Rp25 ribu selama lima tahun. Tak terhitung betapa pengabdian itu sangat menyedihkan. Namun, semua itu jalan menuju kekayaan batin dan cumbuan ilmu dalam hasrat cinta budaya.

Gempa Liwa 1994

Bulan Ramadan di Februari 1994 adalah sebuah sejarah yang tak pernah terlupakan. Kala itu hujan gerimis membawa saya lelap tertidur. Di sebuah rumah pinggir Jalan Raya Liwa berarsitektur kayu, saya bersama beberapa kerabat termasuk Bapak Lukman Zaini dan istrinya,  tekanjat balak (sangat kaget) oleh sebuah suara seperti geledek yang sangat besar menggoncang. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah.  Gempa dahsyat, orang Liwa menyebutnya “kukuk kedok”.

Hampir semua bangunan rusak, malah ada yang hancur. Banyak yang meninggal, tidak memilih usia, tua-muda, anak-anak, dan bayi, pegawai kantor. Juga, hewan dan listrik pun mati.

Malam itu pukul 12.10 negeri Lampung Barat menorehkan cerita luka, jenazah korban gempa dikuburkan secara massal , bau amis darah, teriakan dan Isak tangis orang orang ditinggal keluarga. Saya bersama Kadis Lukman Zaini, Sekda Mursid Arsyad dan Bupati H.S. Umpusinga berupaya mengupulkan jasad-jasad di depan Rumah Dinas Bupati.

Malam itu gelap gulita. Namun, Tuhan memberi pertolongan. Entah sebab apa sebuah toko kebakaran. Sontak malam itu alam sedikit terang oleh api yang menyala.  Semula saya tak bisa melihat satu sama lain akhirnya nampak siapa orang yang meninggal dan siapa yang menolong.

Peristiwa tragis ini seperti mengancam jiwa saya. Setiap malam saya selalu tak bisa tidur lelap karena suara menyeramkan setiap saat menerpa telinga. Hari demi hari saya masih bisa bertahan, meskipun sesekali menjadi pencuri di tempat penyimpanan bantuan rumah dinas bupati.  Lalu di pagi harinya saya lembarkan barang curian itu di tempat perkemahan warga yang takut tinggal di rumahnya. Saya berikan selimut, mie instan, dan berbagai makanan lain.

Kala itu hampir seluruh bantuan belum terdistribusikan karena harus melakukan pendataan. Sungguh memilukan! ampir setiap malam saya dan beberapa rekan menjarah untuk saya bagikan kepada warga di sepanjang jalan.

Ah, ternyata hidup saya mulai terancam. Situasi makin tidak kondusif. Suasana di kantor tak seindah sebelum gempa. Saya pun mulai terjangkit rasa jenuh dan trauma. Tiga bulan setelah itu, saya putuskan untuk kembali ke Bandar Lampung dan mengucapkan, “Selamat tinggal Liwa, kota kenangan, kota sejarah dan ilmu”.

Tak Surut Berkesenian

Kembali bergelut dengan berbagai pergolakan di kesenian.  Mementaskan lakon “Rintrik” karya Danarto pada panggung pertunjukan tunggal HRS Teater bersama Christian Heru Cahyo Saputro,  Gunawan Pharrikesit, dan Eka Yuni Harti.

Saya pun ikut menjadi salah satu pencetus lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL) dalam Pentas Kesenian Lampung yang diprakarsai Bachtiar Amran DM, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Maspril Aries, Subardjo, Joko Surendro, Eddy Suherli , Iwan Nurdaya-Dja’far, Hari Jayaningrat,  AM Zulqornain Ch, Buce, dan lainnya. Lalu, saya pun menjadi pengurus DKL di Komite Film yang diketuai Maspril Aries.

Tak dinyana, saya juga sempat menjadi wakil rakyat. Untuk kedua kalinya saya dicalonkan menjadi wakil rakyat di Dapil Sukoharjo, Banyumas, Adiluwih, dan Gadingrejo, untuk Aleg Kabupaten Tanggamus tahun 2004. Allah berkehendak dan saya terpilih menjadi anggota DPRD Tanggamus. Banyak suka dukanya menjadi anggota DPRD Tanggamus, tetapi keikhlasan dan pengabdianlah yang membuat saya terus berjuang.

Saya begitu gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Pringsewu dengan Sekretaris Pansus Pemekaran dan berkeliling setiap desa dan kecamatan meminta persetujuan. Dengan pendekatan yang gigih dengan ketua DPD Golkar M Alzier Dianis Thabranie yang memerintahkan Indra Karyadi sebagai Ketua DPRD Provinsi untuk sebuah pengesahan. Lalu, dilanjutkan mempresure Ketua DPR RI Agung Laksono dan mendaulat untuk datang ke Pringsewu tepatnya daerah Gadingrejo ditemani Joko Prio Gemboro, anggota DPR RI

“Pak agung, jika Golkar mau besar dan menang di Pringsewu, segeralah Undang-Undang Pemekaran Pringsewu disahkan,” ujar salah seorang anggota DPRD Tanggamus  Drs FX Siman bersama saya dan anggota fraksi lain serta anggota DPD RI Sujadi yang sekarang menjabat bupati Pringsewu . Mekarlah kabupaten Pringsewu di saat injury time.

Pemilu legislatif 2009 pun digelar seiring ditempatkanya para pegawai di Kabupaten Pringsewu saya kembali terpilih menjadi anggota DPRD Pringsewu dan bertugas hingga 2014. Setelah 2014, usai sudah perjalanan sebagai wakil rakyat.

Meskipun dalam perjalanan saya begitu gigih berjuang di dunia kesenian dan film, saya paham bahwa hampir para seniman tidak mengenal kesenian yang saya geluti selama 10 tahun di dunia politik. Tapi, saya menoreh bekas jejak ketika saya dipercaya menjadi pimpinan Kongres Parfi di Jakarta tahun 2012 dan sukses menjadikan Gatot Braja Musti menjadi Ketua Umum Parfi.

Lalu, dipercaya kembali oleh peserta Kongres menjadi Pimpinan Kongres Parfi di Lombok. Di balik kesuksesan menghantarkan Gatot Braja Musti yang kedua kali, saya menuai insiden tak menyenangkan dan tak perlu saya ceritakan.

Saya pun tetap berkarya setelah bermain dalam film Sajadah Cinta dan Topi Sarjana karya sutradara Dede Safara, main dalam film Rindu Tak Hilang si Tokyo yang disutradara Syaiful Irba Tanpaka, menyutradarai Merah Cinta Si Malaysia, dan pemeran utama pria film Kembang Ibu.

Saya pun menyempatkan memproduksi film besutan sendiri Anak Negeri Sebrang, lalu dalam film gender kearifan lokal Pesta Bulan Bara, Bujang Hapok, dan Hiwang . Saya juga didapuk sebagai pemain dalam FTV Azab oleh Mega Kreasi Film di Indosiar. Dan yang baru saja, menggagas event Road Show Ghost Mania Festival Parfi Awards 2020 di Gedung DKL PKOR Way Halim Bandar Lampung dengan mendatangkan artis kenamaan dari Jakarta Yati Surachman, Ozzy Syahputra, Soultan Saladin, Firman Nurjaya dan pakar Mike Up Karakter Oppa Adam pada 25 Februari 2020 lalu.

Tabik. []

2 Comments

2 Comments

  1. Avatar

    Chtistian Saputro

    Maret 10, 2020 at 4:42 pm

    Mantab.Kau sebut juga namaku,Lur.
    Ini tulisanmu mengalir.Kereeeen!

    • Udo Z Karzi

      Udo Z Karzi

      Maret 11, 2020 at 10:44 am

      nulis lagi geh…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top