Negarabatin (15)


Semuanya langsung duduk bersila di tempat masing-masing yang sudah ditandai dengan perlengkapan ngaji oleh yang terlebih dahulu tiba atau siapa yang ‘rerajaan[1]’ di tempat ngaji yang menentukan sendiri tempat duduknya dan urut-urutan mengaji. Langsung membaca berulang-ulang: Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii’. (Ya Rabbku, lapangkanlah bagiku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuanku dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.)
Robbis rohlii shodrii… berulang-ulang berulang-ulang kami anak ngaji melantunkan itu. Tidak berhenti sampai Wak Bakri memukulkan rotannya di lantai di hadapannya. Celetaar…. Barulah diam. Mulai ngaji sendiri-sendiri. Berdengung surau oleh kajian kami anak-anak, berbeda-beda kajian, ayat, dan surat yang dibaca tergantung pada batas bacaan anak-anak.
Begitulah. Di surau, yang sudah Alquran langsung mengaji dengan Wak Bakri. Bergilir mengaji yang laki-laki sebelah kirinya, yang perempuan di sebelah kanannya. Meskipun bersamaan dua yang di kiri-kanannya, Wak Bakri tidak pernah bingung dibuatnya. Dua-duanya disimak. Kalau ada yang salah Wak Bakri tahu, langsung memukulkan rotan sebagai kode ada yang salah baca ke lantai dekat anak yang ngaji salah. Yang ngaji mengulang kajiannya. Masih salah, barulah dibenarkan bacaannya oleh Wak Bakri.
Selama di surau ketika mengaji, kami tidak boleh meleng mesti membaca Amma yang lagi ngaji Amma atau Quran yang sudah Quran. Supaya lancar. Mengulang-ulang bacaan. Tak boleh berhenti. Tidak boleh ngobrol atau ribut. Kalau ribut dimarahi abang atau mamak yang sudah senior yang dipercaya menjadi mentor adik-adik mereka. Kadang-kadang Wak Bakri langsung yang marah. Biasanya tanda Wak Bakri marah, beberapa kali rotan yang di tangannya dipukulkan di lantai.
Kami yang masih Jus Amma diajar abang atau mamak yang sudah Quran. Walaupun saya sudah belajar ngaji Amma kepada Tamong, tetap mengulang dari awal. Dari alif, ba, ta… sampai ya.
Mengeja lagi alif date a, alif bawa i, alif dapan u…a i u, ba date ba, ba bawa bi, ba dapan u… ba bi bu, begitu seterusnya. Setelah mengeja baru mulai membaca lancar surat-surat pendek yang di Juzz Amma.
Bergantian abang atau mamak yang mengajar kami ngaji Amma. Aku ingat kalau ngaji dengan si A enak, dengan si B sering kesalan, dengan si C suka marah-marah… (sengaja tak kukatakan namanya, takut diomeli oleh mereka, hehee…). Sesudah ngaji biasanya ada hapalan, mulai dari rukun Islam, rukun iman, tatatertib berwudhu, bacaan salat… dan yang lainnya.
Sekali waktu temanku ribut sampai ada yang menangis. Kedua-duanya dipanggil Wak Bakri.
“Mengapa?” tanya Wak Bakri.
“Ini, Ji ini menowel-nowel telingaku,” kata Pinyut.
“Bukan saya,” Romzi tak mau mengaku.
“Kamu. Kulihat,” kata Pinyut lagi.
“Banyak yang menowel cupingnya Pi,” bantah Romzi.
“Ya, sudah… sudah…,” Wak Bakri tambah marah. “Duduk kalian berdua di sini.”
Nah, berteriak-teriak Romzi dan Pinyut mendapat pukulan rotan panjang Wak Bakri. Tapi walaupun menangis terpekik-pekik, tak ada yang berani menghalangi Wak Bakri. Tak ada pula yang berani berkata atau mengadukan kejadian itu kepada bak-mak mereka. Kalaupun dilaporkan juga, orang tua kami paling bilang, “Nah, bagus sekali. Boleh ditambah lagi biar jera…”
Entah sudah berapa kali rotan Wak Bakri dipergunakan untuk menggebuk anak ngaji yang ribut, yang nakal, yang tidak patuh dengan peraturan… Lumayan juga kalau mendapatkan ‘ruti kejung[2], begitu kami member nama rotan Wak Bakri itu. Tapi entah pula, ada saja yang memperoleh ruti kejung tersebut. Artinya, ada saja yang tidak juga bosan merasakan ruti kejung itu. Enak rupanya. Hahaa…
>> BERSAMBUNG
[1] berlaku seperti raja, sok kuasa, egois, mau menang sendiri
[2] roti panjang
