Sajak

Sajak-sajak Edy Samudra Kertagama

SUMPAH

Dari pangkal guruh
maupun pangkal badai
payung mendung di kepala
nyaris sampai bersama matahari
sedang aroma iblis
di sekujur pandangan
selalu saja menggoda hasrat
yang sudah lama kutenggelamkan
di antara rongga pegunungan.
dan air mengalir di sela bebatuan.

Aku diam di ujung hulu
engkau besolek di air sungai
“o, dapatkah salah satu riuh itu tersimpan”?
sementara, dahaga selalu datang mengintai
lewat perih tertimbun-tertikam belati.

Mungkin bagi seekor burung
ini hanya sekadar tamasya
tapi bagi angin, ini adalah tawanan
untuk membawa sumpahnya sendiri?

esk,sf.rsmd.05.07.2019

TAK BISA SEMBUNYI

Jangan pergi jauh
walau hanya untuk satu hari
dan aku tak tahu, harus bagaimana
mengucapkannya, karena engkau
selalu saja menunggu di stasiun
meski kereta-kereta tak lagi
singgah di sini.
mungkin ini, adalah kata-kata
sedang mencari rumah terseret hanyut
dalam diri, atau mungki juga siluet
yang tak pernah larut di pantai
karena luka garam yang begitu dalam
menangis, lalu mencekik diri sendiri.

Aku tak lagi bisa melarikan diri
apalagi sembunyi, meskipun kau begitu jauh
sebab jika terjadi, mataku
tak lagi pernah berdenyar di bentang jarak. &
“apakah aku harus sembunyi”?
sedang suara tangis hujan, pecah genta,
telah menjelma danau
di bawah pohon-pohon cemara.

O, siapakah engkau bagiku
karena keluh kesah mu
selalu datang di dini hari.
dan mungkinkah aku harus sembunyi
sedang benih telah kusemai di kebun
mengikuti kehendak angin
bersama tanganku lunglai
menyingkap tirai wujudmu.

esk.svrsmd.03.07.2019

MARBELLA IN LOVE

Cahaya turun
Tidak dari manapun.
Tidak bagi yang lainnya
Aku tahu, aku asing darimu
Dan aku tak peduli
Karena daun-daun telah gugur
Tertiup angin untuk meraba wjahmu

Ya, Marbella, jika tahu
Siapapun tak akan mampu
Untuk mengisi ruang hatimu
Sebab, di setiap sisi jendela kamar
Selalu ada cahaya dirimu
Untuk membawa siapa pun :
munuju pada sebuah peraduan
bersama gelombang
yang tiada juga kunjung mengerti
tentang sakit nya “puisi yang menikahi hujan”
yang kubaca malam itu.

esk,rsmd. MPU XII, Banten.27.06.2019

TAK ADA HUJAN DI BULAN JUNI

Tak ada hujan di bulan Juni
walau tak jauh dari mataku
di tepi sungai, aku duduk beralas rumput
dan hari-hari yang remeh ini
kubiarkan melenggang pergi
dan itu sudah cukup bagiku
sebab segala air, telah banyak kehilangan,
maka biarkan di taman kebunku
ia menumbuhkan alam yang lebih indah
dari duri di tengah bunga, meski angin
merasakan sekuntum kembang terkulai
di sapu angin derita, karena
tak ada hujan di bulan Juni.

Akan kuabaikan cacian hujan
dan cekikan yang lama bersarang di dadaku
karena ia tak pernah berbelasungkawa
atas segala yang dirontokkan embun
dari kelopak yang diderakan malam
dan di sini aku masih mengejar cahaya
bukan karena rindu datangnya
hujan di bulan Juni, tapi karena rasa risau
yang mengamuk di suatu tempat
lantaran dahaga :
selalu mengarang dalih syahwat
di pagi yang sepi bersama kelakar konyol
meski sembilan bulan lamanya,
gairah musim panas berdesir di ambang jendela
di hari yang cerah, rumah yang sepi

esk,sfrsMD.23.06.2019

ORKESTRA DI BAWAH LANGIT BETA

Mengapa pada sabtu pagi ini,
daun-daun dingin? apakah,
belati yang bengis telah melukainya
mungkin saja, sebab ia selalu bersua
dengan peristiwa-peristiwa
untuk kembali membawanya
pada gemerisik garam
yang menyirami tubuhnya,
meski ia, tak lebih dari sekadar gema
dari kata di ucapkan lalu hilang begitu saja

Ia coba pulang ke tepi, agar hari-hari nya
tak berlarian dari yang satu ke yang lainya
seperti rambut terurai lalu jatuh satu-satu di bahu.

Dan mungkinah di bumi, di tempat yang jauh,
hidupnya harus terbenam kembali,
lantaran matamu berkeliaran,
bersama pesan-pesan orkestra yang begitu jernih
lalu menjelma di bawah langit pagi beta punya diri.

Jakarta-Lampung, esk.sff.03.07 2012/2019,

ORKESTRA & DUA PELURU MENEMBUS DADA

Tentang dua peluru
menembus dada
jangan terlalu kau risaukan
karena luka nya kini
telah mengering,
meski ia harus menganga
untuk mengirup ranum bunga
yang kau tinggalkan beberapa
waktu lalu.

Ingin kucecap
kesementaraan masa kecilku
agar segalanya tak rumit
lalu terkoyak-koyak,
saat hendak merangkai kembali
jalan-jalan yang pernah kita lalui
di antara padang-padang liar
dan kota-kota yang di diamkan
karena semua pesona tentang sajak
sudah memerah madu
di antara jari-jari tangan
yang terus-menerus memintalnya.

Kini kenapa kita harus cemburu
ke pada langit yang menurunkan hujan
ke pada tanah yang di tanami benih,
biarlah semuanya berayun bersama angin
lalu bernyanyi tentang datangnya pelangi
dari kayangan. kalau tidak, biarkan saja
musin dingin malam ini jadi sunyi
lalu semua lunglai
penuh dengan kemurungan

Jakarta,Lampung.
sf,esk.hs.g.rsmd.2014.2019

—————————————-
Edy Samudra Kertagama, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 12 Agustus 1961. Menulis sajak sejak 1987. Buku puisinya: Kering (1997), Nyanyian Sunyi (2002), Sajak-sajak Pendek Embun Putih (2004), dan Mantra Sang Nabi (2014). Karya-karya yang lain dimuat di berbagai media dan antologi bersama. Ia diundang dalam beberapa pertemuan sastrawan nasional dan internasional. Saat ini ia Direktur Artistik di Rumah Sastra Mata Dunia dan pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL).

1 Comment

1 Comment

  1. Avatar

    mia rozantina

    April 7, 2021 at 5:03 pm

    tolong puisi mantra sang nabi mnta pdf ebooknya sebab lg menyusun skripsi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top