Panggung

Agar Beban Puisi Berkurang

Oleh Doddi Ahmad Fauji

SESUNGGUHNYA menulis puisi, sedari dulu, bisa dilakukan oleh siapa pun. Hanya saja, ruang untuk publikasinya amat terbatas. Maka di era surat kabar cetak, puisi akan diseleksi dulu oleh redaktur, sebelum dipublikasikan di ruang yang terbatas itu. Sebelum ditemukan mesin cetak, puisi mungkin dituliskan pada sabak, lempengan batu, helaian kertas atau kulit binatang, dan pasti, puisi yang dimuatnya adalah yang terbaik menurut mereka. Sebelumnya lagi, kiranya puisi di-gorowok-kan keras-keras sebagai bentuk protes, atau disenandungkan sebagai doa atau bujuk rayu.

Di zaman Nabi Muhammad, para penulis puisi yang disebut tukang syi-ir atau syair, kemudian lahir istilah penyair di kita, sebagian dari mereka malah menjelma nabi palsu, dengan membuat ayat-ayat palsu, guna menandingi keluhuran ayat-ayat Quran yang berasal dari wahyu langitan.

Kini pun, tidak sedikit penyair yang menjelma nabi palsu, yaitu yang merasa ‘hebat’ dikarenakan pandey menulis puisi, dan punya pengikut, dan pengikutnya itu bisa tunduk pada sabda yang diucapkannya, dikarenakan, siapa yang patuh menjadi pengikut, maka beroleh sebengol dua berkah.

Ketika mesin cetak menggunakan logam dirancang oleh Gutenberg sekira tahun 1.400-an, puisi mendapatkan ruang untuk dibukukan. Tapi, penerbit serius tetap akan menyeleksi puisi yang layak terbit. Jika ingin menerbitkan buku sendiri, boleh saja, asal punya dana.

Di era surat kabar dan penerbitan buku menggunakan mesin cetak offset, puisi adalah amanat yang terseleksi, yang dilahirkan oleh para pemikir atau filsuf. Maka puisi di era ini, seolah-olah hanya ditulis oleh sedikit orang. Ada sih yang menulis, tapi dikecam oleh penyair Chairil Anwar: Yang bukan penyair, dilarang ikut bagian.

Lalu percetakan mengalami permudahan dan permurahan biaya, setelah Jepang dan China melahirkan printer rumahan dan printer digital, hingga buku bisa dicetak bahkan hanya 1 eksemplar, dengan kemasan jauh lebih simpel dibandingkan dengan jaman ketika ingin menerbitkan buku dalam jumlah sedikit, dilakukan harus dengan cara disablon. Duh, aku sih tidak mengalami menerbitkan buku puisi harus nyablon, seperti nyablon kop surat atau kaos.

Era digital printing dan printer rumahan ini, membuat penerbitan buku jadi marak, termasuk buku puisi. Duh, kata sastrawan Toni Lesmana dari Tasikmalaya, kini penerbitan buku puisi mengalami banjir bandang.

Dalam keadaan banjir bandang, apapun dihanyutkan dan di-palid-kan, kemudian nanti jadi tumpukan sampah setelah banjir surut. Duh, ini perkiasan kok menyamakan puisi dengan sampah ya?

Sebelum era digital printing yang membuat percetakan cover buku makin mudah, murah, dan hasilnya bagus, puisi telah mengalami booming melalui mading virtual, yaitu facebook, yang ditemukan oleh Kiyai Mark Zuckerber. Puisi makin membludak, dan grup perpuisian di pesbuk tumbuh subur, dan dari situ, insting binis orang per orang ikut bangkit, hingga lahirlah gerakan nulis bareng (Nubar), gerakan pura-pura lomba menulis puisi, dan sederet gerakan lainnya yang ujung-ujungnya sekedar ogutisasi (pencitraan), atau bisnis terselubung. Intinya, gerakan puisi, hasilnya dibukukan, dan penulisnya harus beli.

Semi Mantra

Lah, perbuatan seperti ini juga beberapa kali kulakukan. Tapi sekarang aku ingin menguranginya, dan kalau bisa, benar-benar tidak melakukannya lagi, bahkan kalau sudah ada penghasilan yang membuat dapur ngebul, aku ingin berhenti dari pekerjaan mengkoordinir orang untuk berpuisi, diterbitkan, jadi buku, wajib beli buku, dapat sertifikat yang buat guru ASN bermanfaat untuk pemberkasan kenaikan pangkat.

Aku sekarang belajar ternak belatung emas alias maggot BSF, dengan harapan dapat menjadi eksportir, dan dapat mendanai kegiatan-kegiatan serius di bidang literasi, agar terbangun kesadaran makin kritis, kewarasan makin bernas, dan kewajaran makin bersahaja. Tapi, semangat penciptaan dan berimajinasi makin tinggi. Jangan dikira membuat pesawat tidak butuh imajinasi loh. Bangsa kita belum bisa menciptakan mesin, telepon, komputer, juga kamera, bisa jadi karena imajinasinya kurang kuat. Dan, yang dapat menjadi sumur untuk mempekuat imajinasi adalah literasi, khususon lagi puisi.

Menulis puisi adalah pekerjaan sia-sia dan tidak berguna, kecuali… []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top