Derita dan Asa Pendidikan Kita
Oleh Taufik Hidayat
SEORANG guru salah satu sekolah di Sumenep, Madura mengajar dari rumah ke rumah. Pengalaman tersebut baru diketahui setelah dia bercerita lewat Facebook. Para siswa tidak memiliki sarana yang mendukung untuk belajar di rumah selama masa Pandemi Covid-19, seperti tidak adanya ponsel (smart phon) atau laptop dan kemampuan dana untuk membeli kuota internet.
Awal April 2020, sekitar 300 orang tua siswa sekolahdasar di 18 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur telah diriset oleh Tim Inovasi (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia) untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah”. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya sekitar 28% responden yang menyatakan anak mereka belajar denganmenggunakan media daring dan tampak terjadi ketimpangan akses media pembelajaran antara keluarga ekonomi mampu dengan yang kurang mampu.
Hal lain disampaikan Pak HB yang menjadi tenaga sukarelawan pendidikan di tiga sekolah distrik Mandobo dan Iniyandit, Kabupaten Boven Digoel padaAgustus 2015-Mei 2018. Setelah diamati, dia menemukan tiga persoalan pokok terkait Program Afirmasi (GGD dan SM3T), yakni sekolah di kampung masih kekurangan, bahkan tidak memiliki tenaga pengajar, materi pelajaran yang sesuai standar kurikulum nasional ternyata belum mengedepankan hal-hal kearifan lokal, dan masih mengaplikasikan pedagogi tradisional atau memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang netral.
Kejadian-kejadian tadi berada di level sekolah. Di level perguruan tinggi pun terdapat peristiwa dan catatannya tersendiri. Pada 24 April 2019 puluhan mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya mengadakan aksi protes di dalam Gedung Rektorat. Aksiprotes tersebut terkait kebijakan Rektor setempat tentang nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan oleh calon mahasiswa baru yang diterima oleh perguraun tinggi tersebut.
Dilansirdari BPS, data tahun 2017 menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) umur 16-18 tahun merosot ketika memasuki fase selanjutnya (19-24 tahun) atau fase anak/remaja yangseharusnyamendapatkanakseskePerguruan Tinggi, yaknihanya 24,67% yang dapat menempuh pendidikan fase selanjutnya (perguruan tinggi). Bahkan, dalam satu dekade sebelumnya, angka-angka ini relatif tidak jauh berbeda, saat tahun 2007 APS umur 19-24 tahun sekitar 12,20%. Kemudian hingga 2017 angkanya berturut-turut 12,43%, 12,66%, 13,67%, 14,47%, 15,94%, 20,04%, 22,74%, 22,79% dan 23,80%. Sehingga wajar bila di tahun sebelumnya yakni 2015, Badan Pusat Statistik pernah merilis bahwa lebih dari separuh tenaga kerja negara ini di dominasi lulusan sekolah dasar dan menengahpertama. Sementara per tahun 2016, 54,6 juta pekerja masih memegang ijazah sekolah dasar.
Padahal, tercatat bahwa kurikulum pendidikan telah berganti sebanyak 11 kali, mulai Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) 2004, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, K-13, dan terakhir Kurikulum 2015.
Apakah hanya persoalan-persoalan diatas yang kita temui dalam dunia pendidikan? Apakah hal-hal itu akar masalah pendidikan kita, yakni soal fasilitas serta dana dan taraf pendidikan? Atau justru itu hanya persoalan permukaan? Lantas, apa sebetulnya akar masalah pendidikan kita?
Mari kita ingat kembali pasal 31 ayat 3 UUD 1945 bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa, yang diatur dengan undang-undang.”. Berikutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Bila tujuan didudukkan untuk mengidentifikasi akar persoalan pendidikan, sudahkah pendidikan kita mencapai tujuannya?
Beberapa kata kunci di dalam tujuan pendidikan nasional, yakni iman, takwa, dan akhlak mulia tentu terkandung pada konsep pendidikan didalam Islam. Konsepnya tak sama dengan pendidikan karakter Barat yang memiliki beberapa masalah di antaranya tidak ada kesepakatan dari konseptor dan programmer pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi, konsep karakter masih ambigu karena masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour), dan karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq.
Juga tak sama dengan konsep pendidikan multikultural Barat yang mengajarkan untuk menghargai keragaman, tetap mengandung problem dekonstruksi konsep tauhid, pluralisme agama, relativisme kebenaran, antiotoritas penafsiran, dan humanisme sekuler, sehingga tidak membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah Swt. Bukan pula pendidikan gender yang berasas pada feminisme yang tak memandang institusi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak. Padahal dengan terjalinnya komunikasi yang harmonis antara suami danistri atau diamalkannya konsep keluarga dalam Islam dimana al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. menjadi pedoman dan sumber inspirasi utama, maka konsep hidup dan kehidupan akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Sudah banyak gagasan dari para ulama dan bukti kesuksesan bila mengimplementasikan konsep pendidikan dalam Islam dengan sungguh-sungguh. Sejarah mencatat pemikiran Ibn Jauzi tentang pendidikan jiwa, konsep ilmu dan pendidikan oleh Imam al-Ghazali, pendidikan akhlak menurut Syekh al-Zarnuji, pandangan Buya Hamka tentang pendidikan, pendidikan mental-spiritual oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, pendidikan menurut Ibn Khaldun, perjuangan Rahmah el-Yunusiyyah dalam pendidikan, konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, konsep pendidikan dalam pemikiran al-Kawakibi, Nyai Dahlan yang mempelopori pendidikan perempuan Jawa, perjuangan pendidikan yang dilakukan oleh Jamiat Khair, nasihat pendidikan dari A. Hassan, konsep pendidikan menurut M. Natsir, gagasan pendidikan oleh A. Kahar Muzakkir, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, konsep pendidikan menurut Ibn Sina, metode dan pendekatan pendidikan oleh Said Nursi, kondep pendidikan dari Ibn Qayyim, pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi.
Mari pelajari kembali dan pahami lagi wejangan-wejangan dari figur-figur terbaik seperti yang disebutkan diatas, terutama sekali pesan dari Rasullah SAW. dalam merancang, menjalankan, mengevaluasi, dan membenahi sikon pendidikan kita. Bukankah ini tugas bersama? Menimbang pentingnya pendidikan untuk pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara kita. Wallaahu a’lamu bisshowaab. []
Taufik Hidayat, mahasiswa dan guru, tinggal di Cirebon
Pingback: Derita dan Asa Pendidikan Kita – NGALIR