Kolom

[Otak Atik Otak] Reformasi dan Kebutuhan Humanisme Universal

Oleh Hardi Hamzah

PADA pasca 1998 memasuki era reformasi, humanisme universal semakin melebarkan sayapnya, yang kemudian mengandung arti dan makna lebih luas sejalan dengan perkembangan demokrasi. Salah satu yang terpenting adanya variabel teknologi komunikasi. Dunia maya yang bila di negara maju menjadi jembatan penghantar kecerdasan dan atau rasionalitas, sementara di Indonesia menjadi ajang “kesia-siaan”. Misalnya saja seperti hoaks, caci-maki, lelucon, pornografi, dan segudang kalimat sampah lainnya

Di Indonesia istilah humanisme universal, pertama kali dipopulerkan oleh sastrawan HB Jassin dalam majalah Gema Suasana yang terbit tahun 1948. Jassin secara kontradiksi menulis dalam edisi perdana Gema Suasana. Bagi Jassin tidaklah pantas di tengah pertempuran kita menganjurkan suasana perdamaian. Hal ini akan melemahkan semangat perlawanan kita, tegas Jassin.

Jassin menjadi menarik, karena ia mengungkapnya di era pertempuran di saat Jakarta sedang disibukkan oleh keinginan Belanda untuk kembali ke Indonesia, yang ditandai dengan clash pertama di tahun 1947-49. Empat belas tahun kemudian di era demokrasi terpimpin, tepatnya tahun 1963 seniman yang antikomunis mengeluarkan deklarasi bersama yang terkenal dengan nama Manifes Kebudayaan (Manikebu). Manikebu yang dipelopori oleh budayawan-budayawan senior Wiratmo Soekito dan Goenawan Muhammad yang ketika itu masih junior. Dalam salah satu butir diktum Manikebu disebutkan, antara lain bahwa kita setuju humanisme universal bila tidak mengangkangi para seniman. Hal ini didistorsi oleh Lekra. Seorang tokohnya DN Aidit, mengatakan manikebu akan menyerang manipol usdek, sebuah doktrin negara yang harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia ketika itu.

Beranjak dari mikro pehaman diatas, humanisme universal kini menjadi salah arah, ia semakin berbaur dengan politik murahan dengan jargon para elit kacangan, yang didukung pula oleh penggunaaan teknologi komunikasi yang deviatif (menyimpang).

Pada titik ini kita kemudian mengingat Boris Pasternak dalam novelnya Dr. Zhivago. Penulis Rusia itu melihat bahwa penggabungan antara humanisme yang diusung oleh para elit politik akan mencabut nilai-nilai kebangsaan dan spiritual. Dan, ini terjadi di Indonesia, semangat kebangsaan kita lebih menguat kearah westernisasi sebagai resultante dari ketidakmampuan kita menggunakan teknologi komunikasi dalam konteks keiilmuan. Disisi lain, orientasi spiritual, pun tak kalah terdistorsi dan tereduksi oleh ocehan para agamawan yang normatif dan doktrinal. Inilah yang disebut para teolog moderen sebagai suatu keguncangan nilai-nilai yang pada gilirannya mencerabut anasir anasir kerangka berpikir masyarakat.

Dengan demikian, humanisme universal, baik pada kurun waktu yang berbeda maupun strukstur sosial berlainan yang sangat kita butuhkan, kini justru bergeser jauh di tengah arus demokrasi yang diusung oleh reformasi. Barangkali kita harus menguatkan kembali humanisme universal sebagai values loaded (padat nilai) dan sekaligus values free (bebas nilai). Bukan di era reformasi kita seolah-olah “Sekali merdeka, merdekasekali!” []

——————–
Hardi Hamzah, kolumnis.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top