Melihat Indonesia dari Teori Oligarki

Oleh Agus Wedi
DATA BUKU
Judul: Oligarki: Teori dan Kritik. Editor: Abdil Mughis Mudhaffir & Coen Husain Pontoh. Penerbit: Marjin Kiri. Cetakan: 2020. Tebal: 291 halaman. ISBN: 978-979-1260-95-4.
OLIGARKI pantas dikritik. Sebab, oligarki tidak hanya mengendalikan dan memonopoli institusi politik dan ekonomi, tapi juga kerap menyimpang bahkan korup dalam mengelola sumber daya publik (halaman. 3).
Rapuhnya integritas politik, maraknya perusakan ekologi, dan terjadinya ketimpangan bahkan kekerasan, sebagaimana kesimpulan buku ini, Oligarki: Teori dan Kritik (2020), adalah wujud dari eksploitasi oligarki. Buku ini memandang bahwa oligarki memuat banyak masalah besar, seperti makin rendahnya kualitas demokrasi dan makin defisitnya integritas negara, misalnya dalam hal membuat UU yang sebagian normanya banyak dilucuti sebab adanya kepentingan antara oligarki dan pemangku negara.
Buku kumpulan tulisan makalah yang ditulis sembilan orang ini, dapat membantu mencerna tesis pemikiran Jaffrey Winters, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, tentang asal-usul pemikirannya dan bagaimana mengatahui peta politik dan konsekuensi dari tindakan oligarki. Serta akan diantar menelusuri berbagai argumentasi teoretis dan sajian data analitis serta masalah yang melingkupinya tentang mengapa dan bagaimana oligarki memainkan perannya sehingga kekuatannya dominan di negara demokrasi ini.
Di tengah minimnya kajian terhadap oligarki, buku ini menjadi penting sebagai pemantik diskusi (baru) untuk menemukan kembali kualitas nalar publik dan signifikansinya kebijakan-kebijakan sebuah negara. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui, masyarakat dan negara seakan lumpuh, bahkan mungkin tenggelam karena begitu dominan-kuatnya penguasaan “pasar” di institusi-kondisi ruang atau sistem yang katanya “demokrasi” ini.
Buku ini melihat, terutama dalam konteks fenomena mutakhir arus utama politik-kebijakan Indonesia, melalui penelusuran historis dengan konsep teori oligarki, terdapat benang merah bahwa sistem “demokrasi” telah/bisa menjadi ruang “basah” yang dimanfaatkan oleh para oligarki. Bangunan negara-bangsa yang mencari-memimpikan “kesejahteraan” dan “keadilan” sebagaimana termaktub dalam Pancasila lumpuh akibat terjerembap atau dibajak oleh orang yang punya politik kekerabatan dan para oligarki, bahkan orang yang ditunjuk secara politis di tingkat struktur negara.
Winters, sebagaimana diterangkan Muhammad Ridha, dalam artikel Kekhususan Oligarki Pemikiran Jeffrey Winter Mengenal Oligarki menegaskan bahwasanya oligarki dapat dipahami dari dua aspek: kepemilikan dan pertahanan. Terhadap kepemilikan, oligarki melakukan klaim berdasarkan kekayaan dan kepemilikan yang dimiliki dan memastikan kekayaan mereka tidak diambil orang lain. Sedangkan dalam aspek pertahanan, Winters menemukan kamampuan para oligarki untuk mempertahankan sebanyak mungkin kekayaan dan keuntungan dalam mengamankan kepemilikan hartanya.
Artinya, bilamana para oligarki terancam dengan orang kaya lain, maka strategi yang diambil adalah menginvestasi koersif dengan cara-cara membayar preman, pasukan, benteng, atau ksatria guna melindungi mereka dari perebutan kekayaan tersebut. Ketika berhadapan dengan negara, maka oligarki melakukan pengalihan kekayaan dengan menggandeng kalangan profesional terspesialisasi, seperti pengacara, akuntan, dan konsultan agar terhindar dari pajak-redistributif negara (hlm. 15 ).
Menurut pandangan Winters, pertalian dua sikap itu dalam diskursus sejarah Indonesia sudah terjadi sejak masa Orda Baru. Winters mencatat, pada masa Soeharto hingga era Jokowi disebut sebagai fondasi oligarki berkuasa dan oligarki sultanistik. Mereka mempertahankan kepemilikan dalam keberadaan individual dan akumulasi kapital saja. Bahkan, bukan hanya menggunakan kekerasan, tapi juga menegakkan hegemoninya secara ideologis untuk mempertahankan dominasi material mereka (hlm. 16).
Saat ini, kontestasi para oligarki di Indonesia menemukan titik terang. Salah satu indikatornya adalah menguatnya politik identitas, konflik agraria seperti Tumpang Pitu, Banyuwangi yang tidak berkesesudahan, dan rancangan pembuatan RUU Cipta Kerja yang begitu terbur-buru, serta kejanggalan anggaran Kartu Prakerja akhir-akhir ini yang merupakan bentuk lain dari penyebab tindakan (politis) oligarki.
Menurut Robison dan Hadiz, yang diterangkan Abdil Mughis Mudhoffir, Negara, Kapital, dan Kepentingan Kelas: Menafsirkan Tesis Oligarki Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, hal-hal sebagaimana tersebut di atas adalah penanda bahwa negara didominasi dan dimonopoli oligarki dan politik predatoris. Mereka hanya ingin mewujudkan agenda reformasi birokrasi lewat karangka pemerintahan dalam bahasa teknokrat.
Misalnya tawaran oligarki merancang kota hijau atau RUU Cipta Kerja. Jelas tawaran ini tidak masuk akal, sebab sikap dasar oligarki sejak awal hanya berhasrat untuk menghasilkan harta sebanyak-banyaknya. Alih-alih meracang kota hijau atau RUU Cipta Kerja, kota dan RUU Cipta Kerja itu sendiri diakali supaya oligarki tetap berlanjut melenggang dan aman. Dan kini juga terlihat dalam kejanggalan anggaran Kartu Prakerja yang dimaksudkan untuk membantu masyarakat, tetapi malah (akan) dibuat untuk pelatihan tidak jelas oleh Stafsus Milenial.
Fred Magdoff dan Joh Bellamy Foster dalam Lingkungan Hidup dan Kapitalisme (2019), oligarki tak peduli dengan sistem apa pun dan bagaimana pun kecuali keuntugan. Oligarki hanya menginginkan akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya, atau apa yang disebut Marx sebagai “passion for wealth as wealth, hasrat kuat untuk memperkaya diri, tak peduli dampak dan akibatnya. Sebab itu, oligarki alih-alih menjadi solusi, ia bahkan menjadi bumerang.
Bagaimana di negara demokratis bisa terjadi? Kenyataannya bisa. Ketika negara terobsesi perekonomian marcusuar tapi perspektifnya sempit dan terjebak dalam program pragmatik berjangka pendek, demi memenuhi harapan populis yang selalu tidak sabar untuk mendapatkan kepuasan segera, ia justru memberi pijakan oligarki untuk mendaratkan tindakannya (halaman. xv-xvi). Demokrasi dibuat illiberal dan kondisi darurat dijadikan alasannya, yang kemudian disentralisasi menjadi oligarki. Nantinya, apa-apa yang terjadi dalam bentuk kebijakan apa pun (meski menyimpang), dianggap sebagai reaksi alamiah saja, dan oleh sebab itu, masyarakat harus menerimanya dengan lapang. Padahal, meminjam bahasa Fredic Jameson, masyarakat itu telah dimiskinkan secara imajinasi.
Lantas, adakah jalan untuk mengatasi oligarki. Praktik oligarki memerlukan langkah serius untuk ditumbangkan. Sebagaimana analisis Robertus Robet dalam tulisan Oligarki, Politik, dan “Res Republica di buku ini, harus ada radikaliasasi politik demokratis dan mengupayakan perubahan redistribusi kekayaan dan kekuatan sosial progresif serta penguatan hukum yang adil. Tanpa itu oligarki tak bisa dibendung dan kemungkinan perlawanan terhadapnya berakhir pada kebuntuan. Pengorganisasian kekuatan rakyat serta mengingatkan betapa pentingnya kewajiban moral publik untuk berperan aktif menumpas oligarki sangat diperlukan. Bukan hanya sebagai penerapan koseptual, tetapi untuk mencapai titik puncak konklusif permasalahan.
Membaca buku ini, seperti membaca Indonesia. Selain aspek kritis yang diajukan, kelebihan buku ini terletak pada ketajaman analisis penulisnya mengurai tesis oligarki. Filosofi mendasar tesis oligarki dibaca lebih kritis dalam berbagai perspektif. Selain itu juga aktual melihat gejala sosial kaitannya dengan transisi politik Indonesia. Maka, tidak berlebihan jika buku ini dijadikan media mengidentifikasi problem rakyat-negara dari kangkangan oligarkis. Sekaligus sebagai pertimbangan etis dalam setiap putusan-putusan (politis) negara. []
————–
Agus Wedi, bergiat di Bilik Literasi Solo dan pengelola Serambi Kata.
