Kolom

Apakah Umat Islam akan Menggali Kuburnya Sendiri?

Oleh Hardi Hamzah

KEMUNCULAN modernisasi yang tidak terbendung, akhirnya memupuskan harapan Karl Marx. Ini setidaknya bila dikaitkan dengan Manifesto Komunis yang berhasrat untuk mewujudkan kesamaan kemanusiaan, sama rata sama rasa, dan melakukan revolusi untuk menyatukan buruh di dunia.

Kegagalan Marxisme tersebut, sekurangnya setelah Tembok Berlin runtuh, menyusul runtuhnya Uni Soviet. Waktu itu majalah terkemuka Jerman Dier Spigel menulis bahwa kehadiran modernitas yang berjalan bersamaan rasionalitas ilmu pengetahuan bertubi-tubi meremuk-redamkan utopia Marx, Hegel, dan Engel.

Sementara majalah Time dan harian La Monde yang terbit di Perancis dengan tegas menulis, inilah saatnya kaum burjuis menekuk-nekuk kaum proletar. Dalam pada itu kantor berita Cina Xin Hua dengan sinis menyatakan iptek dan modernisasi memang tidak bisa terbendung, tetapi masyarakat komunis tidak akan terkikis bila ia mampu bergandengn dengan modernisasi.

Sadar maupun tidak, kini modernisasi telah menjelma jadi kapitalisme yang menekuk-nekuk anasir-anasir masyarakat dunia yang memimpikan kebersamaan hak hak kultural melalui keyakinan ideologi, bahkan agama sekalipun. Kapitalisme telah mereduksi angan-angan kelompok komunis, angan-angan para teolog, terutama dalam komunitas masyarakat yang kurang pendidikan akibat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Harian terkemuka Rusia Pravda setengah putus asa menulis Kapitalisme itu seperti vampire (tidak bisa mati), ujar Pravda menyunting, para pemikir Amerika Latin seperti Paul Baran, Dos Santos, dan Andre Gundar Frank.

Bahkan, Johan Galtung pemikir teologi pembebasan Amerika Latin yang kekanan-kananan bersikap skeptis terhadap keinginan kaum komunis untuk berevolusi. Menghadapi kapitalis, ujar Galtung, revolusi hendaknya harus kita pikirkan bersama.

Mikro uraian di atas, menunjukkan bahwa kapitalis yang merangsek dengan mengusung berbagai perubahan harusnya disikapi dengan kecepatan rasionalitas umat. Nah, apabila umat Islam Indonesia masih berputar dalam siklus politik murahan yang jauh dari mahabah dan muhasabah, maka gurita kapitalisme akan mengubah wajah umat ini menjadi semu. Artinya, kita sebagai masyarakat mayoritas harus bertanggung jawab unt memberikan nilai lebih terhadap elemen yang menopang eksistensi kita. Misalnya, apakah pesantren telah menjadi pendidikan alternatif, apakah haroqoh telah menjelma mencari jawab persoalan kaum duafa, apakah kelompok penggerak pendidikan tinggi Islam telah mampu mesenyawakan iptek dengan berbagai inovasinya pun tak kurang para ustaz hendaknya menyerap dan menginformasikan nilai nilai yang dibangun lewat nilai-nilai teologi pencerahan. Dus, bukan konserpatif apalagi provokatif.

Pada titik ini saya merindukan pergulatan pemikiran yang lebih well edukatif dan well inform sebagaimana ketika saya mahasiswa di era 1980-an. Era otoriter itu ternyata mampu menjelmakan para sosok intelektual muslim unt menjebol tirani Soeharto. Demikian pula di era kolonial rekatan sosialisme yg berharmonisasi dengan nilai-nilai Islam yang diusung oleh HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo yang mampu menjebol imperialisme kolonialisme.

Dengan demikian, bagi saya kemunculan intelektual Islam harusnya mampu menjaga jarak dengan politik murahan, sehingga bisa mencabik-cabik kapitalisme, merkantilisme, dan liberalisme yang tegak dan hidup “meracuni” generasi muda kita. Dus, bukannya kita takut terhadap komunisme (PKI) yang sudah mati. Bila terus kita berkutat, apalagi takut terhadap apa yang telah mati, maka kita akan menggali kubur kita sendiri.

Beberapa abad silam Al Farabi telah melukiskan kekuatan kaum Islam akan lebih tangguh bila berada pada kekritisan berpikir. Ibnu Taimiyah pun menggambarkan wahana keagamaan akan melahirkan pembaharuan generasi manakala generasi Islam dapat berkompetisi dengan kehadiran ilmu pengetahuan. Demikian pula Said Qutb dan Ibnu Rusd yg dikagumi para filsuf Barat dan para teolog modern karena berkehendak luhur untuk berorientasi menyikapi masa depan (modernisasi) ini terlihat dalam “debat”-nya dengan Al Ghazali.

Singkat kata menghadapi ganasnya kapitalisme lebih urgen ketimbang berhalusinasi dengan premis dan atau ritme komunisme yang tidak nyata wujudnya. Sekali lagi ini bila kita tidak ingin berputar putar dengan cangkul untuk menggali kubur kita sendiri ! []

————–
Hardi Hamzah, kolumnis.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top