Human

Lado Lampung: Cerito di Jaman Ho

Oleh Admi Syarif

DULU di sekitar awal tahun 1980-an, keluarga saya banyak yang bertani lada atau mengambil upah mutil lado di daerah Talang Dungkul, Batin Nyerudung, Way Isem, Ogan Lima. Menurut cerita ayah saya, keluarga kami pada awalnya dengan naik (gerobak) kerbau membuka umbulan di daerah suppuk yang memang daerahnya sangat subur.

Masih teringat, ketika kecil, saya begitu terkagum melihat mereka (perempuan Lampung) dengan gesit dan berani menaiki tangga bambu setingginya 7-8 meter. Di pinggir kebun biasanya banyak pohon pepaya dan saya sangat bergembira memanjat pohon pepaya dan memakannya di pinggir kebun.

Buah lada yang masih kecil dikenal dengan istilah “candik” (bahasa lampung). Betapa bahagianya petani ketika pohon-pohon lada itu nayah (banyak) candik no. Mereka akan sedih apabila hujan turun dan kemudian disertai angin akan menyebabkan banyaknya “candik” yang jatuh dan alamat panennya   gagal.

Kebahagian petani kalau sudah tiba musim lada memang sangat terasa di daerah itu. Sayang pada saat itu, sebagian petani sudah ngakuk kambangan (bahasa Lampung: ijon)” untuk buah lada yang akan mereka putil (petik). Hamparan lada hasil panen dipew (dijemur) di depan sapeu (gubuk/rumah).

Biasanya musim lada yang buahnya banyak dikenal dengan istilah ngagung. Dan, ini biasanya setiap dua) tahun sekali. Pohon lada yang bagus lingkarannya (gembung) besar dan tingginya hingga 7–10 meter bisa berbuah beberapa kilogram lada kering. Pohon yang merambat pada ghedak minyak (batang kelor) ini memang begitu indah terutama saat buahnya mulai berwarna merah. He he he…. Jadi teringat kenangan lama!

Kebun lada memang begitu rapi. Karena memang saat menanam rambatan (takatan) sudah ditarik serapung (benang lurus). Bapak saya bilang jarak tanam lada yang baik itu 7 × 7 meter.

Jadi, teringat kenangan kecil di era 1970-an. Kalau tidak salah dari Way Isem itu bisa tembus ke Umbul Cempako (cempaka) dan keluar ke arah Sungkai Selatan.

Saat itu memang pasar ogan lima sangat ramai menjadi pusat tempat jual beli hasil bumi (kopi dan lada).

Admi kecil dengan  mobil oplet jeep willys tahun 1944 bersama ayah,  pergi ke sana mengambil hasil lada dari kebun keluarga. Tidak mudah untuk sampai di sana. Jalan yang sangat jelek, bahkan harus berjalan kaki beberapa kilometer.

Ayah saya bercerita,  “Ikam ingok lamen balik jak suppuk mutil lado nayah sai ngedadak belei sepeda” (Biasanya ketika pulang dari memetik lada di suppuk, banyak yang beli sepeda). Saat itu sepeda.yang paling bagus namanya Religh Spesial. Belinya di Palembang dan dirakit di Kotabumi.

Saya pun  ketika waktu musim lada dibelikan celana oleh ayah dengan model cut bray atau bray-bray.

Ha ha ha…  banyak kenangan  kecil, sanak Gunung Katun, Tulangbawang. Sepertinya saya masih ada deh foto pakai celana cut bray.

Nostalgia  yang mengingat masa kecil. Orang tua saya juga guru SD (pil penurun panas) dan ayah sopir mobil yang mengangkut hasil bumei.

Kini, kebun lada di sana sudah sangat berkurang dan sangat kurus-kurus. Buahnya juga sudah semakin sedikit dan mengecil. Tak heran meski sekarang meski harga lada lumayan mahal (Rp150 ribu per kilogram), petani lada tetap menjerit karena pohon lada semakin sedikit dan banyak juga pencurian. Tahun lalu saya kesana ketika ada keluarga yang meninggal, saya mencoba kembali masuk ke kebun lada. Semoga program revitalisasi lada bisa kembali mengangkat kiprah lada di Tanoh Lado.

Masih teringat ketika musim lado, dengan mudah kita melihat orang memikul tibangan (dacin) untuk membeli lada dari petani. Orang-orang ini dikenal dengan sebutan “cakil“. Salah seorang pedagang lada yang sangat terkenal di ogan lima bernama “N” (almarhum). Beliau siap memberi kambangan (ijonan) kepada petani. Petani cukup menyebutkan berapa tanjaran (batang lada) yang kita punya dan bisa meminjam uang darinya.  Setiap minggu ayah saya  mengangkut ladanya ke gudang di daerah Telukbetung dengan mobil Yaodal buatan tahun 1960-an.

***

Ah, kini amparan kebun lada yang dulu berjejer di sepanjang jalan menuju umbulan, sudah banyak berubah menjadi kebun singkong, sawit atau karet. Ketika saya ke sana tahun lalu, tidak terdengar lagi saudara saya di pagi hari yang berujar, “Ago lapah pay ileng kebun nyesip dan ngewawaiken takatan” (Mau ke kebun dulu mengganti batang lada yang mati dan memperbaiki rambatan).

Anak-anak muda di sana sudah banyak yang tidak lagi tertarik berkebun lada.  Banyak sekali kebun lada yang batangnya kurus seperti tidak diurus. Bahkan, tidak sedikit yang kebunnya mereka jual untuk membeli motor dan menjadi beralih profesi tukang ojek.

Beberapa tahun lalu, ketika tinggal di Jepang dan jalan-jalan di supermarket, saya melihat lada yang dijual di sana, memang Lada Indonesia. Namun sayang, ketika saya baca, bukan lada Lampung, melainkan Bangka Black Paper. Kini, kembali mengkhayal semoga dan semoga dengan program revitalisasi lada yang dimotori Unila dan Pemerintah Provinsi Lampung dapat mengembalikan kejayaan Lampung Tanoh Lado. []

  • Ditulis untuk buku Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (dalam proses terbit).
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top