Pustaka

Gangguan Pithagiras

Novel Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis karya Udo Z Karzi. | Fitri Restiana

Oleh Iswadi Pratama

DEMIKIANLAH, pada akhirnya cinta memang selalu menjadi soal yang tak pernah khatam ditulis dan diceritakan. Orang ramai selalu kekurangan dengan kisah-kisah romance yang bisa menjadi obat di tengah hidup yang gaduh dan makin dangkal ini. Setidaknya, kisah cinta yang ada dalam novel  Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis karya Udo Z Karzi ini bisa kita andalkan untuk itu.

Kita memang tidak tahu siapa Pithagiras ini selain menduganya sebagai plesetan dari nama Pythagoras filsuf Yunani dari abad 6 s.M. yang menyumbangkan Teorema bagi ilmu matematika dan penemuan interval musiknya. Tetapi, Udo tentu tidak begitu saja memakai nama itu tanpa memiliki maksud . Paling tidak kita bisa mendapatkan kesan bahwa novel ini adalah sebuah upaya untuk meledek intelektualisme yang acap dijadikan komoditas untuk menciptakan kesan angker dan galak. Sebagaimana yang digambarkan Udo melalui tokoh utama Kenut Ali Kelumbai dan biasa dipanggil “Nut”.

Agaknya karakter Kenut ini sekaligus menjadi karakter Resioner yang menjadi corong pribadi pengarang dalam menyampaikan pendapatnya mengenai berbagai fakta sosial, politik, kebudayaan hingga masalah asmara. Hal ini sebenarnya juga sudah dilakukan Udo pada bukunya yang bertajuk Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012) dan Ke Negarabatin, Mamak Kenut Kembali (2016). Melalui Kenut, Udo selalu punya perspektif yang khas dalam mengomentari fenomena apa saja yang menarik perhatiannya. Dia—tokoh itu—adalah orang yang santai meskipun cukup kritis, kadang tampak tak peduli, acap penuh seloroh dan bisa membedah masalah-masalah serius seakan dia sedang bergurau. Gaya seperti ini tampaknya sudah melekat dan khas pada sejumlah karya Udo lainnya. Udo seakan hendak membatalkan segala bentuk heroisme dan dramatisasi yang biasanya menjadi menu pokok novel-novel berisi risalah sosial. Bahkan, dengan “surat-surat cinta” yang lupa ditulis itu, Udo menyajikan kalibut antara tema-tema besar mengenai reformasi, perubahan sosial, dinamika politik dan kebudayaan, dengan kisah cinta. Cara bertutur yang seperti ini membuat kisah dalam novel ini bisa kita kunyah sambil ngopi dan menikmati sore yang sebentar.

Selain itu, bekalnya sebagai seorang jurnalis selama bertahun-tahun semasa masih kuliah di Fisipol Universitas Lampung di era 1990-an, juga saat ia menjadi wartawan di Harian Lampung Post, memberi Udo banyak bahan berupa data dan fakta dari berbagai peristiwa yang membuat novel ini acap seperti kalaidoskop. Kemampuan Udo mengaduk dan mengadon antara fiksi dan fakta menbuat peristiwa-peristiwa itu kembali hidup dan berdenyut dalam benak kita—terutama mereka yang pernah terlibat langsung dalam kecamuk politik dan perubahan sosial di Lampung menjelang dan pasca lengsernya Soeharto. Sementara bagi pembaca yang “berjarak” dengan peristiwa-peristiwa itu bisa mendapatkan “gangguan-gangguan” berupa kritik dan selorohan yang tampaknya ringan, namun tajam saat direnungkan.

Sebagai seorang penulis, sekaligus kritikus dan komentator zaman, Udo memang tak memberi kita suara yang lantang dan menghentak. Ia seperti menepuk bahu setiap orang untuk membaca ulang masa lalunya, kisah asmaranya, juga kenyataan sosial dan zamannya. Novel ini adalah sebuah suara yang riang, ringan, namun pelan-pelan mengajak kita ke “ruang dalam”; suatu interioritas dari tipikal individu (manusia) Lampung yang “ideal” dalam versi Udo. Selamat Membaca. Tabik. []

————
Iswadi Pratama, sastrawan dan sutradara Teater Satu Lampung. Buku terbarunya: Lacrimosa (kumpulan sajak; 2023) dan Bayang Pucat Memudar (naskah lakon, 2024).

*Ditulis sebagai Epilog novel Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis karya Udo Z Karzi untuk cetakan kedua.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top