Pithagiras dan Kisah Lainnya
Oleh Fitri Restiana
PERIHAL bagaimana Udo Z Karzi meracik kisah dalam Surat Cinta untuk Pithagiras (Pustaka LaBRAK, 2024) ini, membuat saya berhenti sejenak berkali-kali. Tersenyum, menganggukkan kepala, terenyuh, bahkan mendelikkan mata. Saya tak ingin terburu-buru menyesapnya.
Pada banyak kejadian, ceritanya mengajak untuk mengenang segala manis, luka, seru, dan sedikit pahit hidup masa kuliah. Ya, kami satu almamater walau tak terhubung. Udo yang sering memakai kemeja, saya yang terbiasa berkostum kaos tak ikut mode. Udo yang kalau jalan lempeng, saya yang pakai lambaian tangan kiri kanan. Udo golongan mahasiswa serius, saya golongan mahasiswa yang sana sini nanggung. Proletar bukan, borjuis juga enggak, sudra ya jangan.
Balik ke buku. Bagi saya, buku Udo kali ini berbeda dengan buku yang sebelum-sebelumnya, romantismenya kental sekali. Udo mampu mendekap rasa rindu, kehilangan, mengikhlaskan, dikhianati, dengan hangat. Tanpa pembelaan berlebihan, tanpa penerimaan mati-matian. Mengalir begitu saja. Bahkan, pada beberapa adegan, sulit rasanya membedakan mana yang fiksi mana yang fakta.
Bagaimana sang tokoh, Kenut Ali Kelumbai (yang saya curigai mengadopsi sebagian karakter Udo), mencoba berdamai dengan banyak hal. Kehilangan adik tercinta saat gempa Liwa 1994, diciduk polisi ketika renungan suci di Taman Makam Pahlawan (tindak lanjut pertemuan dengan warga korban penggusuran di Way Hui), dan terlukanya sepotong hati.
Ada 24 bagian dalam buku setebal 162 halaman ini. Tak berat dibawa, tak terlalu ringan pula untuk dibaca. Masing-masing bagiannya dirangkai dan dirakit sehingga saling melengkapi.
Diawali dengan surat untuk Pitha tentang bagaimana kisah mereka saat remaja dulu dan nama-nama yang bikin saya tersadar betapa ‘seniornya’ senior saya ini. Ada Roy Marten, Sophan Sopiaan, dan Rano Karno, artis papan atas era ‘80 hingga ’90-an. Udo membuat saya kembali mengingat-ingat wajah cowok yang digandrungi pada masa itu.
Baru pada bagian ketiga dan seterusnya Udo menyertakan dialog khas remaja zaman itu. Malu-malu, tersipu, lugu, dan kadang sok bijak. “Kalaulah sejak awal mula aku menyadari hal sedemikian, tentulah aku tak akan berlaku bodoh, putus asa, dan bahkan menjadi vatalis. Ketidakadilan, keburukan, atau perlakuan tidak baik yang aku (kita?) harus terima misalnya, menjadi warna tersendiri di antara bejibun kebaikan, rasa peduli, dan sikap terpuji dari banyak orang yang kita temui dan rasakan. Kesemuanya menjadikan kehidupan ini seperti pelangi. Indah, damai, dan harmonis.” Gimana,sok bijak kali, kan? Namun, justru di sinilah letak menarik, gurih, dan menyenangkannya. Di sela kegalauan hati remaja, Udo menyelipkan romantisme yang menggemaskan dan kadang picisan.
Bagian selanjutnya tertulislah sesiapa saja yang pernah singgah di hati Kenut Ali Kelumbai. Sebut saja Tari, Nafsiah, dan Vita. Vita lebih mendominasi karena lebih kekinian dan terhubung dengan kisah Kenut di masa kuliah.
Tak hanya romantisme hubungan kenut Ali dengan perempuan-perempuan itu, Udo juga mengisahkan perjuangan Kenut Ali semasa ia kuliah di FISIP Unila. Saya berani memastikan bahwa pada bagian ini, goresan tangan Udo berdasar pada kisah nyata, walau kisah percintaannya mungkin tak begitu. Entahlah.
Sebagai jurnalis kampus, Udo meracik kisah heroik dengan seru dan menegangkan. Aksi mencegat Mendikbud, Wardiman Djojonegoro, saat menuntut pengalihan status fakultas dari persiapan menjadi definitif, menjadi pahlawan dalam proses memperjuangan hak petani Way Huwi, aksi reformasi 1998 yang mengakibatkan dua mahasiswa Unila meninggal dunia, diciduk aparat, bahkan tumbuhnya perasaan sebagai pecundang. Ada dua hal tragis yang menurut saya membuka secara terang-terangan apa isi kepala Udo sang penulis; idealisme dan pengkhianatan!
Pada akhirnya, kisah ini ditutup dengan kesadaran dan penerimaan Kenut Ali atas frustasi, kecewa, bersyukur, bahagia, dan semua rasa yang telah dialaminya.
Bagi saya pribadi, buku berlatar Lampung ini berhasil memamerkan keberanian dan solidaritas penduduknya, indah dan kaya alam serta budayanya, serta romantisme para tokoh dalam bentuk yang beragam.
Lalu, ke manakah Pithagiras? Di manakah ia yang pada matanya seorang Kenut melabuhkan harap dan cinta yang harus berbatas?
Hanya mencukupkan pada pertanyaan itu, tanpa membutuhkan jawaban. Ya, saya selesai, tuntas belajar pada Kenut Ali Kelumbai bagaimana berdamai dengan semua rasa, bahkan prasangka.
Saat menulis ini, ditemani secangkir kopi susu, lamat terdengar alunan lagu. Seketika saya terdiam, mengiringinya dengan gumaman dan semua kenangan yang menggenang sempurna. “Terlalu manis, untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu, tinggallah mimpi.…” []
——————
Fitri Restiana, pengarang, tinggal di Lampung