Sajak-sajak Fajar Suparyanto
KUANTAR KAU DENGAN AIRMATA
Trotoar jalan yang panjang telah kita
telusuri
sebentar terseok langkah kita pada tanah merah
yang membelukar ilalang di sisi-sisinya
lalu ada gambaran tentang rumah duka itu
Sebentar kita bercanda dengan nurani
tentang malaikat yang terlupakan adalah Maut
mengelabui nuranimu
anak panah itu menghunjam hati
Tapi mengapa bukan gelas itu yang
retak
atau air putih itu yang bergolek
cuma hati kita luntur kehilangan makna
Sebentar pula di rumah duka ini
air matamu memberi warna ketika kuucapkan doa
lalu angin perkeburan itu hening
ketika lukaku melangkah tinggalkan jejak
Bandar Lampung, 1993
BAYANGANMU DI KEBUN ANGGREK
Kukecup anyeb bibirmu malam itu
dan kubiarkan tanganmu
menggerayang hampa birahi
“Kita semakin tenggelam dalam
dialog yang terkekang”
Haru. Diam
hanya sudut mata senantiasa
melirik kecewa pada lirik waktu
yang menguasai batas pertemuan
Duduk pun beringsut lelah
setelah tiba saatnya lambaian tangan
menggores lembut wajahmu
yang dialiri airmata, ya itulah airmata
yang telah lama tergenang
di sudut bening telinga hatimu
Cibubur, 1992
SIAPA BERKUBUR TANPA NISAN
Siapa melafalkan doa
meletakkan sesaji membakar dupa
di tengah beton kota
entah untuk siapa
Hanya ada rangkaian bunga
pada keranda kelestarian yang mati
Semua yang menangis sia-sia
dengan air sungai kecoklatan
dihidangkan sampah-sampah di lautan
kecuali merea yang mendapat laba
dari dia yang terkubur tanpa nisan
untuk diziarahi
kecuali pada dongeng
kesejukan
sejarah masa lampau
Bandar Lampung, 27/05/1992
PANORAMA AIRMATA JELATA
Dan sebuah kehilangan
menjelma panorama airmata
menangis, meratapi, menyesali
puitisasi dan tarian kata-kata
pada kalimat konstitusi yang
pernah teraplikasi
entah mengapa?
Sepertinya semua terkondisi
sesuai panjang dasi dan tingginya kursi
Orientasi tahta dan harta
menutup mata mereka pada jelata
yang berairmata dan tak mampu lagi tertawa
setelah semeter tanah dipaksa bertukar lima rupiah
setelah katabelece menggusur
tata kebijakan negeri kita
yang bersatu, merrdeka, sama rata
Dan sebuah kehilangan
menjelma panorama airmata
kita yang jelata kehilangan keadilan
bukan hanya dalam kata-kata
airmata kita yang jelata
menjelma tahta dan harta untuk
mereka yang masih sanggup tertawa
menepuk dada
Bandar Lampung 10/12/1994
SEBENTAR SAJA TERANG HILANG DI LIWA
: Buat saudara-saudaraku
Saudaraku
telah aku saksikan segala kehilanganmu
setelah jernih airmata kasih sayang
seluas padang rumput hijau meradang
semusim petik cengkih menanti panen
sebait lagu riang saat menuju ladang
Relakanlah, wahai Saudaraku
agar telaga jernih tak lagi kehilangan airmata
agar luas padang rumput hijau ini ta lagi meradang
Masih ada musim petik cengkih mendatang
masih akan tercipta syiar lagu
menuju ladang
Marilah bersama kita mendoa
agar mereka yang berpulang
melangkah pulang ke sisi terang
Gempa Liwa, 1994
——————–
PUISI-PUISI berlini masa 1992-1994 ini diciptakan Fajar Suparyanto (lahir 2 April 1970 di Tanjungkarang) ketika dia tercatat sebagai mahasiswa Angkatan 1990 Sosiologi FISIP Unila. Tema cinta dan kepedulian sosial mewarnai sajak-sajaknya yang sempat tergabung dalam antologi bersama Daun-daun Jatuh Tunah-tunas Tumbuh (1995). Masih menulis puisi hingga kini, walau lebih sering dipublikasikan di dinding Facebook-nya.