[Otak Atik Otak] Zaman Keemasan dan Rasionalitas Islam (4/Habis)
Oleh Hardi Hamzah
AKHIRNYA, apakah umat Islam akan berada pada titik lemah terus menerus, tentu tidak. Namun untuk menjadi kuat, kita tidak lagi memerlukan kibasan pedang sebagaimana yang telah ditorehkan oleh kesejarahan Islam. Dewasa ini, era telah digantikan oleh epestimologi sains sosial. Ontologi kehidupan Islam dewasa ini dituntut untuk mengaktualisasikan kehidupan baru tidak hanya “berasyik masyuk” mengelap-elap sejarah keemasan Islam. Kendati refleksi kegemilangan masa lampau pun patut juga ditengok. Pada akhir tulisan ini, ada baiknya kita menengok kegemilangan rejarah Islam itu, setidaknya untuk memunculkan denyut perspektif baru.
Setelah nabi Muhammad Saw kembali ke Mekkah sekitar tahun 8 Hijriyah, seluruh jazirah Arab telah diislamkan. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka dimulailah para sahabat yang memimpin. Dimulai dari Abu Bakar As Siddiq dari tahun 9 H s.d. 13 H pada waktu itu Bahrain yang menjadi kekuasaan Byzantium (Romawi). Setelah Bahrain direbut, Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menguasai negeri Syam yang dikuasai sepenuhnya oleh Byzantium(Romawi). Negeri negeri itu terdiri dari Palestina, Libanon, Yordania dan Syria.
Sebelum Khalid bin Walid menaklukkan negeri syam Abu Bakar As Siddiq wafat, dan digantikan Umar bin Khatab pada, setelah Umar dua tahun berkuasa, pada 15H beliau mengutus Abu Ubaidah dari Madinah menggantikan Khalid bin Walid yang telah dua tahun memimpin perang. Disinilah Abu Ubaidah memimpin perang yang sangat spektakuler, namanya perang Yarmuk. Kaum muslim yang hanya berjumlah 12 ribu pasukan berhasil mengalahkan Byzantium yang pasukanya berjumlah 250 ribu. Perang Yarmuk itulah yang merontokkan empat negara besar sebagai jantung kekuasaan Byzantium. Berikutnya tahun 16H Umar bin Khatab mengutus Saad bin Abi Waqaf, untuk menganjurkan para sahabat yang ada di Madinah agar melakukan penaklukkan, para sahabat pun bersemangat. Dengan jumlah 30 ribu pasukan menembus kekuatan Persia yang bersenjatakan canggih dengan 350 ribu pasukan.
Di era Umar bin Khatab dua imperium besar persia dan Byzantium telah dikuasai, yakni meliputi Iran, Irak, Afghanistan, Suria dan sekitarnya, ditambah lagi wilayah para negeri syam: Libanon, Syiria, Yordania, bahkan Turki. Bagian Asia dan seluruh negara kecil di Afrika semua dibawah kekuasaan Islam dengan amirul mukminun nya Umar bin Khatab. Setelah Umar bin Khatab meninggal ditahum 23H, Usman bin Affan penggantinya. Usman bin Affan mulai mengekspansi kapal kapal Perang. Pola gerakan syiar Islam Usman bin Affan fokus mengirim da’i da’i. Beberapa fakta sejarah membuktikan, Islam masuk ke Indonesia di zaman Usman bin Affan. Ada berapa situs dan makam di Aceh nama da’i da’i dizaman Usman bin Affan.
Ditahun 30H s.d. 40H, kepemimpinan beralih ke Ali bin Abu Thalib. Di era ini, Ali menyelesaikan friksi internal dengan berbagai implikasi dari kaum khawarij. Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, dipenghujung tahun 40H, berdirilah kerajaan “moderen” Islam pertama. Nama kerajaan ini Umayyah, yang dipimpin antara lain oleh Abu Sofian, kerajaan ini berlangsung dari tahun 41H sampai 132H, setelah itu muncul dinasti Abbasiyah dari tahun 132H sampai tahun 656H, di era Abbasiyah inilah muncul ulama ulama besar, diantaranya Abu fatih, dan beberapa perawi hadis, seperti Bukhari Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dll yang sangat kridibel.
Setelah Abbasiyah yang berada di Irak runtuh akibat pasukan Tar Tar dari Mongol. Berdirilah tiga kerajaan besar, namun hanya dua saja kerajaan yang diakui, yang satu tidak diakui karena dari kelompok syi’ah, nama kerajaannya Safawiyah, kini Iran. Dua kerajaan lain yang satu namanya Mongolia berkedudukan di India. Meski dikuasai Mongolia. pengaruh Islam begitu dominan, misalnya raja-raja di Punjab, yang kemudian karena besar pengaruhnya mereka bisa membentuk negara Pakistan yang sangat berpengaruh di Asia Selatan ketika itu. Adapun kerajaan berikutnya yang amat terkenal adalah kerajaan Islam yang berada si Turki tahun 60H yang dikenal dengan dinasti Utsmaniyah(Ottoman) sampai tahun 1335H.
Dinasti Utsmaniyah yang berkuasa cukup lama, mengusai seluruh wilayah islam. Bahkan sampai ke nusantara, dimana kata “Sultan” pada Raja Sultan Agung Tirtayasa, merupakan pengaruh kuat dari dinasti Utsmaniyah, bahkan saking besarnya pengaruh Ustmani sampai mampu mempengaruhi pangeran mangkubumi untuk menghentikan perang terhadap Belanda. Karena Belanda menipu Pangeran Mangkubumi seakan adanya perintah dari Turki Utsmani untuk menghentikan perang. Kita ketahui bersama Pangeran Mangkubumi adalah cikal bakal Sri Sultan Hamengkubuwono I(Dalam tulisan lain kita akan ulas hal ini lebih rinci dalam bagian Islam Jawa).
Besarnya pengaruh Dinasti Utsmaniyah juga menyebar ke wilayah nusantara lainnya, seperti Kesultanan Tidore di Maluku, Kerajaan Kesultanan Aceh, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, adapula Kesultanan Banten. Kesultanan-kesultanan tersebut semuanya merujuk kepada Utsmaniyah. Umumnya mereka menganggap satu kepemimpinan yang berada di Turki dan kerajaan kerajaan tersebut bertitah sebagai gubernurnya.
Ketika era Utsmani, bahasa ilmu pwngetahuan yang digunakan adalah Arab, Latin, dan Yunani. Bahkan para pendeta khawatir bila generasi muda mereka menirukan gaya Ottoman. Mengingat semua indikator penting seperti prilaku, bahasan, dan cara memahami peradaban semua mengacu ke Turki Utsmani. Ketika itu raja Austria memerintahkan agar ratu-ratu memakai cadar, meniru ratu-ratu di kerajaan Ottoman. Secara kultural, dalam perkawinan, meski umumnya mereka kristiani, namun bila sang lelaki bisa bahasa arab, langsung diterima dan ditasbihkan sebagai pengantin istimewa. Begitu besarnya pengaruh Turki Utsmaniyah(Ottoman).
Kewibawaan peradaban Ottoman begitu besar, senagai contoh, abila kapal kapal perang Turki lewat tak ada satupun gereja membunyikan loncengnya. Namun, ironinya lonceng kematiqn justru datang dari Turki sendiri. Ini ditandai dengan munculnya sekularisasi Kemal Attatuk tahun 1924. Berdasarkan mikro gambaran diatas, kini struktur sosial sudah banyak berubah. Globalisasi yang mengusung ilmu pengatahuan dan teknologi membawa peradaban baru, maka urgensitas rasionalitas adalah kemutlakan bagi umat Islam dunia sebagai mana yang penulis singgung dimuka tulisan ini. Konkritnya, umat Islam dunia, teristimewa di Indonesia harus melakukan revolusi alam pikiran, baik dalam konteks kebangkitan Islam, maupun kemajuan NKRI yang sesuai dengan ideologinya (baca: Hardi Hamzah, “Pintu Telah Terbuka: Pancasila Sebagai Epestimologi Sains Sosial”, Kedaulatan Rakyat, 1 Oktober 1987). []
Hardi Hamzah, kolumnis.