Miskin: Warisan Turun-Temurun Keluarga
Oleh Yusril Izha Mahendra
‘MBOK disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa; yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin,” kurang lebih seperti itulah usulan Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan(PMK) Muhadjir Effendi yang ramai diperbincangkan bahkan menjadi bahasan diskusi yang menempatkan pihak-pihak tersebut pada dikotomi pro maupun kontra, namun tidak sedikit juga yang menjadikannya sebatas guyonan ketika bercakap-cakap. Terlepas dari kelompok pro-kontra yang ada, pernyataan Muhadjir Effendi tersebut dapat mengindikasikan sebuah antisipasi terlahirnya keluarga miskin baru hasil pernikahan antar kelurga miskin dan diwariskannya kemiskinan melalui garis keturunan yaitu merujuk sebuah kondisi dimana kemiskinan muncul bukan dari faktor-faktor ekonomi. Bila benar demikian maka secara koheren pernyataan Muhadjir Effendi bersesuian dengan dalil kuno yang ditulis Nurkse dalam Problem Of Capital formation In Underdeveloped Countries : “Suatu negara miskin karena ia miskin” menjadi “seorang miskin karena lahir dari keluarga miskin.”
Bila kita konsisten dengan dalil kuno tersebut bahwa kemiskinan dapat diwariskan melalui garis keturunan berasal dari fakta bahwa keluarga tersebut terjerat dalam apa yang disebut “lingkaran setan kemiskinan” yang sebenarnya sebuah tesis untuk mengungkapkan sebab dan juga akibat dari munculnya negara miskin.
Tingkat pengganguran di Indonesia secara proporsional menurun setiap tahunnya, kecuali pada 2015 yang mengalami peningkatan namun kembali turun. Mungkin diantara kita atau pemangku jabatan dapat berbangga dengan capain tersebut, namun nyatanya capain tersebut tidaklah cukup mapan dengan artian sangat rentan terhadap gangguan hal ini didasarkan bahwa perekonomian Indonesia memiliki karakteristik yang disebut ekonom Faisal Basri “lebih besar pasak daripada tiang” yang dapat dilihat pada ketergantungan luar negeri serta konsumsi yang lebih besar dari pada kemampuan produksinya.
Rendahnya disposible income (pendapatan bersih siap dibelanjakan) pada keluarga miskin merupakan faktor utama bagaimana kemiskinan terus diwariskan. Dengan rendahnya disposible income selanjutnya berakibat pada taraf hidup (tidak cukupnya kebutuhan pokok, sulitnya mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas dan kesehatan), sehingga akhirnya mengakibatkan kelompok tersebut tidak memiliki daya saing (keterampilan yang rendah) dalam memasuki dunia kerja.
Kemudian bila kita mengarahkan kelompok tersebut untuk memperbaiki kualitas hidupnya dengan berwirausaha atau kegiatan sejenisnya kendala yang jelas ialah rendahnya modal atau bahkan akses modal yang sulit, serta kurangnya keterampilan menejerial/seni wirausaha.
Oleh karena itu, untuk menghapus kemiskinan dan memperkecil peluang diwariskannya kondisi tersebut diperlukan langkah-langkah yang struktural dimulai dengan merombak sistem monopolistik dan penguatan posisi politik serta ekonomi masyarakat miskin. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendorong perngorganisasian masyarakat miskin yang lebih partisipatif dengan cara mengubah peraturan yang membatasi (masalah perizinan atau formalisasi), selanjutnya mengubah ekonomi yang monopolistik dan anti persaingan menjadi lebih adil dan kondusif.
Kemudian lebih spesifik pemerintah harus mampu menjinakan kenaikan harga bahan pokok yang dapat dilakukan dengan cara merubah struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Struktur pasar yang demikian memiliki keleluasaan untuk menetapkan harga dengan mengatur pasokan terkhusus bahan pokok. Selain itu kenaikan harga juga dipengaruhi proses distribusi yang dapat dilihat pada selisih harga antara produsen dan pengecer. [] l
———————–
Yusril Izha Mahendra, Peminat masalah sosial-budaya