Kolom

Demonstrasi dan Kemarahan Rakyat

Oleh Soeyanto Soe

DALAM beberapa hari ini marak aksi turun ke jalan oleh berbagai elemen masyarakat memprotes penetapan Omnibus Law oleh DPR dan pemerintah. Tulisan ini tidak ingin masuk dalam ranah pembahasan Omnibus Law itu benar atau tidak tetapi lebih pada pembahasan hak rakyat untuk bersuara.

Kita tahu tiap kali ada demonstrasi, tiap kali pula kita mendengar pro-kontra atas tindakan ini. Demonstrasi biasanya ditujukan pada wakil rakyat dan pemerintah. Wajar bila pihak yang digugat bereaksi negatif.

Rakyat kerap disalahkan dengan tuduhan tidak tahu hukum, tidak bisa menghargai proses legislatif, anarkis dalam mengartikulasikan pendapat, dan sebagainya. Bahkan kesopanan dan etika berunjuk-rasa pun diulas berkali-kali.

Belum lagi sebagian rakyat pun merasa terganggu dengan kegiatan demonstrasi. Jalan-jalan ditutup, arus lalu-lintas tersendat. Rakyat kaya dan sombong ini ikut memaki-maki para pengunjuk rasa dari kabin mobilnya. Khawatir bisnisnya terbang menguap karena waktunya banyak tersita di jalan.

Dari titik ini saja seharusnya kita dapat menyadari betapa berat untuk menjadi demonstran itu. Selain dituding negatif kiri-kanan, mereka pun harus mengerti sedikit-sedikit tentang hal yang mereka gugat plus bersiap terkena pentungan aparat dan gas air mata. Masihkah tega kita menyalahkan mereka?

Menggugat sebuah produk hukum memang secara formal ada prosedurnya. Tertinggi kita punya Mahkamah Konstitusi (MK). Sengketa hukum bisa diselesaikan lewat jalur-jalur ini. 

Akan tetapi sadarkah kita bahwa rakyat turun ke jalan itu bukan sekadar menggugat isi pasal-pasal? Mereka juga menggugat hati nurani wakil rakyat dan pemerintah. Menggugat prosesnya yang sewenang-wenang.

Pada kasus Omnibus Law ini, Menko Luhut Binsar Panjaitan di sebuah televisi mengatakan tidak mungkin pemerintah ingin mengorbankan rakyatnya. Bisa jadi yang dikatakan pak Luhut ini benar tetapi bukan berarti niat baik pemerintah menjadi alasan untuk memberangus suara rakyat.

Para jelata itu memiliki cara berpikirnya sendiri. Banyak kasus demonstrasi terjadi karena pemerintah tidak punya empati. Pemerintah merasa paling tahu apa yang diinginkan rakyat tetapi tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat yang berkesusahan. Itulah mengapa di negara maju sekalipun, demonstrasi tetap ada juga. Amerika, Prancis, Jerman, menjadi langganan demonstran beraksi. Pemerintah tidak selalu benar.

Elite dan rakyat itu berbeda. Mereka punya cara hidup dan cara pandangnya sendiri-sendiri. Mereka punya kesibukannya masing-masing. Malah agenda mereka bisa saja berseberangan. Kepentingan dua pihak ini terjembatani hanya pada saat pemilihan umum (pemilu). Sehingga demonstrasi adalah satu-satunya cara untuk menarik perhatian elite di luar fase pemilu. Demonstrasi adalah sarana yang sah dalam alam demokrasi.

Pemberian amanat oleh rakyat dalam pemilu bukanlah sebuah paket mutlak yang boleh dipakai elite untuk sewenang-wenang atau suka-suka. Amanat itu penuh dengan tanggung jawab.

Pendelagasian suara rakyat pada DPR juga sesungguhnya bukanlah wujud “wakil rakyat” secara substansial tetapi hanyalah bentuk pendelegasian suara “prosedural”.  Dari namanya saja dia disebut WAKIL rakyat. Jadi “wakil rakyat” ini bukanlah rakyat tetapi dia adalah bagian dari elite.

Nah, bagi sekelompok orang yang menuding-nuding rakyat yang berunjuk rasa sebagai kelompok pengacau tentulah tidak paham relasi kuasa negara-rakyat. Kontrol pada negara sebenarnya bukan dari wakil rakyat tetapi dari hati nurani rakyat. Ketika hati rakyat tergores, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, wakil rakyat belum tentu dapat menyuarakannya. Apalagi bila rakyat itu berada pada lapisan yang paling bawah.

Sebagai bagian dari elite, para wakil rakyat ini banyak berkelindan dengan kepentingan elite. Mereka bergaul dengan elite. Mereka cekakak-cekikik dengan elite. Mereka bersulang dengan elite. Rakyat yang tertindas tercenung di pojokan sementara rakyat yang merasa hidupnya lumayan mapan lebih banyak terbungkuk-bungkuk pada elite. Plus mimpi suatu saat dapat menjadi bagian dari elite.

Juga tidak patut bila pemerintah rajin menunjuk-nunjuk para jurnalis, dosen, cendikiawan, budayawan, dan tokoh masyarakat lainnya untuk ikut bertanggung jawab jika aksi unjuk rasa menuai korban jiwa ataupun meterial. Ini logika keliru. Demonstrasi muncul karena ketidakpuasan pada kinerja pemerintah. Tugas pemerintahlah menjawab dengan bijak tuntutan-tuntutan rakyat itu. Pemerintah harus mengambil alih segala resiko yang timbul karena pemerintah dibayar rakyat untuk melindungi segenap unsur kebangsaan. Ajarkan pada para aparat untuk welas-asih pada bangsanya sendiri. Sabar pada rakyat yang nanar karena merasa masa depannya gelap. Panik karena tak tahu akan seperti apa untuk menghidupi keluarganya.

Pun rakyat kelas mapan berhentilah mengeluh bila terjebak macet karena ada aksi unjuk rasa. Mereka yang turun ke jalan ini adalah pihak yang sedang mengawal suara rakyat yang suatu waktu mungkin nanti giliran kepentinganmu yang ditindas.

Kita harus lebih sering belajar relasi hubungan penguasa-rakyat. Sikap perlawananlah yang memerdekakan bangsa ini  75 tahun yang lalu. Kalau tak ada lagi semangat perlawanan dan pembelaan ketika sebagian rakyat diabaikan nasibnya, kita tak pantas menyebut bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka.

untuk itulah kita semestinya bangga pada mahasiswa, pada para pelajar, yang masih memiliki kepedulian. Unjuk rasa adalah salah satu cara melatih mereka agar kelak suatu hari nanti mereka tidak akan pernah lupa akan nasib rakyatnya. Merekalah pemilik masa depan. Orang tua harusnya malu pada mereka. Mungkin yang tua-tua ini seluruh hidupnya memilih hanya untuk menjadi penjilat. Begitukah yang kalian inginkan untuk dikenang ketika telah mati?

Anda boleh setuju atau tidak dengan Omnibus Law, anda boleh berpikiran positif pada pemerintah. Namun apabila ada  sejumlah intelektual menilai produk hukum itu bermasalah, ada ribuan orang turun ke jalan, artinya pasti ada yang keliru dalam produk hukum itu dalam melihat nasib rakyat. Ini semua menjadi tanggung jawab kita bersama.  Di atas segalanya: Suara rakyat tidak boleh dibungkam! []

———————
Soeyanto Soe, Pemerhati Ruang Publik

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top