Energi Menyala, Bumi Tetap Terjaga

Oleh M.D. Wicaksono
DI tengah derap pembangunan dan desakan pertumbuhan, energi telah menjadi nadi dari peradaban modern, tetapi juga luka yang terus menganga di tubuh bumi. Suhu global terus menanjak dan krisis iklim makin mendesak, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah, memilih bertahan dengan energi fosil atau melompat menuju kemandirian energi bersih yang menopang pangan, air, dan masa depan. Dengan visi besar swasembada energi yang digaungkan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menjadi momen krusial untuk memastikan bahwa energi bukan hanya alat pembangunan, tetapi janji keberlanjutan bagi generasi yang akan datang.
Energi Kita, Planet Kita
Berbicara tentang energi, sering kali imajinasi kita melayang pada menara transmisi listrik, sumur minyak di lepas pantai, atau kilang gas yang menjulang di cakrawala. Namun Hari Bumi 2025 mengajak kita melihatnya lebih dekat: pada nyala lampu yang menemani belajar anak-anak, pada mesin pompa yang mengairi sawah, dan pada kompor yang menghidupi dapur keluarga. Energi bukan sekadar soal teknis, melainkan jantung dari kehidupan sehari-hari. Tema Hari Bumi tahun ini “”Our Power, Our Planet” atau “Energi Kita, Planet Kita,” bukan sekadar slogan, melainkan alarm yang memanggil, jika kita ingin menyelamatkan bumi, kita harus mengubah cara kita menggunakan dan menghasilkan energi.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto telah menegaskan arah baru pembangunan berupa swasembada energi tak boleh dilepaskan dari kedaulatan pangan dan ketersediaan air. Tiga fondasi ini bukan hanya soal ketahanan, tapi soal kelangsungan hidup. Energi adalah syarat bagi irigasi dan pengolahan hasil tani. Tanpa air, pangan tak akan tumbuh. Tanpa pangan dan energi, bangsa tak akan bertahan. Maka pada akhirnya, menjaga energi berarti menjaga seluruh siklus kehidupan.
Setiap hari, dunia memakan lebih banyak energi daripada yang bisa diperbarui oleh alam. Kita menggali, membakar, dan membuang emisi ke atmosfer dengan kecepatan yang tak pernah dibayangkan. Data IPCC (2023) mengonfirmasi bahwa suhu bumi terus naik, mendekati ambang batas 1,5°C. Indonesia, dengan lebih dari separuh listriknya bergantung pada batu bara, berada di persimpangan penting: terus menunda transisi atau segera menyalakan perubahan.
Krisis energi bukan hanya terjadi di sektor listrik. Ketika pompa rusak karena tak ada solar, sawah gagal panen. Ketika genset tak hidup karena tak ada BBM, air tak bisa mengalir ke rumah. Semua kembali ke satu simpul yaitu energi. Dalam laporan Kementerian ESDM (2024), lebih dari 60% wilayah perdesaan belum memiliki akses energi terbarukan. Dan ketika harga energi naik, yang pertama merasakan dampaknya adalah masyarakat lapisan bawah.
Asta Cita dan SDG’s
Di tengah semua ini, bumi menanggung beban ganda berupa polusi yang tak pernah surut dan sumber daya yang terkuras. Maka ketika kita berbicara soal energi, kita sedang membicarakan nasib planet ini. Apakah kita ingin bumi terus menanggung semua beban itu sendiri? Indonesia tidak diam. Komitmen untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 menjadi janji besar yang tak bisa ditunda. Namun janji itu harus disokong oleh kebijakan dan langkah nyata. Asta Cita Kabinet Merah Putih menyatakan secara eksplisit perlunya transformasi energi untuk memperkuat kemandirian nasional. Ini bukan hanya janji politik, tetapi fondasi masa depan bangsa.
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua orang. SDGs terdiri dari 17 tujuan global. Terkait energi bersih masuk dalam tujuan ketujuh, tetapi keterkaitannya jauh lebih luas. Tanpa energi, kita tak bisa mengatasi kemiskinan (SDG 1), meningkatkan pendidikan (SDG 4), atau menjamin ketersediaan air (SDG 6). Transisi energi bukan hanya proyek lingkungan, tapi investasi sosial.
Sayangnya, masih banyak ketimpangan akses dan distribusi. Penelitian Harsono dkk. (2022) menunjukkan bahwa proyek-proyek energi terbarukan sering kali tersendat karena ketidaksesuaian teknologi dengan konteks lokal. Sementara Prasetyo dan Lestari (2023) mencatat perlunya kerjasama yang lebih kuat antara pusat dan daerah untuk mengintegrasikan kebijakan energi dengan rencana pembangunan daerah.
Pengalaman menjadi Guru
Ada secercah cahaya dari berbagai pelosok, misal di Desa Kamanggih, Sumba Timur, mikrohidro kecil mengubah kehidupan dengan listrik tersedia 24 jam, sehingga masyarakat mulai membuka usaha mandiri. Di Nusa Penida, panel surya menopang sistem irigasi tetes untuk kebun warga. Di Kalimantan Timur, limbah kelapa sawit diubah menjadi biogas. Hasil penelitian Kunci keberhasilan inisiatif ini, teknologi sederhana, partisipasi aktif warga, dan dukungan berkelanjutan (Amalia, Nugroho, 2022). Hal lain misalnya tentang pentingnya kepemimpinan hijau di tingkat desa, tokoh lokal yang mendorong perubahan bukan karena jabatan, tetapi karena komitmen pada lingkungan dan masa depan anak cucu mereka (Yuliana, dkk, 2023).
Solusi seperti ini bukan sekadar inspirasi, tapi bukti nyata bahwa energi terbarukan bisa murah, adil, dan berkelanjutan jika dikelola oleh dan untuk masyarakat. Kita hanya perlu memperluasnya, menguatkan kerangkanya, dan menghapus hambatan birokrasi. Masalah kita bukan pada kekurangan potensi, tapi sering kali pada kelambatan eksekusi. Matahari bersinar di seluruh nusantara, angin bertiup sepanjang pantai, biomassa melimpah dari hasil pertanian, semua menunggu untuk diolah. Tetapi tanpa keberanian untuk berpindah dari energi fosil, semua itu hanya akan menjadi potensi yang tak pernah terwujud.
Sudah saatnya energi menjadi gerakan rakyat. Kita perlu memikirkan energi sebagai hak dasar, bukan barang mewah. Pemerintah dapat memulai dengan memotong subsidi energi fosil dan mengalihkannya ke insentif panel surya rumah tangga, skema pembiayaan mikrohidro di desa, dan pelatihan teknisi lokal. Pendidikan energi juga perlu dimasukkan dalam kurikulum. Anak-anak harus tahu dari mana listrik mereka berasal, dan bagaimana menjaga bumi melalui pilihan mereka. Kita tidak bisa lagi menunggu, karena setiap keterlambatan menjadikan tambahan derajat pada pemanasan global, tambahan desa yang kekeringan, tambahan anak yang belajar dalam gelap.
Momentum Hari Bumi
Peringatan Hari Bumi 2025 bukan hanya pengingat. Ia adalah ajakan untuk mengubah cara kita menghidupkan lampu, mengairi ladang, dan menyalakan kompor. Swasembada energi, seperti yang ditegaskan Presiden, hanya mungkin jika kita juga mandiri dalam pangan dan air. Transisi energi bukanlah tugas ESDM semata, tetapi proyek nasional yang lintas kementerian, lintas sektor, lintas generasi. Rasanya kita masih punya waktu, namun tidak cukup banyak. Jika energi kita berasal dari keberanian kita bersama untuk berubah, maka planet ini masih punya harapan. Bukan nanti, tapi sekarang. Semoga. []
————-
M.D.
Wicaksono, Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Lampung.
