Kolom

Masa Depan

Mimpi. | Fixabay/Yakup Ipek

SUATU kali, dulu, saya ditanya Wan Agung yang masih bocil, “Cita-cita ayah apa?”

“Ayah kok ditanya cita cita-cita sih Gung?”

“Kata Bu Guru, setiap orang itu harus punya cita-cita. Biar bisa menentukan masa depan kita seperti apa…”

“Ya, Agung yang masih muda yang harus punya cita-cita. Kalau ayah sebagai orang tua yang mendukung Agung agar bisa meraih cita-cita.”

“Memang, ayah dulu waktu kecil bercita-cita jadi apa?”

Wah… ini anak. Saya musti jawab apa. Saya tak ingat. Mungkin juga saya dulu tak punya cita-cita sehingga tak ada yang perlu benar-benar diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Akibatnya, hidup saya datar-datar saja, kaya nggak miskin juga nggak, pinter nggak tapi dibilang goblok ya saya marah, hehee…

Waktu kecil saya hanya senangnya didongengi. Waktu sudah bisa baca, saya suka baca cerita—dari kelisanan ke tulisan. Baca puisi atau karya ilmiah, belum ngerti. Maka, buku-buku atau majalah yang berisi cerita–kisah, yang tidak suka menggurui–yang menjadi sasaran pembacaan saya. Inilah yang kemudian membuat saya kepengin membuat cerita seperti yang saya baca. Jadi pengarang kayaknya keren.

Eiit, ketika sedikit besar dan mulai dicekoki pelajaran (teori, konsep, dll) di sekolah, agaknya saya mulai menyadari bahwa hidup itu ternyata tak melulu fiksi atau cerita. Saya pun mengenal tulisan nonfiksi yang berisi pengetahuan, pendapat atau pemikiran. Bagus juga kok apalagi jika yang menuliskannya “pinter” menyajikan tulisannya sehingga menarik dan enak dibaca.

“Cita-cita ayah waktu kecil dulu apa?” tanya Agung mendesak.

Tapi, benaran. Saya lupa dulu yang bercita-cita menjadi apa.

Akhirnya, saya jawab saja, “Jadi penulis!”

“Eeehh, masa jadi penulis?” Agung tak percaya.

“Benar geh ayah kepengen jadi penulis waktu kecil. Dan, kan ayah sekarang jadi tukang tulis.”

“Aahhh… bo’ong!”

Nggak-lah. Ayah gak bohong!”

Tapi, dalam hati saya membenarkan kata Agung bahwa saya berbohong. Yang betul saya lupa bercita-cita apa dulu waktu kecil.

“Memang Agung mau jadi apa nanti kalau besar?”

“Jadi, polisi Yah.”

“Ya, harus banyak makan, rajin sekolah, belajar yang benar… itu demi masa depan.”

Eehhh, Agung masih penasaran, “Cita-cita ayah sekarang apa?”

Nggak punya!”

“Kalau nggak punya cita-cita berarti ayah nggak punya masa depan dong.”

Ampyun! Ini anak kok aneh-aneh saja.

“Masa depan itu punya Agung yang masih kecil, yang masih muda. Ayah dan mama menjadi pendukung utama agar cita-cita Agung tercapai dan masa depan Agung lebih baik.”

Ya, masa depan milik yang muda-muda. Ingat masa depan!  Maka, yang muda-muda ya harus belajar dan bekerja keras agar sukses di masa depan sebagaimana yang mereka cita-citakan.

Kalau yang tua-tua? Ya, ingat matilah. Gak usah macam-macam. Mesti tahu diri! Masa mau saingan dengan yang muda-muda.

Tabik! [] 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top