Human

Tentang Lampung di buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko (5)

Lamban Pesagi, rumah adat Lampung di Pekon Kenali, Kecamatan Belalau, Lampung Barat. | Ist

Catatan Rilda Taneko

Harta dan Waris

Pada masyarakat Lampung, pada dasarnya setelah perkawinan berlangsung seluruh harta kekayaan menjadi satu. Demikian juga dengan harta bawaan si istri (sesan). Dengan demikian, istri tidak dapat berbuat sekehendak hati terhadap harta kekayaan sebagai harta bawaan (sesan), tetapi suami tidak dapat berbuat seperti itu juga terhadap harta bawaan istri (sesan). Apapun yang dilakukan terhadap harta kekayaan yang disebut sesan itu haruslah merupakan hasil persetujuan dari kedua belah pihak.

Apabila terjadi perceraian, maka seluruh harta kekayaan termasuk harta bawaan istri tetap menjadi hak dan tanggung jawab suami, terlebih lagi bila perkawinan tersebut telah menghasilkan keturunan (anak). Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya harta kekayaan tersebut akan diwariskan kepada anak laki-laki tertua. Di samping alasan di atas, masyarakat Lampung juga menganggap bahwa harta bawaan istri menjadi bagian dari harta kekayaan suami, sebab istri telah masuk dalam keluarga suami dan pada saat perkawinan suami telah memberikan sejumlah barang dan uang yang merupakan jujur kepada pihak istri dan keluarganya.

Tetapi mengenai harta yang dihibahkan oleh para kerabat sebelum perkawinan dilangsungkan atau maupun sesudah perkawinan rupa-rupanya tetap merupakan hak milik dari kepada siapa hibah itu diberikan.

Pada masyarakat Lampung, juga berdasarkan hasil penelitian lapangan (1981), selain dari anak laki-laki tertua, terdapat golongan ahli waris lainnya, yaitu orangtua dari pihak laki-laki (ayah) dan orangtua dari pihak orangtua laki-laki (kakek). Kedudukan para ahli waris tersebut ini saling tutup-menutupi, artinya bahwa apabila terdapat anak tertua laki-laki dari si peninggal warisan, maka tertutup kemungkinan bagi ayah (orangtua dari pihak suami), demikian seterusnya (Rizani Puspawidjaja, dkk, 1981:43).

Apabila uraian di atas ditelaah secara seksama, maka dapat disimpulkan bahwa selain dari anak-anak serta keponakan dari pewaris sebagai ahli waris utama, dalam keadaan tertentu orangtua dan kakek serta saudara-saudara kandung dari si pewaris dapat menjadi ahli waris.

Pada masyarakat yang menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki maupun perempuan, harta warisan tidak dibagi-bagi. Sebabnya bahwa yang menjadi ahli waris adalah hanya anak tertua (laki-laki atau perempuan).

Pada beberapa masyarakat yang menganut prinsip garis keturunan patrilineal dengan sistem kewarisan mayorat, khususnya pada masyarakat Lampung, Rizani Puspawidjaja dkk (1981) menyatakan bahwa ahli waris itu mempunyai hak untuk menikmati harta warisan, terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya, dan berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan, baik untuk pribadi, bersama keluarga, dan untuk adik-adiknya.

Demikian diuraikan tentang hak ahli waris dalam masyarakat Lampung, maka perlu dikemukakan tentang kewajiban dari ahli waris itu. Kewajiban utama dari ahli waris adalah menjaga dan memelihara keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk memelihara kelangsungan hidup dan memenuhi kebutuhan adik-adiknya dalam bebagai bidang kehidupan.

Dari penelitian lapangan yang dilakukan pada masyarakat Lampung tahun 1981, diperoleh keterangan bahwa jenis dan wujud harta warisan adalah:

a. Alat-alat upacara adat,

b. Gelar dan kepangkatan dalam masyarakat,

c. Seluruh harta kekayaan, baik yang merupakan kekayaan yang berwujud benda tetap maupun benda bergerak.

Sedangkan klasifikasi dari harta warisan itu dapat berupa:

a. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan di mana benda tersebut dianggap mempunyai kekuatan magis,

b. Harga bawaan, yaitu sejumlah harya kekayaan yang dibawa oleh istri pada saat perkawinan, atau disebut sesan,

c. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-istri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri,

d. Harta pemberian, yaitu harta yang berasal dari pemberian seseorang kepada suami atau istri maupun kedua-duanya.

Konsekuensi dari berlakunya sistem kewarisan mayorat laki-laki bagi masyarakat Lampung (Pepadon) adalah bahwa anak laki-laki tersebut mempunyai kewajiban tidak saja terbatas pada harta warisan, akan tetapi andaikan si pewaris meninggalkan sejumlah hutang, di mana jumlah hutang tersebut melebihi nilai harta peninggalan, maka ahli waris/ anak laki-laki tertua tersebut berkewajiban penuh untuk melunasi dan berlapang dada menerima tanggung jawab tersebut.

Dari sekelumit data di atas maka dapatlah dinyatakan bahwa warisan itu dapat berupa barang-barang yang berwujud benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriale goederen), dan dapat diwariskan kepada ahli waris. Termasuk barang-barang yang tidak berwujud benda adalah juga hutang yang dibuat dan belum dapat dilunasi oleh pewaris semasa hidupnya.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top