Kolom

Warga Daerah, Warga Negara, Warga Dunia

Pagi, Gadis, Cantik. | Fixabay/Unique Malfa

NEGARABATIN tahun 1980-an.

Tika, seorang bocah perempuan usia lima tahun berambut coklat kemerah-merahan. Senang bermain-main pula di halaman atau lapangan di bawah terik matahari membuat kulit putih bersihnya menjadi kemerah-merahan kepanasan dan rambut ikut bertambah merah seperti terbakar.

Dalam kepribodian yang seperti itu, Dedi, anak lelaki sebelah rumah, sepantaran dengan Tika usia prasekolah, senang benar mengejeknya.

“Huk..huk… Belanda .. Belanda…” Dedi mengatai Tika berkali-kali.

Berbeda dengan Tika yang marah dan balas mengejek temannya, saya dan yang lain yang lebih tua yang mendengarnya spontan ketawa. Tidak ada pelecehan dalam ejek-mengejek itu. Lah, yang mengata-ngatai kurang lebih sama dengan yang dikata-katain, sama juga dengan sebagian teman-teman mereka: berambut coklat kemerah-merahan dan muka memerah saat terkena terik matahari dan keputihan saat kedinginan. Kayak bule aja.

Meskipun tidak semua, paling tidak itulah ciri-ciri fisik orang Lampung, terutama saat kecil. Setelah besar, Tika dan anak-anak Lampung di Negarabatin tak lagi berambut coklat kemerah-merahan, tetapi berambut hitam seperti laiknya orang Indonesia. Tinggal muka yang tetap merah saat kepanasan dan putih saat kedinginan.

Dalam situasi yang seperti itu, agak berat bagi kami (saya terutama) untuk mengaku sebagai “orang aseli Lampung”. Tidak bisa tidak, saya pendatang di Negarabatin. Tapi, entah sejak kapan tuyuk kuring kami menempati daerah itu. Entah pula dari mana asal tuyuk kuring kami itu. Yang jelas, kami (saya) sudah bisa saja berbicara bahasa Lampung sebagai bahasa ibu dan tak bisa tidak mesti mengaku “orang Lampung” atau “orang beretnis Lampung”.

Ayah Lampung, ibu Lampung, bisa cawa Lampung, tinggal di Lampung ya… saya orang Lampung kidah. Tapi, tentu saja saya orang Indonesia. Sesekali, apalagi sudah megang hape, saya mengaku warga dunia.

Itu saya. Boleh dibilang full berdarah Lampung. Giliran anak-anak saya, Lampung mereka sudah bercampur dengan Minang dan Jaseng. Tapi, mereka masih “asli” orang Indonesia. Kalau seandainya kelak mereka menikah dengan bule, anak-anak mereka adalah keturunan Indonesia. Tetap punya hak.untuk mengaku orang Indonesia.

Demikianlah, di saat bumi kian mengglobal, seseorang bisa sekaligus menjadi warga daerah, warga negara, dan warga dunia. Dia pun boleh memilih untuk menjadi apa dan siapa.

Pramoedya Ananta Toer bilang, “Anak Semua Bangsa”. Di Nusantara–yang sekarang bernama Indonesia–sejak berabad-abad yang silam manusia datang dan pergi dari dan ke berbagai belahan bumi. Yang lebih lama yang kemudian melahirkan ratusan suku dan bahasa. Setelah itu ada banyak bangsa yang datang untuk waktu yang lama atau sebentar; yang kemudian mewarnai keindonesiaan kita.

Makanya, ketika PSSI melakukan naturalisasi atau lebih tepatnya mencari pemain diaspora Indonesia di seluruh pelosok bumi untuk meningkatkan level permainan Timnas Sepak Bola Indonesia, ia punya landasan yang kuat. Indonesia itu bangsa besar! Orang Indonesia ada di mana-mana. Ini potensi yang bisa dikerahkan untuk membangun kejayaan bangsa, termasuk di bidang sepak bola.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top