Tentang Lampung di buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko (1)
Catatan Rilda Taneko
Masyarakat Hukum Adat
Suatu contoh masyarakat hukum adat, yang diambil berdasar data primer, adalah masyarakat hukum adat yang dijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung (‘Lampung’ berasal dari kata ‘lampung’ yang berarti mengambang di air), menurut cerita-cerita orang tua, berasal dari daerah Sekala Brak yang terletak di dataran Belalau, di kaki bukit Pesagi, di sebelah selatan Danau Ranau, Krui.
Diceriterakan bahwa pada waktu itu berdiam beberapa clan (kebuayan) di daerah tersebut. Oleh sebab beberapa alasan tertentu, mereka kemudian menyebar dan merantau ke segenap penjuru daerah yang sekarang dinamakan Lampung, di ujung pulau Sumatera, yang luasnya hampir sama dengan daerah Jawa Tengah.
Dalam penyebaran mereka, orang-orang Lampung mendirikan wilayah-wilayah kediaman yang bersifat sementara yang dipimpin oleh kepala-kepala rakyat yang diberi gelar Ratu. Dapat diduga bahwa struktur sosial pada waktu itu masih berdasarkan pada faktor-faktor genealogis belaka. Perkembangan yang baru, timbul setelah kesatuan-kesatuan tadi mengalami perpecahan dari dalam. Penyebaran penduduk timbul lagi dan muncullah wilayah-wilayah baru yang dipimpin para Umpu (Soerjono Soekanto, 1969:14).
Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor yang penting juga. Kesatuan genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebuayan), yang di daerah Pesisir dinamakan Suku-Asal. Tidak diketahui dengan pasti apakah wilayah suatu kebuayan adalah bertepatan dengan daerah kekuasaan para Ratu, Umpu, maupun Menak.
Buay yang pada hakekatnya adalah clan, mendiami wilayah yang dinamakan marga (kadang-kadang disebut merga atau mego). Marga terdiri dari beberapa tiyuh (anek, pekon atau umumnya dinamakan kampung), yang didiami beberapa suku yang merupakan bagian daripada buay. Jadi, suatu suku merupakan bagian clan.
Kadang-kadang, sebuah tiyuh didiami oleh dua sampai sepuluh suku. Suku-suku tersebut mencakup beberapa canki yang merupakan keluarga besar, sedangkan canki terbentuk dari beberapa nuwo (yang merupakan keluarga batih).
Nuwo, canki, maupun suku, dapat mempunyai tanah yang dikerjakan secara kolektif yang dinamai umbul atau umbulan. Tanah yang dikerjakan secara perorangan disebut umo. Mula-mula umbul atau umbulan bersifat semi permanen, akan tetapi mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen, sehingga tempat-tempat kediaman di sekitarnya sesuai dengan patokan menurut hukum adat setempat, dapat diresmikan menjadi canki, suku dan selanjutnya.
Jelaslah bahwa marga dan tiyuh menunjuk pada wilayah, sedangkan buay, suku, canki dan nuwo secara tegas menunjuk pada suatu kesatuan genealogis. Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadon merupakan masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertingkat.
Penyimbang
Kepala adat yang merupakan kepala dari masyarakat hukumnya dinamakan Penyimbang. Penyimbang memiliki dua arti yakni: pertama, adalah ‘pengganti’ untuk menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu kedudukan, dan kedua, berarti sebagai ‘yang menimbang’ untuk menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu peranan.
Kepenyimbangan seseorang diwariskan; putra sulung keluargalah yang mempunyai hak tunggal untuk menjadi penyimbang, sebagai pengganti ayahnya (kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak memungkinkan yang bersangkutan menjadi penyimbang, misalnya sakit, perilaku yang buruk, dan seterusnya).
Atribut pokok dari penyimbang adalah Pepadon yang berarti tempat kedudukan seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban yang istimewa dan khusus. Pepadon merupakan tempat duduk yang diberi ukir-ukiran, dan mempunyai sandaran tinggi yang disebut Sesako.
Rapat antara para penyimbang yang merupakan majelis tertinggi dari masyarakat hukum adat setempat dinamakan Proatin. Ketua Proatin biasanya adalah penyimbang yang tertua.
Menurut cerita-cerita orang tua, sebagai akibat adanya lembaga Pepadon, maka terdapat dua macam penyimbang, yakni:
Pertama, penyimbang pangkat, yaitu penyimbang yang telah membentuk Pepadon beserta keturunannya (hanya pria). Apabila penyimbang tersebut mengepalai sebuah marga, namanya adalah penyimbang marga, lalu seterusnya ada kepala tiyuh dan kepala suku. Kedua, penyimbang adat, yang merupakan keturunan daripada pendiri marga, tiyuh dan suku (Soerjono Soekanto 1969:15).
Pembedaan tersebut di atas, kini boleh dikatakan tidak ada lagi. Dewasa ini dikenal adanya lima macam penyimbang, yakni:
1. Penyimbang Marga
2. Penyimbang Tiyuh
3. Penyimbang Suku
4. Penyimbang Adat, dan
5. Penyimbang Tuho.
Hanya Penyimbang Marga yang berhak untuk meresmikan penyimbang-penyimbang lain di dalam kedudukannya.
Penyimbang Tuho adalah seseorang yang berhak untuk menyimpan Pepadon seorang penyimbang yang berhak atasnya akan tetapi karena kesulitan-kesulitan ekonomis, dia tidak dapat mempertahankan kedudukan sosialnya (disebut ‘penyimbang jemanten’ yang artinya penyimbang yang dipensiunkan).
Marga-marga Lampung
Daerah Lampung didiami oleh beberapa suku, yang penyebarannya adalah sebagai berikut
>> BERSAMBUNG