Esai

Mencereweti Keadaan, Membangun Kesadaran

AI generation. | Fixabay

SEDARI mula sebenarnya saya agak berat mengabulkan permintaan untuk memberikan semacam kata pengantar (prolog) atau catatan penutup (epilog) untuk buku Zaman Gilded sampai Keranjingan Judi Online ini. Keberatan saya itu lebih karena “kemalasan” saya berpikir akhir-akhir ini. Sebab, untuk bisa menulis baik dan bagus harus melalui proses berpikir. Tapi, kalau cuma menggunakan pikiran, tulisan bisa menjadi kering kerontang. Tidak bisa tidak, perasaan pun harus diseret-seret demi menghasilkan tulisan yang estetis. “Pakai otak sekaligus pakai hati” itu kan tidak sembarang orang mempraktikkannya secara bersamaan. Sebab, itulah yang membuat orang menjadi berpandang luas, arif-bijaksana, dan tentu saja pinter nulis esei (esai) yang asyik dibaca dan bergizi.

Dalam beberapa kesempatan, saya bilang menulis esai ini gampang-gampang susah. Sebab, menulis esai berarti menyatukan sekaligus kemampuan akademik, sastra, dan jurnalistik. Menulis esai juga memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis.

“Di mana letaknya esai? Esai mempersoalkan persoalan–maka dia seakan-akan ditarik ke arah kutub yang ilmiah dari skala tersebut. Tetapi, esai mempersoalkan persoalan ‘sejauh dia merangsang hati penulisnya’. Di sini ditarik kembali ke kutub puisi,” tulis Arief Budiman dalam “Esai tentang Esai” (Horison, Juli 1966).

Inilah yang membuat sebuah esai menjadi tulisan spesial yang hanya bisa ditulis oleh seorang yang sudah pada tingkat advance dan juga cuma mampu dimamah oleh yang seorang yang sudah sampai pada tingkat literer  tertentu.  Sementara saya, apalah saya ini, tentu tidak memiliki kapasitas untuk menilai atau sekadar memberi catatan untuk esai-esai yang disodorkan kepada saya ini.

Saya hanya (selalu) gembira ketika mengetahui seseorang, siapa pun hendak menerbitkan buku. Tak terkecuali Endri Kalianda. Sebab, sepanjang pengetahuan saya–yang kebetulan cuma bekas redaktur opini dan budaya di beberapa media lokal–dia termasuk penulis yang kreatif dan produktif. Ketika menyusun beberapa buku antologi yang bertema kesenian dan kebudayaan, saya menemukan beberapa esainya dan segera saja memasukkannya dalam bunga rampai dimaksud.

Jadi, saya bilang, “Baiklah, saya bantu ngedit-ngedit sedikit!”

Tapi, beberapa hari kemudian saya malah ditagih, “Epilog sudah jadi belum?”

Tentu saja saya gelagapan tak siap. Tapi, saya sahut sok pede, “Kasih saya deadline.”

“Besok,” tegas yang di sana.

Matek!

Untungnya, eehh… sialnya. Atau, lebih tepatnya situasi yang tidak mengenakkan yang justru membuat saya ‘terselamatkan’ dari deadline itu. Akibat adanya gangguan transmisi Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 275 kV Lubuk Linggau-Lahat di Sumatera Selatan terjadi pemadaman listrik di sebagian besar wilayah Sumatera, terutama Sumatera Bagian Selatan. Di tempat saya di Kemiling, Bandar Lampung, listrik padam selama dua hari, Rabu–Kamis, 5—6 Juni 2024. Setelah itu listrik di Lampung kembali normal sehingga tidak ada alasan lagi bagi saya untuk tidak menyelesaikan catatan ini.

***

Satu hal lagi yang membuat saya lama menyelesaikan orat-oret ini adalah karena saya terlalu menikmati, bahkan mungkin tenggelam dalam nostalgi masa silam yang ditimbulkan oleh esai-esai dalam buku ini. Esai ini memang “berbahaya” karena bisa melenakan pembacanya.

Bagi anak-anak kelahiran tahun 2000 ke atas atau abad ke-21 sangat boleh apa yang ditulis atau diceritakan  kembali oleh Endri dalam esai-esainya ini adalah sebentuk dongeng, fiksi, dan tak bermakna apa-apa. Sebab, mereka tidak pernah mengalaminya dan karena itu mereka menjadi terbengong-bengong bingung menerima cerita masa lalu orang tua mereka. Lalu, bilang itu kan doeloe. Kehidupan yang serbamudah dan serbainstan membuat kesadaran sejarah mereka sangat tipis. Mereka juga tak memiliki kesabaran menikmati proses untuk sampai pada satu titik tertentu. Namun, bagi anak-anak kelahiran 1970-an hingga 1980-an, apa yang dikemukakan Endri adalah faktual dan benar-benar terjadi. Ia memang masa lalu, tetapi ia menjadi bagian dari perjalanan kehidupan. Ia sejarah peradaban. Hutan menjadi umbul, umbul menjadi desa, desa  menjadi ramai, desa yang semakin ramai itu pun menjelma menjadi kota.

Kluster anak desa, tawuran antarkelompok anak, ‘medan perang’, sawah, musim penghujan, musim tanam, meluku tanah, membaca arah angin, perkiraan cuaca sekadar bersandar atas rasi bintang atau kicau serangga, dan seterusnya yang diceritakan Endri adalah peristiwa-peristiwa yang juga mengiringi kehidupan saya sebagai anak-anak hingga remaja di Negarabatin, Liwa, Lampung Barat (1970-1989) sebelum benar-benar “tersesat” di kota mencari penghidupan dan kehidupan yang baru. Begitu juga bertualang keluar masuk ladang, kebun, dan hutan, berenang di sungai, memancing ikan, mencari atau malah mencuri tanaman atau buah-buahan dari hutan atau kebun orang adalah ingatan dari masa lalu yang tidak mudah lekang oleh waktu.

Modernisasi, transmigrasi, urbanisasi, westernisasi, internasionalisasi, globalisasi, dan banyak lagi -sasi yang lain adalah konsep-konsep yang coba dipakai untuk memahami perubahan sosial (social change) yang terjadi di semua belahan dunia. Tak terkecuali Indonesia. Tak beda Lampung! Kita hampir tak pernah memperhatikan sekian banyak kehilangan yang kita alami yang mengiringi apa yang disebut-sebut sebagai pembangunan, modernisasi atau kemajuan. Kemiskinan, keterbelakangan, dan kesenjangan sosial adalah sisi lain dari pembangunan, modernisasi, dan kamajuan itu. Esai-esai dalam buku ini berkali-kali  mengingatkan kita mengenai hal itu.

Alih-alih membuat kian kreatif dan inovatif memanfaatkan internet dan digitalisasi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, warga di perdesaan justru terjebak dalam berbagai aktivitas yang menghabiskan waktu dan kuota–juga sikap pragmatis-hedonistis–mulai dari games online, belanja online, judi online, dan pinjaman online (pinjol). Berkali-kali dan di mana-mana terjadi gegar budaya (culture shock) akibat zaman yang terus berlari, terutama akibat perkembangan teknologi informasi yang kelewat pesat dan bahkan terjadi project “pemaksaan” digitalisasi hingga ke pelosok-pelosok desa.

Masalahnya adalah literasi masyarakat kita masih payah. Celakanya, literasi dasar atau literasi konvensional saja kita tidak tuntas, lalu melompat tinggi dengan literasi digital; kondisi ini justru kian membahayakan masyarakat kita. Terbukti, bukan hal positif yang dicerap oleh kita, sebaliknya hal-hal yang negatif, tidak berfaedah, bahkan menjerat leher sendiri malah yang berlaku  pada kita.

Itulah ironi negeri yang dicereweti, disindir, dan disinisi dalam buku ini. Lampung terutama.  Sarkas, satir, dan  humor getir memenuhi hampir semua sudut halaman buku ini.

Memberi solusi atas patologi sosial yang terjadi? Tentu saja bukan tugas penulis (esais)! Esai-esai ini berfungsi mengingatkan, mengklitiki, dan menyeru-nyeru agar kita berpikir dan merasakan.  Itu saja. Barangkali saja dari sini, terbangun kesadaran untuk berbuat dan bergerak lebih baik dari orang-orang yang berpikir dan punya perasaan.

Tabik! []

* Epilog untuk buku Zaman Gilded sampai Keranjingan Judi Online karya Endri Kalianda (dalam proses terbit).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top