Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (43)
“Bukan. Nafsiah adikku cantik dan baik hati lagi,” lagi-lagi aku harus menghiburnya.
Padaku ia pernah minta tolong, bagaimana agar aku bisa mempertemukan hatinya dengan hatimu. Tapi, bagaimana mungkin aku melakukan itu. Dia adikku yang kusayang. Masa iya saya harus mengatakan padamu bahwa adikku benar-benar jatuh cinta padamu. Sementara aku tahu… sama sekali tak ada tempat di hatimu untuk seorang bernama Nafsiah, yaitu adikku itu.
Di sinilah saya menjadi sedih. Adikku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu betapa sakitnya manakala mengetahui perasaan kita tak mendapatkan balasan yang serupa dari yang bersangkutan. Tapi, ini soal hati. Aku sudah bilang pada Nafsiah, tak usahlah mengharapkan rasa dari orang yang memang tidak menaruh hati padamu.
“Lupakan Kenut, Nafsiah!” nasihatku.
Tapi, Nafsiah tetap bandel. Dan, aku… aku… mana bisa pula mengatur hatinya agar tak lagi menyematkan namamu di dalam ingatan dan harapannya.
Engkau sendiri… apa sih yang kau cari sehingga mengabaikan sekeping jiwa yang benar-benar tulus mencintaimu, Kenut?
***
Sampai di situ cerita Riswan. Aku menjadi merasa bersalah, merasa berdosa telah mengabaikan sekeping hati yang dengan tulus hendak menjangkau hatiku yang buta. Tidak! Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Bang, maafkan saya. Entah, hati saya selama ini tertutup apa sehingga menyia-nyiakan perhatian dan kebaikan Nafsiah. Saya menyesal. Saya ingin belajar mencintai, menyayangi, dan mengasihi Nafsiah. Kalau seandainya Nafsiah masih mau menerimaku….” ujarku.
Tapi, Riswan malah membentakku, “Goblook!”
Tangannya sudah terkepal hendak memukulku, tetapi ia gemetaran dan tidak jadi memukulku. Mungkin saking emosi dia.
Aku menjadi terbengong, ternganya, dan menjadi bodoh sekali di hadapannya.
“Mengapa, Bang?” tanyaku pelan.
“Nafsiah sudah tiada….,” sahut Riswan masih dengan nada emosi.
Aku terdiam, Mulutku terpaku.
“Nafsiah meninggal dunia setelah bolak-balik rumah sakit. Ia diketahui menderita kanker usus atau kanker kolorektal. Dia operasi bulan lalu. Operasi berjalan lancar dan ia kelihatan mulai sehat. Namun, beberapa hari atau semingguan kemudian, mengeluhkan sakit di perutnya. Kami membawanya ke rumah sakit lagi. Keesokan paginya, ia menghembuskan nafas terakhirnya,” cerita Riswan.
“Adingku mati muli[1]! Dan, tahukah kamu, Kenut? Hampir setiap hembusan nafasnya ia menyebut namamu, hampir sepanjang ingatannya hanya dirimu, hampir seumur hidupnya kenangannya cuma kamu… Ia meninggal karena kanker. Tapi, boleh jadi hasratnya pada dirimu yang tidak pernah menemukan kenyataannya yang membuat penyakitnya menjadi subur. Kamu kok tega ya Kenut? Di manakah hatimu?”
Pukulan telak buatku yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku tak tahu mesti menjawab apa dari apa yang telah disampaikan Riswan. Entah berapa lama aku tepekur di hadapan Riswan. Sakit… sakit… sakit menyerang dadaku. Antara sedih dan marah sangat yang mengarah pada diriku sendiri. Merutuki keadaan yang sesungguhnya aku yang aku buat. Mataku panas. Tak kusadari air mataku menetes. Aku benar-benar terpuruk ke jurang duku yang paling dalam kini. []
>> BERSAMBUNG
[1] Adingku mati muli: Adikku meninggal gadis. Keadaan ini terasa sangat menyedihkan bagi orang tua dan keluarga yang ditinggalkan si muli (gadis).