Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (42)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

Aduh, Vita sayang. Kenapa kau khianat? Mengapa kau menelikung? Mengapa kau tega meninggalkanku sendiri? Aku sungguh sulit menerima perlakuanmu ini padaku. Di saat aku terpuruk, terperosok, dan jatuh dalam jurang penderitaan, aku sangat membutuhkan perhatian, dorongan motivasi, dan pompaan semangat darimu, Vitaku malah berpaling dan menjauh dariku.

Aku kembali sendiri. Dan lebih, menyedihkan bagiku karena ketika aku mencoba kembali beraktivitas di pers mahasiswa, organisasi atau kegiatan kemahasiswaan lain, aku malah dipandang sebagai makhluk aneh. Ada sikap risih, segan atau malah mengejekku dalam pandangan rekan-rekan mahasiswa yang selama ini menjadi teman seperjuangan dalam gerakan mahasiswa untuk mewujudkan demokrasi dan keadilan di negeri ini.

Atau, jangan-jangan aku hanya dijadikan martir saja dari perjuangan mereka yang sebenarnya hanya ingin mengambil manfaat untuk kepentingan dan ambisi pribadi mereka. Buktinya, tak ada penghormatan atas pengorbananku. Kalaupun ada ucapan keprihatinan dan simpati padaku, itu hanya basa-basi agar aku tak membenci mereka.

“Nut, kau ini apa-apaan. Jurnalis kampus atau aktivis pers mahasiswa ya menulis saja. Tak usah ikut-ikut demo segala. Itu serahkan kepada yang lain. Kan jadi kacau gara-gara kamu!” seorang senior memarahiku tak lama setelah kejadian diangkutnya sembilan mahasiswa yang menggelar renungan suci di Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang waktu itu.

“Namanya perjuangan, Bang. Semua jalur yang mungkin, kita akan tempuh,” sahutku sekenanya.

“Ok, Nut. Jangan menyesal nanti ya!”

“Ini apa, Bang? Abang mengancam saya?”

“Enggak…”

Aku tak tak berprasangka buruk. Tapi, terjadi tak lama setelah itu, aku ditangkap dan ditahan di markas tentara. Dan, dimulailah penderitaanku dalam masa penahananku.

Mengingat rentetan peristiwa yang aku alami hingga menemui Vita yang mulai melupakanku,  kepalaku tiba-tiba pusing. Ada sesuatu yang hendak meledak darinya.

“Pengkhianat! Semua pengkhianat!” teriakku keras-keras.

“Heiii… Bung. Bangun, Bung! Bangun…” Afdal membangunkanku.

Rupanya aku tertidur di tempat kos Afdal di Jalan Zebra, Kedaton, Bandar Lampung.  Agaknya, aktivis mahasiswa yang satu ini yang masih bisa aku percayai sebagai teman saat ini. Makanya, aku mampir tadi sore ke kosannya setelah capek putar-putar di Kampus Hijau. Sekadar bercerita dan menumpahkan rasa kesal, marah, dan perasaan dikhianati oleh orang-orang yang selama aku anggap teman, bahkan kekasih.  []

22/

Rahasia Nafsiah

AKU sedih. Aku benar-benar terpukul mendapati kenyataan yang aku temui sekeluarnya dari tahanan. Tidak sampai setahun, tetapi cukup untuk mengubah segalanya. Atau, aku yang berubah? Tidak! Aku tak berubah. Aku tetap sama dengan yang dulu. Aku hanya mendapatkan pendidikan ekstra dari ruang tahanan tentara sehingga aku semakin matang sebagai aktivis pergerakan prodemokrasis.

Keren sebenarnya! Tapi, justru itu aku kehilangan teman-teman dan bahkan kekasih. Aahh…

Rasa perih hatiku rupanya tak berhenti sampai di sini. Seseorang tiba-tiba mencari dan meminta bertemu denganku. Ternyata dia adalah Riswan, kakak Nafsiah. Sudah berkeluarga. Dia mengaku ingin menyampaikan  sesuatu hal yang penting untukku. Dia merasa tak enak hendak memendam rahasia perasaan Nafsiah, adiknya kepadaku. Maka berceritalah Riswan padaku.

Aku anak pertama. Nafsiah adik persis di bawahku, hanya selisih dua tahun denganku. Masih ada adikku yang bungsu, Aisyah. Cuma usianya dengan Nafsiah terpaut jauh lima tahun. Karena itu, wajar Nafsiah lebih dekat denganku ketimbang adiknya yang sama-sama perempuan. Ketimbang kepada ibu atau ayah juga, Nafsiah lebih suka menyampaikan segala sesuatunya kepadaku, termasuk rahasia hatinya. Aku tidak tahu apakah dia juga menceritakan perasaan-perasaannya kepada teman-teman perempuannya.

Aku buka secara terus terang saja ya. Sudah lama, sejak SMP, Nafsiah mengatakan padaku bahwa dia naksir padamu. Perasaan itu tidak pernah padam. Meskipun setelah tamat SMP kalian berbeda sekolah, berbeda pula tempat kuliah, dan tempat kos, dia selalu berusaha mengikuti semua kabar, perkembangan atau apa pun  yang terjadi padamu, Kenut.

Nafsiah pengagum berat dirimu. Dia sangat terobsesi denganmu. Wajar! Sebab, entah engkau sadari atau tidak, dirimu memang mengagumkan bagi sebagian gadis. Engkau memang pintar, mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki orang lain, dan memiliki pesona tersendiri.

Kata Nafsiah, beberapa kali ia meminta tolong kepada beberapa teman perempuannya untuk menyambungkan perasaannya dengan  hatimu. Entah, aku tidak tahu, disampaikan temannya atau tidak pesannya itu kepadamu tidak.

Sekali waktu ia berurai air mata, Nafsiah datang padaku, dan berkata pada, “Bang, Kenut menolakku!”

“Eh, dari mana kamu tahu?”

“Eva yang bilang padaku.”

Saya ikut sedih. Saya mencoba menghiburnya. Belum jodoh. Nanti dia akan mendapatkan lelaki yang baik.

 “Kenapa ya Bang, Kenut menolakku? Apa Nafsiah memang jelek dan tak pantas baginya?”

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top