Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (28)
Vita terbaring di kasur ditemani Tya. Dia senyam-senyum kayak tidak apa-apa.
“Katanya kecelakaan… Kok kayaknya hepi-hepi aja,” kataku.
“Ai Kakak ini kok nggak punya perasaan,” Vita merengut.
“Benaran, Kak. Tadi, Vita jatoh dari motor dibonceng Rian?” sela Tya.
Rian? Mulai naik darahku. Ada rasa cemburu dan kesal kok bisa-bisanya Rian membonceng dan bikin celaka Vita.
“Kok bisa? Gimana ceritanya? Vita yang sakit apa? Riannya sekarang mana?… “ aku menyerbu dengan banyak pertanyaan.
“Huss, tenang Kak. Biarin Via yang cerita,” Ella mencoba menekan emosiku.
Setelah menghela nafas, aku bilang, “Ya, gimana ceritanya, Vit?”
Berceritalah Vita. Tadi, dia dengan berboncengan dengan Rian membeli kue-kue dan buah-buahan untuk konsumsi peserta dan panitia pelatihan jurnalistik. Jalan pergi ke arah kota tidak bermalah karena dari puncak jalanan menurun terus. Setelah membeli beberapa keperluan, Rian dan Vita kembali ke vila. Nah, dari Jalan Agus Salim ke Sukadana Ham tempat vila berada, mendaki sangat ekstrem. Di pendakian yang ekstrem inilah motor yang dibawa Rian tak ketanjak. Motor pun mundur, lalu jatuh bersama Rian dan Vita. Semua bawaan terlempar dan terpelanting. Untungnya masih bisa selamat. Dengan terpincang-pincang Vita bisa tiba di vila bersama Rian yang cuma lecet-lecet tangan dan kakinya.
“Semua kue dan buah-buahan ancur. Yang lucu, buah semangka yang merah-merah dikira Vita luka dan mengeluarkan darah banyak…”
Vita coba melucu yang membuat yang lain seperti Ella dan Tya tertawa. Tapi, aku manyun tetap gondok dengan kejadian yang menimpa Vita.
“Ada yang luka, Vit?” tanyaku.
“Nggak, Kak. Cuma kaki yang sakit. Kayaknya keseleo,” ujarnya.
Vita menunjukkan bagian mana yang sakit, tetapi tidak memperlihatkannya. Ya, aku paham Vita mungkin agak risih juga menyingkap kain denganku yang bukan muhrimnya.
Lagi tanya-tanya dan mendengar cerita Vita, ee… Rian naik. Keruan saja, aku melotot. Tapi, Vita menyenggol, mengambil tanganku, dan menggenggamnya dengan erat.
“Kak…,” panggil Vita lembut dengan sekulum senyum.
Bisa benar Vita menyejukkan hatiku. Aku tak pedulikan Rian. Yang penting Vita selamat. Dan yang paling penting, Vita tetap sayang padaku.
Beberapa saat kemudian, Vita berkata, “Kak, tolong carikan angkot ya. Vita mau pulang sekalian nanti cari tukang urut di rumah.”
“Baiklah, Vita sayang… Dilaksanakan!”
“Kak Rian, maaf ya. Saya gak mau minta tolong sama Kak Rian lagi. Kapok saya…” ujar Vita bergurau.
Dalam hati aku ngedumel saja. Lebih ngedumel lagi karena harus mencari angkot yang letaknya jauh di bawah karena vila tidak dilewati angkot. Sebelumnya, untuk mencapai vila puncak ini, kami harus men-carter angkot. Tak ada kendaraan yang bisa ditebeng. Terpaksa jalan kaki sendiri menuruni Jalan sejauh 3 km dari Vila Puncak di Sukadana Ham ke pertigaan Jalan Agus Salim, Kaliawi yang menjadi jalur angkot. Tidak soal bagiku. Aku toh biasa berjalan kaki ke mana-mana. Sepanjang jalan yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana agar bisa membantu Vita pulang ke rumahnya, bisa berobat, dan cepat pulih.
Tapi, aku diminta mencari angkot. Mestilah bayar! Jalanan sepi. Ya iyalah, ini jalan tidak dilalui kendaraan umum. Hanya orang-orang yang sengaja untuk satu keperluan atau untuk liburan yang membawa kendaraan ke Sukadana Ham atau vila yang ada di daerah ini. Sambil berjalan, aku raba saku belakang, mengambil dompet, dan melongok isinya. Wadidau, hanya ada selembar uang lima ribu dan beberapa keping pecahan rupiah di sakuku. Bagaimana mana ini? Aku berpikir keras, bagaimana mendapatkan dana untuk membayar carteran angkot nanti.
Sampailah aku di pertigaaan Jalan Sukadana Ham, Jalan Agus Salim, dan Jalan Sisingamangaraja dan menunggu angkot lewat. Satu angkot lewat menyetop dan mengatakan hendak mencarter mobilnya. Tapi, sopirnya tidak mau. Penumpangnya banyak, kata dia. Angkot kedua, ketiga… juga tidak mau juga. Hitungannya tekor. Baru angkot keempat, mau.
“Berapa?” tanyaku ke sopir.
“Dari atas ke sini ya.”
“Dua puluhlah.”
“Wah, tak punya segitu. Lima belas ya Pak.”
“Gak bisa.”
“Tolonglah, Pak. Teman saya kecelakaan. Tak ada kendaraan dari sana.”
Lama tak menjawab, akhirnya Pak Sopir menjawab, “Ya udah… naik.”
Alhamdulillah.
Kebetulan penumpangnya hanya tiga orang yang kemudian diminta ganti angkot saja. Aku pun naik angkot dan menuju vila. Begitu sampai, aku langsung loncat dan memberitahu Vita bahwa kendaraan sudah siap.
Aku pikir, Vita hanya cedera sedikit. Ternyata, ia perlu diangkat beramai-ramai karena tidak bisa jalan. Kemudian, ia dimasukkan ke angkot dan didudukkan di bangku angkot. Aku lalu masuk angkot. Hanya berdua di angkot bersama sopir dan keneknya.
Untungnya Vita masih bisa duduk dengan meringisi karena manahan sakit di kakinya yang lebam dan terkilir. Aku duduk di sampingnya, Vita menggenggam tanganku atau aku yang menggenggam tangannya, entahlah … saling bergenggaman tanganlah sepanjang jalan. Kemesraan di sebalik musibah!
Mobil bergerak dari vila puncak ke jalan Sukadana Ham menurun sangat tajam.
“Tadi kecelakaannya di situ,” kata Vita menunjuk ke turunan ekstrem.
Di lokasi itu memang ada bekas pecahan kaca dan beberapa bagian dari onderdil motor yang terjatuh, dan ada noda merah seperti darah bekas semangka yang hancur seperti diceritakan Vita tadi.
“Motornya Rian bobrok ya. Nggak ketanjak di situ,” kataku.
“Iya kali,” sahut Vita.
“Udah motor jelek kok mau sih naik motornya. Nggak ngomong-ngomong ke Kakak pula,” kataku menyindir.
“Ah, Kakak ini. Jangan gitulah… Gak ada yang mau. Semua pada sibuk. Ya, terpaksa Vita yang berangkat…”
“Ya… iya… Untungnya tak parah…”
“Keseleo, lebam-lebam, gak bisa jalan… kok gak parah gimana.”
“Ya, syukur cuma segitu. Di sampingnya itu jurang. Nggak kebayang kalau…”
“Kok ngedoain….”
“Enggaklah. Kalau Vita yang celaka, kan kakak juga yang sedih.”
Mobil hampir sampai di perempatan Sukadana Ham, Vita bilang ke sopir, “Nanti di perempatan, belok kanan, Pak!”
Aku bingung! Kok jalurnya beda. Tadi, perjanjiannya lurus saja.
“Kok ke belok, Vit?”
“Ya… “
Aku ya ngikut. Aku tak paham juga jalan pulang ke rumah Vita dari sini. Dulu-dulu ya lewat kota. Bukan jalan ini. Angkot mengikuti jalan baru menuju ke arah Kali Akar. Tapi, sebelum sampai Kali Akar berbelok kiri ke arah Pengajaran, berakhir di Jalan Patimura, Kupangteba, di situlah rumah Vita.
Meskipun kepala pusing karena rute angkot yang berubah, rutenya juga bertambah panjang, dan tentu saja biaya carter angkot bertambah besar, aku tetap merasa senang karena sepanjang jalan di angkot kami berdua tetap berpegangan tangan seakan takut berpisah.
>> BERSAMBUNG