Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (27)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

14/ Vila Puncak Sai Indah

MERASA bosan mendengar orang ngeceh, aku menuju ke lepau depan Vila Puncak Sai Indah, Sukadana Ham. Aku memandang ke depan ke kejauhan tampak kehijauan pepohonan dan kebiruan langit dan laut. Vila ini terletak di tempat ini tinggi di Bukit Sukadana Ham di pinggir Kota Bandar Lampung. Makanya, oleh yang punya vila ini diberi nama Puncak sai Indah. “Sai” dari bahasa Lampung yang berarti “yang”. Vila Puncak sai Indah berarti Vila Puncak yang Indah. Dan, dari vila ini akan terlihat pemandang elok nun ke arah kota, jejeran pepohonan di perbukitan dan laut Teluk Lampung.

Dua hari ini, majalah Republica menggelar pelatihan jurnalistik untuk reporter magang dan mahasiswa lain yang berminat. Pakai acara minep semalamlah biar efektif dan tidak diganggu oleh kegiatan lainnya. Sebagai senior, lebih tepatnya lebih duluan aktif  di pers mahasiswa ini, aku diminta memberikan materi di kepada peserta di samping menjadi moderator bagi narasumber lainnya.   Acaranya sih tidak terlalu menarik bagiku. Biasa saja. Jujur saja aku senang mengikuti kegiatan ini karena ada Vita di dalam kepanitiaan. Tapi, di sinilah masalahnya, sebagai panitia di seksi konsumsi, Vita dan teman-teman menjadi supersibuk. Sementara aku sendiri disibukkan dengan materi pelatihan sebagai pembicara, moderator, dan  sekaligus juga panitia pengarah. Mestinya honornya dobel bahkan tripel. Hihiii…

Karena itu, tadi begitu ada sedkit waktu luang aku keluar ruangan pelatihan menuju lepau vila. O iya, vila ini dua tingkat dengan lantai dasar yang agak tinggi. Aku sedang berdiri melihat-lihat ke kiri kanan, kadang-kadang melemparkan tatapan sejauh mata memandang ketika Wandi datang tergopoh-gopoh mendekatiku, lalu memuntahkan hampir semua isi perutnya.

Kacau ini Wandi. Luar biasa baunya. Untungnya, aku bukan orang yang suka jijik-jijik. Aku dekati dia. Rambutnya basah kuyup kayaknya baru keluar kamar mandi menyirami kepalanya. Muka dan matanya merah. Dari mulutnya tercium minuman keras. Aku tak tahu minuman jenis apa. Mabuk dia ini!

Ah, tetapi Wandi ini baik padaku dan tak ada masalah.

Pura-pura begok, aku tanya dia baik-baik, “Kenapa, Wandi? Masuk angin?”

“Ah, nggak apa-apa. Biasa!”

“Aku ambilkan obat ya,” aku masih tetap pilon dan tak tahu apa obatnya dan mesti diapakan orang kalau mabuk.

“Nggak usah. Saya memang suka begini. Entar sembuh sendiri,” tolak Wandi lagi.

“Benar ya nggak apa-apa.”

“Iya nggak apa-apa….”

“Istirahat saja, Di. Ada kan ruang buat tidur-tiduran.”

“Ya, Nut. Saya di sini saja.”

“Ya, udah.”  

Sebenarnya, aku tak terlalu peduli dengan Wandi. Mau mabuk atau apa, biar-biar saja. Dia bukan kru Republica, bukan panitia, dan bukan pula peserta pelatihan. Dia ikut ke vila sebagai penggembira dan tentu saja… ada banyak mahasiswi manis di sini. Terus terang, aku hanya khawatir, orang seperti Wandi ini dan tentu dia punya temannya, bisa mengacaukan acara pelatihan di vila. Tapi, untunglah dia mabuk sendiri dan tidak membuat keonaran.

Aman, pikirku.

Tapi, baru saja aku bernafas lega setelah mendapati kondisi Wandi, tiba-tiba Ella menemuiku.

“Kak, dipanggil Vita..,” kata Ella berbisik.

“Ada apa?”

“Ssst, … diam-diam saja ya. Enggak usah ribut. Vita jatoh dari motor.”

“Hahh… gimana keadaannya? Parah nggak? Di mana Vita sekarang?”

“Sini ikut Ella… Pesan Vita nanti dia yang cerita ke Kakak.”

Aku pun mengikuti Ella dari berjalan melewati beberapa ruangan kemudian naik tangga ke lantai dua vila.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top