Panggung

Bukannya Kebagian THR, Saya Malah Mendapatkan Banyak-Banyak Pertanyaan…

Buku-buku karya sastra (berbahasa) Lampung. | UDO Z KARZI

DI saat orang-orang sidang sibuk memikirkan persiapan Lebaran 2024, alih-alih memperoleh tunjangan hari raya (THR), saya malah mendapat beberapa pertanyaan mengenai buku sastra (berbahasa) Lampung atau mengenai kelampungan. Padahal, apalah saya ini.

Pertanyaan pertama, “Do, tahun 2023 menerbitkan karya sastra berbahasa Lampung ga?”

Jawab saya, “Nggak. 2022-2023 kosong. Mudah-mudahan tahun ini ya.”

Dia tanya lagi, “Yang dapat Rancage siapa di tahun 2023.”

“Yang dari Lampung gak ada.”

Tapi, … ah, saya lupa agaknya. Maklum sudah mulai pikun.

Karena itu langsung saya ralat, “Ufp, salah. Bang Zabidi Yakub menang Rancage 2023.”

Ternyata yang bersangkutan memerlukan datakarya sastra berbahasa Lampung sebanyak 114 judul. Wah, ngeri! Tapi, saya ragu apakah karya sastra berbahasa Lampung sampai pada angka ratusan.

Sebelumnya, saya mendapat pertanyaan dari calon-calon sarjana pendidikan bahasa Lampung Universitas Lampung yang hendak membuat skripsi. Apa saja buku karya sastra Lampung yang pernah terbit? Siapa saja sastrawan Lampung yang menulis dalam bahasa Lampung? Di manakah mendapatkan buku-buku sastra Lampung itu? Apa isi buku … (menyebutkan judul dan penulis karya sastra Lampung)? Bagusnya yang saya angkat dibahas apa ya? Dst, dst. Beberapa di antaranya berkunjung ke Lepau Buku UZK beberapa waktu lalu. Sayangnya, saya tak memiliki stok lebih buku-buku sastra Lampung yang pernah terbit itu. Hanya tersisa 1 eksemplar setiap judul.

Entah di mana para mahasiswa itu adanya ketika buku-buku itu terbit. Sebab, nyatanya nyaris tak ada dari mahasiswa prodi bahasa Lampung itu yang mengoleksi karya sastra berbahasa Lampung yang pernah itu.

Meskipun dengan penuh kebimbangan, saya bilang saja ke mereka, “Coba cari barangkali ada yang menyimpan karya-karya ini. Ada kok satu-dua orang Lampung yang beli buku ini!”

Membaca Keputusan Hadiah Sastra Rancage Tahun 2024, disebutkan buku yang dinilai juri sebanyak 45 judul yang terdiri dari 11 judul karya sastra Sunda, 18 judul karya sastra Jawa, 12 judul karya sastra Bali, dan 4 judul karya cerita anak-anak berbahasa Sunda. “Ada tiga daerah yang memenuhi kriteria untuk dinilai dalam Hadiah Sastra Rancage 2024, yaitu sastra Sunda, Jawa, dan Bali. Adapun buku-buku dalam bahasa Lampung, Batak, Madura, dan Banjar, belum ada yang memenuhi syarat untuk diberikan hadiah tahun kini. Semoga di tahun-tahun mendatang lebih banyak lagi buku yang terbit dari daerah-daerah tersebut,” begitu yang tertulis dalam Keputusan Hadiah Sastra Rancage 2024 tersebut.

Khusus sastra Lampung, bukan hanya tidak memenuhi syarat, melainkan tidak “sebiji” judul pun buku sastra berbahasa Lampung yang terbit sepanjang tahun 2023 setelah Zabidi Yakub menerima Rancage 2023.

“Tetap semangat! Sementara sastra Batak tidur melulu,” sastrawan Saut Poltak Tambunan yang berkali-kali menerima Hadiah Sastra Rancage untuk karya dan jasa mengomentari Rancage yang mengabarkan telah menerima “NI” kumpulan cerita cekak pilihan karya Narko Sodrun Budiman berbahasa Jawa untuk bahan pertimbangan Hadiah Sastra Rancage 2025  pada Selasa, 2 April 2024 lalu.

Terus terang, saya tidak tahu hendak menulis bagaimana lagi. Karena itu, saya hanya bisa melengkapi data buku sastra Lampung terbaru yang terbit untuk esai “”Sastra Lampung dan Hadiah Sastra Rancage” (LaBRAK.CO, 17 Februari 2021) ini.

Ulun Lampung yang Beruntung

Etnis Lampung yang berdasarkan berdasarkan Sensus Penduduk 2010, berjumlah hanya 1.376.390 jiwa dari total 7.596.115 juta jiwa penduduk Lampung. termasuk beruntung karena mewarisi bahasa dan sastra Lampung lengkap dengan sistem keaksaraan yang disebut had Lampung. Dari 1.340 suku bangsa dan 718 bahasa daerah di Indonesia, dalam catatan Pusat Bahasa dan Perbukuan (2018), hanya 12 yang memiliki aksara, yaitu aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis/Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci/Rencong.

Dengan sistem bahasa dan sistem keaksaraan ini, sastra Lampung berkembang sedemikian rupa dan ikut mewarnai sastra etnik atau sastra Nusantara sebagai bagian dari sastra Indonesia. Dengan melihat perkembangan sastra berbahasa Lampung (selanjutnya disebut sastra Lampung), kita bisa membagi dua jenis sastra Lampung, yaitu sastra lisan dan sastra tulis. Bisa juga digolongkan menjadi sastra tradisional/klasik Lampung dan sastra modern Lampung.

Sastra Klasik dan Sastra Modern Lampung

Sastra tradisional Lampung lebih dikenal dengan sastra lisan Lampung. Meskipun, sebenarnya sastra klasik Lampung ada juga yang tertulis. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, Iwan Nurdaya-Djafar (2010) menegaskan sastra Lampung bukan sastra lisan. Ia merujuk pada teks tertulis dalam aksara Lampung Tetimbai Si Dayang Rindu dan Warahan Radin Jambat dari abad ke-18 dan ke-19.

Sastra lisan/tradisional Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.

Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa(sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.

Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisional inilah dikhawatirkan punah.

Sastra Lampung dan Hadiah Sastra Rancage

Meskipun tersendat-sendat, penerbitan buku sastra (modern) Lampung dalam lima tahun terakhir cukup menggembirakan. Ini tidak lepas dari peran Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung yang konsisten melakukan pembinaan terhadap sastra daerah dan setiap tahun sejak 1989 memberikan Hadiah Sastra Rancage. Jika pada awal-awalnya penghargaan Rancage ini hanya untuk sastra Sunda (1989) saja.  Kini, Rancage diberikan untuk tujuh sastra daerah, yaitu Sunda, Jawa, Bali, Lampung, Batak, Banjar, dan Madura.

Terakhir, Zabidi Yakub dari Lampung dengan kumpulan sajaknya, Singkapan (Pustaka  LaBRAK, 2022) memenangkan Hadiah Sastra Rancage 2023. Ia berhasil mengungguli tiga sastrawan Lampung lainnya, Mamak Lawok dengan kumpulan hahiwangnya, Ngabiti Tanyandangan (2021), Elly Dharmawanti dengan kumpulan sajaknya, In Dang Tayap Sang Kaban (2022), dan Semacca Andanant dengan kumpulan cerita buntaknya, Kawin Lagi Mesanak (2022).

Rancage mensyaratkan yang dinilai untuk pemberian hadiah ini adalah dalam bentuk buku yang terbit, artinya tertulis, dan sastra baru/modern. Dari sinilah mulai berkembangnya sastra modern Lampung. Tidak seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern, sastra modern berbahasa Lampung baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak dwibahasa Lampung Indonesia karya Udo Z. Karzi, Momentum (2002). 25 puisi yang terdapat dalam Momentum tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Dengan kata lain, Udo melakukan pembaruan dalam perpuisian Lampung sehingga Kuswinarto (2004) menyebutnya “Bapak Puisi Modern Lampung”.

Untuk pertama kalinya Lampung mendapatkan Hadiah Sastra Rancege 2008 melalui buku puisi Udo Z Karzi, Mak Dawah Mak Dibingi (2007). Rancage untuk sastra Lampung ini sekaligus yang pertama untuk sastra daerah di luar Jawa dan Sumatera.

Berikut secara kronologis terbitan sastra Lampung (2009—2019): Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (kumpulan sajak Oky Sanjaya, 2009), Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong (kumpulan cerbun Asarpin Aslami, 2009, yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2010), Radin Inten II (novel Rudi Suhaimi Kalianda, 2011), Suluh (kumpulan sajak Fitri Yani, 2013, yang memenangkan Hadiah Sastra Rancage 2014), Tumi Mit Kota (kumpulan sajak Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti, 2013), Kukuk Kedok 1933, Gempa Bumi Besar 1993 (puisi klasik Ahmad Safei gelar Sutan Ratu Pekulun, 2015), Sekekejungni Pesiser Sememanjangni Angangon (kumpulan sajak Elly Dharmawanti dan SW Teofani, 2016), Negarabatin (novel Udo Z Karzi, 2016, yang mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2017), Usim Kembang di Balik Bukik (novel Andy Wasis terjemahan Udo Z Karzi, 2017), dan Semilau (kumpulan sajak Muhammad Harya Ramdhoni, 2017, peraih Hadiah Sastra Rancage 2018).

Tahun berikutnya, terbit Lapah Kidah Sangu Bismilah  (Bandung & Hahiwang karya Semacca Andanant, 2018) meraih Hadiah Sastra Rancage 2020, Sanjor Induh Kepira (kumpulan sajak Elly Dharmawanti, 2018), Lawi Ibung (kumpulan cerbun SW Teofani, 2019), Muli Sikop sai Segok (kumpulan sajak ZA Mathika Dewa, 2019), dan Lunik-lunik Cabi Lunik (kumpulan cerbun Udo Z. Karzi, 2019).

Berikutnya terbit Dang Miwang Niku Ading (kumpulan sajak Elly Dharmawanti, 2020) yang memenangkan Hadiah Sastra Rancage 2021, Katan rik Kilak (kumpulan sajak, Semacca Andanant, 2020), dan Setiwang (kumpulan sajak Udo Z Karzi, 2020).

Tahun 2022, selain buku puisi dan cerbun karya perseorangan, terbit pula Sampian: Antologi Puisi Dwibahasa Lampung-Indonesia yang berisi pemenang dan nomine Sayembara Menulis Puisi Berbahasa Lampung 2021 yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Akhirnya, masih perlu waktu untuk membuktikan sastra modern Lampung bisa lebih berkembang atau malah mungkin mati – kalau memang tidak ada yang peduli. Tapi, kita berharap agar sastra Lampung, baik lisan maupun tulisan, baik sastra klasik maupun sastra modern akan tetap terjaga, bertumbuh, dan berkembang memberikan kontribusi bagi kemajuan bahasa dan sastra Indonesia. Bagaimana pun keberadaan sastra daerah – tidak terkecuali sastra Lampung – tetap penting bagi Kabudayaan Nasional kita. Sebab, bahasa dan sastra daerah memuat sistem nilai, ilmu pengetahuan, dan kearifan lokal yang merupakan aset penting bagi peradaban bangsa ini.

Tabik! []

Daftar Pustaka

Karzi, Udo Z. 2004. “Sastra Modern (Berbahasa) Lampung”. Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober.

Karzi, Udo Z. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.

Karzi, Udo Z. 2016. “Penerbitan Buku Bahasa Lampung: Bukan Sekadar Menunda Kekalahan”. Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, 2—4 Agustus.

Kuswinarto. 2004. “Sandyakala Bahasa dan Sastra Daerah Lampung”. Lampung Post, Minggu, 11, 18 dan 25 April.

Nurdaya-Djafar, Iwan. 2010. “Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan”. Opini. Lampung Post, Minggu, 19 Desember.

Setiawan, Hawe, et. al.. 2020. “Keputusan Hadiah Sastra Rancage Tahun 2020”.

Sanusi, A. Effendi. 1999. Sastra Lisan Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top