Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (26)
“Kakak ini ya. Baru mau seru-serunya, pakai acara oleng-oleng segala. Gak romantis banget deh!” kata Vita.
“Mahap, mahap… Manalah diriku hendak mencelakai yang tersayang,” aku cengengesan.
“La, tadi?”
“Nggak-lah. Itu kayu yang kurang ajar…”
“Nggak mutu benar alesan-nya.”
Hahaa….
Setelah itu, kami menikmati jalan-jalan di bawah terik matahari. Menelusuri pematang sawah, menapaki sela-sela kebun, dan memandang aneka tetanaman yang tumbuh di perladangan sambil berpegang tangan.Berbincang, bertukar senyum, dan kadang tertawa. Duh, lumayan mesra.
Eh, panas juga tapi terasa adem.
Betah juga berrlama-lama di sini ya. Tapi, sore menjelang. Kami bertiga, aku, Vita, dan Tya berpamitan dengan tuan rumah, Ella dan keluarganya. Kembali ke Bandar Lampung.
Hari yang menyenangkan!
***
Selain pacaran dan kuliah, hehee… aku juga aktif di pers mahasiswa, juga ikut-ikutan diskusi sana-sini, dan kadang bergerak sebagai parlemen jalanan. Di pers mahasiswa aku bisa melakukan reportase dan menuangkan uneg-uneg yang sering tidak mungkin dimuat di pers umum. Pers mahasiswa ini benar-benar jadi pers alternatif yang bisa menampung berita dan idealisme mahasiswa. Begitu juga dengan kelompok studi atau diskusi sana-sini, di sini kadang muncul fakta-fakta yang tidak pernah didapatkan dari koran atau majalah pada umumnya. Kadang muncul ide, gagasan atau pemikiran brilian, cerdas, … tak jarang pula konyol dalam perbincangan dari pembicara atau peserta diskusi.
Pers mahasiswa dan kelompok studi ini membuat mahasiswa, setidaknya yang aku alami, menjadi tergila-gila dengan yang namanya wacana, diskursus, atau apalah yang berkenaan dengan dialektika, perdebatan atau polemik. Setiap saat bergelut dengan isu atau gosip ekonomi-politik membuat seorang aktivis menjadi haus bacaan, mendiskusikannya bersama kelompok. Aku terkadang tergerak juga untuk menuliskannya untuk pers mahasiswa. Bacaan, kelompok studi, dan pers mahasiswa ini menjadi api bagi semangat bagi kaum muda untuk menggugat kemunafikan, ketidakadilan, dan penindasan yang terjadi.
Aku tidak termasuk “gila” sebenarnya dalam menghayati pergerakan mahasiswa. Tapi karena sering ikut-ikutan gelombang yang agaknya kian membesar di tahun 1990-an yang mencapai puncaknya pada lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998, tak terhindari aku pun larut di dalamnya. Sebuah liputan Teknokra, pers mahasiswa tempatku beraktivitas, tahun 1992, mengenai kasus jual-beli nilai antara mahasiswa dan dosen di beberapa fakultas membuat sebagian mahasiswa dan dosen marah. Mereka menuding Teknokra telah menyebarkan berita bohong, memfitnah, dan merusak citra fakultas mereka.
Aku tak perlu ceritakan bagaimana sutuasi yang harus kami hadapi. Untungnya tidak ada yang anarkis sampai merusak atau menciderai para aktivis pers mahasiswa dalam aksi protes ini. Setelah berkali-kali, bolak-balik melakukan pertemuan dengan banyak pihak dari mahasiswa, dosen, pimpinan fakultas dan universitas, ada titik temu. Teknokra melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Dan, untungnya Teknokra lepas dari bredel dan keharusan sensor sebelum terbit sebagaimana disuarakan beberapa pihak.
Lain waktu, aku kritik pemberlakuan Jadwal Kuliah Terpadu (UKT) di kampus melalui artikel di pers mahasiswa. Dalam tulisan itu, aku katakan UKT ini adalah bentuk baru dari pembelengguan mahasiswa. Dengan UKT, mahasiswa benar-benar diarahkan untuk semata-mata kuliah, kuliah, dan kuliah. Karena kesibukan kuliah ini, mahasiswa menjadi kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasi dengan berorganisasi, beraktivitas, dan bergerak secara kritis dalam menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi di lingkungan sosial-politik mereka.
“Kebijakan UKT ini harus ditinjau kembali. Jangan sampai ia menjadi ‘penjara’ baru bagi mahasiswa. Kita toh tidak mau mahasiswa menjadi pasif dan tak memiliki daya kritis dengan persoalan di lingkungan, masyarakat, dan negara ini,” tulisku dengan penuh geregetan.
Aku sih nulis-nulis saja. Eehh, ternyata tulisanku dibaca rektor yang punya kebijakan. Maka, berceramahlah eeh… maksudku, berkatalah rektor ketika menjadi inspektur upacara di lapangan kampus bahwa tujuan UKT baik.
“Ada teman kalian menulis di koran kampus. Dia mengkritik kebijakan UKT yang katanya bisa membelenggu aktivitas mahasiswa. Pengkritik ini keliru. Ini memang peraturan universitas yang baru yang perlu sosialisasi. Karena itu dalam kesempatan ini, saya perlu menjelaskan bahwa UKT ini lahir dari keprihatinan bahwa banyak mahasiswa yang agak terbengkalai kuliahnya. Tujuannya justru untuk membantu mahasiswa agar lebih cepat menyelesaikan kuliahnya. Jadi, sama sekali tidak bermaksud melarang mahasiswa menjadi aktivis, bergiat dalam organisasi mahasiwa, melalukukan kegiatan sosial, dan sebagainya….,” panjang lebar rektor menerangkan kebijakan universitas.
Entah, rektor tahu atau tidak bahwa penulisnya, aku ada di antara peserta upacara bendera hari itu. Aku ngedumel saja dalam hati. Rektor tak bilang siapa nama penulisnya. Dan, aku juga diam saja. Ya, mungkin aku sedikit keliru dalam memahami UKT itu. Tapi, secara substansial kritikku itu memang ditujukan kepada mahasiswa untuk tidak menjadi mahasiswa yang hanya “sibuk” dengan padatnya mata kuliah dan diri sendiri tanpa peduli dengan apa yang terjadi pada sekitarnya.
Nah, aku pun kok sok-sokan jadi aktivis ya. Nggak ah, aku cuma sedikit melepaskan uneg-uneg atau kegelisahan setelah kebanyakan baca-baca, ikut diskusi, dan lain-lain mengenai bagaimana kekuasaan diperlakukan dengan semena-mena dan bagaimana orang kaya berlaku tak adil dalam upaya mengeruk kekayaan dengan cara-cara menindas yang miskin dan tak berdaya.
Lain kali, kami melalui pers mahasiswa, juga mengkritik Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), DPR/DPRD, pemerintah pusat dan daerah, orang-orang sok kuasa dan sok kaya yang sering suka semau-maunya mengatur kehidupan seakan dunia ini mereka yang punya.
Gak bahaya ta? Entahlah… yang jelas, diam berarti mati. Mesti bergerak, bergerak, terus bergerak….
>> BERSAMBUNG