Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (25)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

13/ Mesti Bergerak, Bergerak, Terus Bergerak…

Pitha yang baik,

Lama macet surat ini. Sekarang lanjutkan. Tapi, takut pula engkau bosan membaca suratku. Jadi, aku ringkas saja dengan menghilangkan beberapa bagian yang tadinya hendak aku ceritakan juga padamu, tetapi tidak jadi. Ya, semoga kelak nanti aku masih punya kesempatan mengisahkannya dalam lembaran-lembaran yang lain.

Aku dan Vita–ya tempo hari aku bilang namanya mirip denganmu, Pitha– dalam perasaanku semakin dekat saja. Sering bertemu di berbagai kesempatan di kampus atau di luar kampus. Suka berdua saja, kadang bertiga, berempat atau berlima. Hahaa… Aku merasa Vita sudah menjadi milikku tanpa merasa perlu memberi ikatan, kekangan atau apa pun yang mungkin saja membuat hubungan pacar menjadi lebih kuat. Jalan bareng, ketawa, berbagi suka, ngerupiin orang,  tolong-menolong… –eh, aku yang lebih banyak diminta tolong karena lebih senior, hehee—dalam mengerjakan tugas kampus, dan seterusnya.

***

Suasana pedesaan. Perladangan, perkebunan, dan persawahan. Aha, aku kembali ke masa lalu yang dulu ada kamu Pitha. Tapi, sekarang tak ada kamu. Entahlah, Vita tiba-tiba saja mengajakku ke Desa S tak terlalu jauh hanya 35 km dari Bandar Lampung dan bisa ditempuh dalam 51 menit saja dengan kendaraan bermotor. Walau terik matahari di siang hari, terasa sejuk dalam pandangan dan perasaan. Gugusan padi di sawah, ladang, dan kebun kakao yang menghijau membuat nyaman di hati.

Kami berangkat pagi dari kampus. Nebeng bus dari Rajabasa ke arah Kotaagung dengan ongkos spesial mahasiswa. Lalu, turun di Desa S. Tapi, aku mati kutu juga karena ada tiga cewek yang mengelilingiku selama perjalanan dan setibanya di desa S. Vita bersama Tya dan yang punya kampung, Ella.  Apalah dayaku. Aku takkan bisa berkutik. Bisa mati aku dikeroyok cewek-cewek kalau macam-macam.

Sampai di desa S, Ella memperkenalkan aku dengan ibu-bapak dan keluarganya. Sebuah keluarga yang hangat, bersahaja dan seperti  pada umumnya petani, mereka adalah pekerja keras. Makan minum, dll., aku ikut saja dengan Vita dan kawan-kawan untuk berjalan-jalan di tepi sawah dan ladang.

Menyenangkan!

“Pak, pinjam sepedanya,” kata Vita kepada Pak Yanto, ayah Ella.

Di sebuah tiang di gubuk yang tak berdinding memang tampak sebuah sepeda yang agaknya sedang nganggur. Biasanya sepeda ini dipakai untuk berbagai keperluan hendak ke warung, nenangga, ke ladang yang agak jauh, dan bisa juga untuk mengangkut hasil ladang dan sawah.

“Kak ambil sepedanya,” ujar Ella.

Wah, sudah lama juga tak naik sepeda. Aku coba, asyik juga bersepeda ria di sela-sela padi dan tetanaman di ladang. Lebih asyik lagi karena Vita membonceng di belakangku sambari tangannya perpegangan di pinggangku. Romantis juga kayak Rano Karno dan  Yessy Gusman di film “Gita Cinta dari SMA”.

Aku bahagia. Senyam-senyum sembari membayangkan indahnya masa depan bersama Vita. Akibatnya, aku kehilangan konsentrasi, sepeda menabrak potongan kayu, kehilangan keseimbangan, dan hampir saja… Vita yang ketakutan, langsung lompat dari sepeda. Tidak terjadi apa-apa. Semua selamat.

“Tidak apa-apa, Vit?”

Nggak, nggak apa-apa!”

Nggak apa-apa memang. Tapi, adegan romantis pun buyar dan tak tentu saja tak bisa diulang lagi seperti syuting film.

Aduh! Sayang sekali.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top