Human

Kue Klepon yang Meleleh di Dahi

Desa Sukajaya, Prokimal, Lampung Utara. | ELOK TRI AMBARWATI

Oleh Elok Tri Ambarwati

MELANGKAHKAN kaki kembali di kampung halaman serasa mengembalikan memori lamaku. Meski saya dilahirkan di Kota Surabaya, kenangan bersama keluargaku justru banyak dihabiskan di Provinsi Lampung.  Saat saya masih SD, ayah yang purnawirawan TNI AL, memutuskan pindah ke pemukiman Angkatan Laut di Prokimal, Lampung Utara.

Perjalanan yang kutempuh sekitar 2–3 jam untuk menuju lokasi rumahku di desa Sukajaya. Meski terkesan sederhana, mengenang rumah bernuasa putih ini tentu mengharu biru, Banyak cerita indah di dalamnya. Canda tawa dan cerita yang menguras air mata. Harum wangi bunga melati dan bau khas tanah mengingatkan aku akan sosok almarhum ayahanda dan kakak tercinta.

Kaki kecilku berlari kecil menyusuri jalan setapak yang dipenuhi ilalang. Gelak tawaku terdengar yaring bersama ketiga saudaraku. Kami berlari saling mendahului. 

“Nak, jangan lari-lari nanti jatuh,” ujar ayah.

Udara sejuk pedesaan yang kami hirup dan pemandangan yang hijau, penuh dengan butiran embun pagi membuat hati semakin mencintai tempat kami dibesarkan. Rasa lelah saat menemani kedua orang tuaku tak akan terasa. Perkebunan seluas sekitar 2 hektar ini banyak memberikan kebahagiaan bagi kedua orang tuaku. Sebab, banyak tanaman yang berhasil dikembangkan seperti tanaman sawi, kacang panjang, semangka, mangga, dan rambutan.

Aku ketiga dari empat bersaudara. Kami dibesarkan dengan disiplin. Ayah yang nonmuslim, tetapi ayah tidak otoriter. Walau sedikit galak, beliau dikenal cukup ramah dan baik hati oleh para tetangga. Beliau selalu mengajarkan kami tentang arti kehidupan, untuk tidak saling membedakan dalam pergaulan.

Uniknya, meskipun ayahku nonmuslim, kami justru menikmati pendidikan dari SD hingga SMA dengan mempelajari agama Islam untuk melengkapi nilai rapor kami.

Di masa inilah aku banyak memiliki kenangan indah, saat kami bertiga,  tidak termasuk adik, secara sembunyi-sembunyi mencoba mulai belajar berpuasa.

Suatu saat…, “Agung, mengapa tidak kamu makan makananmu?”

Berbohong kakak berkata, “Injeh, Ibu. Kulo tase keyang.”

Tentu saja jawaban tersebut membuat ibu marah.

Sampai akhirnya ayah turun tangan. 

“Mengapa tidak dimakan?”

Dan, jawaban yang sama diucapkan.

Tiba-tiba… tar tar tar… terdengar ikat pinggang ayah memukul tangan kakak.

Akhirnya kakak berkata jujur bahwa ia sedang berpuasa. Seketika ayah berhenti dan terdiam. Dengan berlinang air mata beliau memeluk kakak dengan kasih sayang.

“Mengapa kalian tidak berkata jujur? Maafkan ayah. Berpuasalah, Nak.”

Peristiwa lucu dan mengharukan di masa kecilku juga terjadi saat kehebohan ikut sahur. 

Gimana ya caranya biar bisa bangun sahur tanpa diketahui ayah dan ibu?” ujar kakak kepada sabahatnya, Tono.

Gampang, Gung. Caranya kamu ikat jari jempol kamu dengan tali yang dihubungkan dengan sejumlah kaleng. Nanti tali tersebut aku tarik dari luar jedelamu. Gimana?”

Kemudian kesempatan dibuat. Hasilnya luar biasa, bis berhasil membangunkan sahur.

Keunikan juga terjadi saat kakak secara diam diam ikut acara maulid nabi di musholah. 

“Gung, ikut Maulid yuk,” ajak Tono dan sejumlah teman lainnya.

“Tapi, aku gak punya peci sama sarung,” jawab kakak.

“Gampang pake punya aku saja.”

Sesuai jadwal acara dimulai. Kami harap-harap cemas karena kakak tak kunjung pulang. Saat pulang, ayah sudah menunggu di ruang tamu.

“Dari mana kamu?” tanya ayah.

“Dari musolah, Pak,” jawab kakak.

“Kenapa tidak izin? Buat malu saja kamu ini,” ucap ayah marah dengan nada tinggi

“Maafkan kulo, Pak. Saya tidak mengulanginya lagi,” jawab kakak.

Tiba-tiba ada sesuatu yang meleleh di dahi kakak. Apa itu?

Ternyata, kue klepon yang meleleh. Seketika kami semua tertawa. Rupanya karena rasa takut dan merasa bersalah membuat kakak gugup hingga kue klepon yang dibungkus daun tersebut disembunyikan dibawa peci.

Ayah tidak jadi marah dan kami pun ikut menyantap bungkusan nasi lengkap dengan ayam panggang dari musala tersebut.

Itulah sebagai kisah menarik saat mengenang kampung halamanku. Kami tumbuh dewasa, merantau, dan akhirnya kami bertiga memutuskan menjadi mualaf. 

Sayangnya rumah bernuansa putih tersebut kini terasa sepi setelah ayahandaku dan kakak tercinta, Mas Agung sudah wafat meninggalkan banyak kenangan indah.

Terima kasih kampung halamanku. Kau telah memberikan warna dan sejumlah pembelajaran yang tidak akan pernah aku lupakan sampai akhir hidupku. []

———————– 
Elok Tri Ambarwati,
lahir di Surabaya, 24 Oktober 1972. Dia dibesarkan di  Prokimal Kotabumi, Lampung Utara. Saat ini berdomisili di Bandar Lampung. Sehari-hari ibu rumah tangga yang sesekali menulis artikel di media daring.

*Dimuat juga dalam Ain Airi, Ed. Terkenang Kampung Halaman: Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran. Bandar Lampung: Sijado Institute, Februari 2024.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top