Tiga Kisah Mansur
1/
BAGI kami, remaja Pekon[1] Negarabatin, Liwa, Lampung Barat tahun 1980-an, hanya ada empat genre musik: pop, rock, dangdut, dan kasidahan. Koroncong, jazz, blues, dll mana pula kami paham. Apatah lagi hendak menikmatinya.
Aku, Kifli, dan Mirza yang kebetulan berumah tak berjauhan di pasar, terminal, dan tangsi kota kecil–atau boleh dibilang perdesaan rasa kota—kami. Seingatku Mirza yang suka bersemangat mengajak belajar bersama. Tapi, aku dan mungkin juga Kifli bukan orang yang rajin belajar. Tapi, heran juga temanku Kifli ini, tidak suka belajar kok dia pintar saja dan selalu mendapat ranking satu. Mirza juga sama pintar di sekolah dan pintar mengaji, kayaknya menjadi tanda-tanda kelak dia bakal jadi ustaz. Sementara, aku… aku merasa paling begok deh.
Kalau lagi malas belajar, kami suka membahas macam-macam, termasuk lagu atau musik. Cuma tertarik saja. Soalnya kami bertiga sama-sama tak mempunyai keahlian memainkan apa pun alat musik. Kami suka berdebat dan saling ejek mengenai selera musik kami masing-masing. Kifli dan aku lebih suka lagu pop. Sedangkan Mirza kayaknya senang juga pop, tetapi ada kecenderungan dia lebih suka mendengar dangdut dan lagu religi semacam kasidahan begitu.
Kalau mendengar Mirza menyenandungkan lagu pop, Kifli suka meledeknya, “Wui, itu lagu pop, bukan dangdut!”
Aku pun ikut-ikutan, “Iya, itu Dian Pisesha yang nyanyi, bukan Ida Laila.”
Kifli dan aku tertawa, sedangkan Mirza cuma cemberut.
Di rumahnya, Mirza memang punya koleksi kaset lagu-lagu Ida Laila dan lagu-lagu dangdut dan religi lainnya. Mungkin punya kakaknya. Wajar jika dia hapal lagu-lagu genre itu.
Meskipun demikian, agaknya kami sepakat kala itu untuk tidak menyenangi lagu Mansyur S. Penyanyi dangdut ini kami nilai terlau “serius” menghayati lagu yang ia lantunkan. Mungkin karena lagu-lagu pemilik nama lengkap Mansyur Subhawannur ini terlalu dekat dengan kenyataan dalam masyarakat umum. Atau, bisa jadi karena suara pria kelahiran 30 November 1948 ini merdu, mendayu-dayu, dan perih langsung menuju ke hati pendengarnya. Entahlah…
Sebuah persepsi salah yang dipengaruhi lingkungan kami saja kala itu. Belakangan, aku malah suka mendengar lagu-lagu Mansyur S dan juga lagu-lagu lain yang sempat kami jauhi dulu. Musik apa pun ternyata asyik-asyik saja dinikmati.
2/
SAAT SD dan SMP di Negarabatin (1977—1986), persahabatan kami, aku dan Kifli, terasa kuat diikat oleh kegemaran yang sama, yaitu membaca, yang kemudian tumbuh menjadi kesenangan menulis.
Aku sungguh panas mendapati kabar suatu kali cerpen Kifli dimuat di sebuah majalah Jakarta. Maka, diam-diam aku pun mulai mengirim tulisan ke berbagai media.
Bacaan kami lebih sering sama karena memang sering bertukar bacaan. Aku tidak bisa menyembunyikan buku, majalah atau koran dari Kifli. Begitu juga sebaliknya, Kifli dengan suka rela akan memperlihatkan dan meminjamkan apa pun yang dia baca padaku.
Di antara bejibun bacaan yang ada kala itu, ada satu penulis yang memiliki kesan mendalam bagi kami berdua. “Kita ini sama-sama jadi ‘korban’ Mansur Samin melalui cerita-cerita anaknya yang kita baca dulu. Kita jadi suka memberontak dari keadaan, melawan kemapanan, dan anti dengan segala jenis feodalisme, ketidakadilan, dan sikap sok dari orang-orang tua,” tulis Kifli dalam surat panjangnya ketika masih mahasiswa Universitas Cenderawasih.
Mansur Samin (lahir di Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 29 April 1930– meninggal di Jakarta, 31 Mei 2003) adalah wartawan-penyair yang digolongkan HB Jassin sebagai sastrawan Angkatan 66. Di Solo, ia pernah menjadi “guru” membaca puisi bagi W.S. Rendra, D.S. Moeljanto, dan lain-lain. Selain menulis puisi dan drama, ia banyak menulis buku cerita anak-anak.
Innalillahiwainna ilahi rajiun. Sahabatku ini telah lebih duluan menghadap Ilahi. Alfatihah untukmu, Kif.
3/
TAHUN 1970-an hingga 1980-an, Negarabatin Liwa (sekarang berganti nama Pasar Liwa) adalah ibu kota Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Utara. Sebelum Kabupaten Lampung Barat berdiri tahun 1994, wilayah Balik Bukit meliputi Marga Liwa dan Marga Sukau. Malah sebelumnya, Balik Bukit meliputi juga Belalau, Batubrak, Sekincau, Suoh, dan kecamamatan-kecamatan lain yang lebih baru.
Dulu, Negarabatin adalah kota kedua setelah Krui di wilayah Kewedanaan (Afdeling) Krui. Selain menjadi ibu kota Marga Liwa, di Negarabatin sejak 1884, ditempatkan assisten countroleur yang bertanggung jawab atas administrasi Marga Liwa, Soekau, Kembahang, Boewei Kanjangan, Boewei Bloengoe, dan Soewo.[2]
Sebelum gempa 1994, di Negarabatin banyak bangunan kuno, baik tinggalan Belanda maupun bangunan setelah Indonesia merdeka. Dalam ingatan saya, terdapat Tugu Merdeka dengan Gedung SDN 1 Negarabatin Liwa dan Terminal Liwa di dekatnya. Lalu, Lapangan Merdeka Liwa dengan bangunan-bangunan Pesanggrahan, Rumah/Kantor Pembantu Bupati Lampung Utara Wilayah Liwa, kompleks PU, rumah dan kuburan Belanda, Rumah Dinas Camat, Kantor Polisi atau tangsi, dan bor (pemandian umum) yang mengelilinginya.
Di antara bangunan-bangunan lama itu, tersebutlah Masjid Al Manshur Al Madani yang letaknya tak jauh dari Lapangan Merdeka, Terminal, dan Tugu Merdeka. Tidak jauh juga dari rumah panggung tempatku dilahirkan di Uncuk tahun 1970. Setelah kami pindah rumah ke sudut Lapangan Merdeka Liwa sederetan dengan tangsi, rumah camat, dan bangunan-bangunan Belanda lainnya pada tahun 1979; letak Masjid Al Manshur Al Madani ini menjadi persis di depan rumah kami.
Salat Jumat selalu di masjid ini. Kalau salat lima waktu berjamaah, entahlah… hehee, aku bukan yang rajin salat waktu kecil dan remaja. Yang selalu hadir adalah saat perayaan Maulud Nabi atau perayaan hari besar Islam lainnya yang ada bagi-bagi kuenya.
Yang anehnya, aku tidak ngaji (belajar membaca Alquran) di masjid ini. Aku dan teman-teman ngaji di surau Wak Bakri, Tamanjaya. Sempat juga ngaji dengan Pakngah Saroji.
Pada perasaanku dulu waktu kecil, masjid ini angker. Sebelum diwajibkan Salat Jumat di sini, aku selalu takut-takut memasuki bangunan tua masjid yang kelihatan sepi, membuat bulu kuduk merinding. Seingatku imam masjid ini ada Imam Rozali, Imam Fathoni, dan Imam Faruk. Untuk muazin—yang sering disebut bilal ada Datuk Jehar, Abu Nazor (abah-nya Kifli), dan Saroji.
Menurut orang-orang, nama masjid ini berasal dari nama pendirinya, yaitu Al Manshur Al Madani. Kapan didirikan? Ada yang bilang tahun 1908 bersamaan dengan tahun Kebangkitan Nasional (lahirnya Budi Utomo). Ada juga yang mengatakan masjid ini sudah ada jauh lebih lama lagi dari itu ketika empat umpu yang menyebarkan agama Islam datang di bumi Sekala Brak.
Misteri utamanya adalah siapakah Al Manshur Al Madani. Aku bertanya ke banyak orang mengenai sosok ini. Tidak ada yang bisa bercerita. Tapi, semua sepakat bahwa Al Manshur Al Madani adalah tokoh ulama yang merintis keberadaan dan kemudian diabadikan menjadi nama masjid ini.
Entah karena bangunannya sudah tua, konstruksi yang tidak kuat, pengurus masjid yang korup atau karena orang-orang Negarabatin sudah mulai menjaga jarak dan enggan memakmurkan masjid—wallahu a’lam—masjid ini roboh ketika gempa melanda Liwa 1994.
Bantuan datang untuk pembangunan masjid dengan nama baru. Tapi, orang-orang Negarabatin bertahan dan mempertahankan nama Al Manshur Al Madani. Pascagempa dibangunlah masjid di lokasi terminal tidak jauh dari tempat lama yang menjadi pemukiman warga dan sekarang justru lebih dekat dengan tugu di pusat kota.
Masjid Al Manshur!
Hingga kini, sungguh aku masih penasaran dengan sosok ulama Al Manshur Al Madani ini. Coba ada yang kasih tahu, kepada siapa aku mesti bertanya. []
———
* Udo Z Karzi, lahir di Liwa, 12 Juni 1970. Ia menulis dan mengeditori sejumlah buku berbahasa Lampung dan Indonesia.
**Ditulis untuk Antologi Terkenang Kampung Halaman: Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran, yang akan duterbitkan Sijado Institute, Desember 2023
[1] pekon: kampung, desa
[2] Abid, Fadlun & Elly Dharmawanti. 2021. Kroe Tempo Doeloe dalam Catatan O.L. Helfrich. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK. hlm. 35—36.