Remaja Labil dan Seorang Mak yang Hebat
SEBENARNYALAH aku hanyalah seorang remaja labil yang mudah putus ketika menemui sedikit kesukaran hidup. Aku hanya beruntung bisa diselamatkan oleh keluarga, teman-teman yang pintar, sanak-famili yang baik-baik, dan lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan raga kami semenjak kanak-kanak hingga menuju tua. Itu pun kalau Yang Mahakuasa masih memberi kesempatan bagiku untuk bisa menikmati pernak-pernik kehidupan lebih lama lagi.
Kembali ke masa silam, aku ingat betapa lemahnya aku berhadapan dengan kenyataan yang memang semestinya aku alami untuk pembelajaran hidup. Hanya karena tidak terima dimarahi dan diomeli oleh bak (ayah) ketika masih kelas dua SMP, aku merasa tidak dianggap, tidak berguna, dan tidak disayangi. Lalu, aku kabur dari Liwa ke Tanjungkarang. Niatnya mau menyeberang ke Pulau Jawa tetapi tidak jadi karena kehabisan ongkos dan tidak tahu cara menumpang kapal. Hanya dua-tiga hari “pelarianku”, aku pun diketemukan dan kembali pulang ke Liwa.
Ketika SMA di Bandar Lampung, lagi-lagi aku patah semangat. Aku cemburu, iri, dan rendah diri berhadapan kepintaran, keaktifan, materi, dan segala hal yang dimiliki teman-temanku, yang aku rasa tidak aku punya. Aku terpuruk! Aku ingin berhenti saja sekolah. Tapi, untungnya aku masih bisa diyakinkan bahwa sekolah itu tetap perlu.
Patah hati karena cinta? Hahaa… tentu saja aku mengalaminya. Yang paling parah ketika aku kuliah. Tapi, aahh… malu juga mau menceritakannya. Tak enak pula dengan si dia. Kutukan lirik lagu Tommy J Pisa yang berbunyi: tiada guna aku hidup begini/tanpa belaian kekasih yang sangat kusayangi (“Biarkan Aku Menangis”) seolah-olah kena padaku. Ada juga lagu “Desember Kelabu” ciptaan A Riyanto yang didendangkan Maharani Kahar, tetapi dipopulerkan Grace Simon, lagu “Patah Hati”, dll yang semakin sering aku dengar dan hayati kala itu.
Aku tak bisa menyanyi. Paling hanya bersenandung seorang diri pelan-pelan. Saat hati sedang terluka, gundah-gulana, dan merasa dikhianati, lagu-lagu “cengeng” itu tak cuma dinikmati, tetapi lebih bisa dihayati dengan sebenar-benarnya. Situasi semacam ini membuatku menjadi melankolis, sentimentil, dan membuatku tidak punya vitalitas hidup.
Ini benaran terjadi. Setelah semester delapan dan setelah Kuliah Kerja Nyata (KKN) seharusnya aku segera bergegas menyelesaikan skripsiku. Tapi, hanya karena kekecewaan terhadap apa yang aku alami, aku merasa seperti kehilangan segalanya. Setelah ini, apa lagi yang aku mesti perjuangkan?
Alih-alih bergiat merampungkan skripsi, aku malah menjadi malas ke kampus, lebih banyak mengurung diri, ngantuk tak ngantuk tiduran terus di kamar kos, tak pedulian dengan lingkungan sekitar, dan sibuk mengutuki “kemalangan” diri. Rasanya tidak ada yang lebih menderita ketimbang diriku.
Konyol! Tapi, itu nyata pernah aku alami. Aku pun tersenyum kecut sendiri mengingat itu.
Hampir dua tahun aku melakukan kesia-siaan semacam itu. Aku baru tersentak sadar ketika pulang kampung dan bak bertanya, “Sudah sampai mana skripsimu? Apa kesulitannya?”
Tapi, mak tak bertanya. Dia hanya bilang, “Tiuyunko! (Kerjakan dengan sepenuh hati).” Lalu, sejak dulu hingga kini, mak selalu berpesan, “Jangan meninggalkan salat!” Pesan yang selalu mak ulang-ulang dan pernah membuatku kesal, tetapi diam-diam mulai kuikuti karena memang memiliki kebenaran yang terbukti berkali-kali menyelamatkanku dari keterpurukan dan membangkitkan kesadaran untuk melakukan (atau tidak melakukan) apa-apa dalam kehidupan ini.
Mak adalah contoh nyata dari hidup yang penuh perjuangan, yang menjalaninya dengan kegigihan, kesabaran, dan penuh ketabahan. Apa yang aku terjadi padaku terlalu sepele dibandingkan apa yang mak alami. Sebagai istri seorang guru SD, sepengetahuanku, mak tidak pernah mendapatkan jatah bulanan dari gaji suaminya. Sudah begitu sang suami dan juga anak-anaknya hampir selalu ingin mendapatkan sayur dan lauk yang enak-enak setiap hari.
“Sayur begini ini? Coba dulu beli ikan,” kata bak suatu kali saat dihidangkan makan sore bersama.
Mak diam saja kala itu. Aku pun memandang mak dan mengira-ngira, mak bilang begini dalam hati, ‘Beli ikan dari mana? Uangnya tak pernah dikasih.’
Mak tak pernah aku dengar mengeluh. Ia selalu mengalah dari suaminya. Aku dan adik-adikku pun kalau minja jajan, selalu minta dengan mak. Kalau untuk keperluan sekolah yang agak besar, barulah dari bak.
Hampir setiap hari, setelah menyiapkan sarapan kami, suami dan anak-anaknya, mak akan berangkat ke sawah, ladang atau kebun. Setelah pulang mengajar, bak akan menyusul mak. Aku dan adik-adik kadang-kadang saja ke ladang. Bila sore tiba, mak akan pulang dari ladang dengan bakul di kiri-kanan lengan berisi sayuran atau hasil kebun, kayu bakar di atas kepala, dan adikku yang masih balita digendong di belakang.
Pekerjaan yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh ibu-ibu modern.
Tidak hanya bertani, mak juga berjualan sayuran di pekan (pasaran dua kali seminggu), juga sempat berjualan miso dan gorengan. Semua mak lakukan untuk membantu kekurangan gaji suaminya dalam membiayai sekolah anak-anaknya.
Satu kali sore-sore, aku pulang dari bermain, langsung di panggil bak. “Lekas masuk. Temui makmu di kamar. Minta maaf!”
Astaghfirullah. Aku segera tahu kesalahan. Aku tidak ke ladang membantu mak mengangkut hasil ladang.
Merasa berdosa, aku melangkah ragu ke bilik. Aku lihat mak tidur terisak.
“Mak, Mak… aku minta maaf. Aku tak ke ladang…” kataku.
Mak tidak menyahut. Tapi, dia bangkit, menyapu matanya, memelukku, dan mengusap kepalaku.
Begitulah ketika kembali ke Tanjungkarang, aku mulai bergiat merampungkan skripsi dan segera wisuda.
Memasuki usia setengah abad lebih, aku kian merasa mempunyai mak yang hebat. Mak memperlihatkan kegigihan, kesabaran, dan ketabahan–juga keikhlasan—tak terhingga. Mak mengajarkan kepada kami, anak-anaknya, bagaimana menjalani hidup dan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. []
* Ditulis untuk antologi Ibu Matahari Hidupku (proses terbit).
** Gambar tak ada hubungannya dengan tulisan. Hehee…