Kamuflase
“RADIN kok gak menulis lagi?” tiba-tiba saja Udien bertanya.
Radin Mak Iwoh yang lagi terbengong-bengong bingung mau ngapa-ngapain tentu saja melotot ditanya begitu.
“Api muneh, Dien. Nanya kok nggak jelas gitu,” omel Radin Mak Iwoh.
“Kok mak jelas….”
“Ya apa geh. Ini lagi kemarau, tahun pelitik, mau Pemilu 2024, nyaleg, pilpres, lalu dilanjutkan pilkada serentak. Lagi panas-panasnya suhu udara dan suhu pelitik, kau malah nanya tulas-tulis. Nulis itu pakai otak, saya lagi malas mikir. Mana kerjaan saya kemarin belum pula cair. Dana-dana semua tersedot untuk hajatan pelitik. Semua juga lagi pada wait and see, siapa yang bakal kepilih…”
Udien malah menerima keluhan panjang-lebar dari Radin Mak Iwoh.
“Kemarin-kemarin kan Radin rajin memublikasikan tulisan ke media?” tanya Udien gak peduli dengan keluhan Radin Mak Iwoh.
“Oh, itu karena ada gerakan literasi. Pejabat-pejabat juga disuruh berliterasi untuk menyosialisasikan program-program kantornya. Sekarang ya nggak lagi. Hehee…”
“Jadi, Radin ini pura-pura berliterasi ya. Literasi untuk nyenang-nyenangin atasan saja dan bukan karena kesadaran pentingnya literasi,” sembur Mat Puhit yang dari tadi nguping.
“Ya gak gitulah. Nulis kan perlu mikir. Sekarang lagi malas mikir,” elak Radin Mak Iwoh.
“Dan, gak ada perintah atasan pula,” sindir Udien lagi.
***
Gembar-gembor gerakan literasi dalam kenyataannya hanya kamuflase. Orang beramai-ramai ingin menjadi penulis tanpa proses pembacaan yang intens. Orang-orang menulis hanya semata-mata agar disebut penulis. Orang-orang pun menulis karena tergiur tujuan instan seperti mendapatkan piagam/sertifikat menulis, mendapatkan angka kredit, dan memenuhi persyaratan naik pangkat.
Sementara, satu sisi dari literasi, yaitu membaca justru terabaikan. Konon, di dunia penerbitan,dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan ‘gila-gilaan’ judul buku yang diterbitkan. Situasi yang seharusnya menggembirakan karena peningkatan itu dapat diartikan banyak buku baru dan semakin banyak penulisnya. Namun, di balik itu, yang terjadi adalah persebaran (distribusi) buku-buku itu yang menjadi masalah. Buku banyak itu tidak dibaca dan tidak terdistribusi kepada khalayak. Dengan kata lain, peningkatan jumlah judul buku tidak sejalan dengan peningkatan pembaca buku.
“Jadi, untuk tujuan apa buku-buku itu diterbitkan?” gugat Pithagiras.
“Ya, buat lagak-lagakan aja. Biar bisa bilang, ‘Gue sudah punya buku’. Kan keren,” celetuk Minan Tunja.
“Iya, tapi di mana nyari buku orang yang mengaku sudah jadi penulis?” Pithagiras tambah sewot.
“Masalah buat lu? Gak penting. Yang penting buku itu ber-ISBN, cetak cukup 10 eks. Memang tidak dijual! Yang beli ya penulisnya untuk dibagikan pada orang-orang tertentu saja.” kata Mamak Kenut.
“Jangan tanya kualitas buku, bahasa dan kontennya seperti apa, ya entahlah,” timpal Pinyut.
“Oh buku, oh literasi nasibmu kini,” ujar Pithagiras yang membuat semua menjadi ketawa. Getir! []