Nyeruit, Mengan Bangik, dan Ngupi Pai Kita ‘Selama Air Hilir’
“Nah. Mengan pai. Ram nyeruit jama-jama. Mejong dija.” Nyai Rajo menarik kursi di sampingnya untukku. (hlm. 280)
ASYIK! Saya pun bersorak gembira membaca kalimat bahasa Lampung untuk kesekian kalinya dalam novel Selama Air Hilir karya Rilda Taneko (Pustaka Jaya, 2023) ini. Bahkan, saya serasa ikut diajak Nyai Rajo makan (mengan) khas ala Lampung dengan seruit (nyeruit). Padahal yang dipersilakan Nyai Rajo adalah Angkasa (aku), tokoh utama novel ini.
Hebatnya, Rilda Taneko menyandingkan bahasa Lampung—ada juga bahasa Jawa, Bali, dan Manado–sejajar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tanpa terjemahan. Jadi, yang tidak bisa bahasa Lampung, tidak akan tahu arti kalimat/kata-kata dalam bahasa Lampung ini: “Wat-wat gawoh”, “Ai dah, dang miwang”, “tiyuh”, “mahan”, “lapang luwar”, “lapang tengah”, “mulei sikop”, “Kilu mahap”, “Pedom pai”, “Nerima nihan”, “Jama-jama”, “Tabik pun”, “Kutti api kabar?”, “Alhamdulillah, sikam kabar betik”, dst, kecuali dia ikut Kelas Bahasa Lampung Doeloe Boemi yang didirikan dan difasilitatori oleh penulis novel ini. Dan, untungnya saya bisa bahasa Lampung dan “terpaksa” menjadi guru bahasa Lampung dialek A (api) sejak Angkatan Pertama yang dimulai di Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2022 sehingga paham dan familliar dengan bahasa Lampung yang digunakan dalam novel ini.
Alhamdulillah, kalau demikian halnya, berarti Kelas Bahasa Lampung telah berhasil mendorong lahirnya novel yang kental dengan latar Bumi Lampung, termasuk bahasa, istiadat-istiadat, dan sumber daya alam di dalamnya.
Itu sudah. Setelah itu, novel yang menggunakan sudut pandang seorang anak-anak menyeret saya kembali ke masa kanak-kanak puluhan tahun silam. Saya seperti diajak mengingat kembali saat sekolah dasar tahun 1970-1980-an ketika membaca novel terjemahan Oliver Twist karya Charlest Dickens, Sebatang Kara karya Hector Malot, dan Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain; yang edisi bahasa Inggrisnya, The Adventures of Tom Sawyer (Collin Classics, edition published, 2011) sempat diberikan Rilda pada saya saat bertiga dengan novelis Lampung lain, Rosita Sihombing, bertemu di Kota Tapis Berseri, Oktober 2012.
“Wah, yang bahasa Indonesianya sih bacaan saya waktu SD,” waktu itu.
Eit… kembali ke Selama Air Hilir (SAH), novel setebal 418 halaman ini juga memaksa saya mengulang kembali masa-masa kecil ketika di pekon (tiyuh), keluar-masuk-naik-turun ladang, kebun, sawah, hutan, bukit, jurang, danau, lamban (mahan), dan seterusnya sebagaimana yang saya tulis dalam novel Negarabatin, Negeri di Balik Bukit (penerbit yang sama Pustaka Jaya, 2022). Wah, jadi nebeng tenar deh. Hahaa… Mau dituduh begitu juga tak masalah.
Memang ada irisan dalam kedua novel ini. Setidak karena saya membaca SAH dan menulis sendiri Negarabatin, Negeri di Balik Bukit (NNBB). Pertama, Rilda memakai nama Negeri Saka untuk kampung tua yang menyimpan banyak kenangan dan sejarah. Sedangkan saya, menjadikan Negarabatin (bahasa Indonesia: Negara Kaya) sebagai pusat penceritaan.
Lalu, saya tidak paham lokasi Negeri Saka yang mana yang dipakai oleh Rilda dalam novel ini. Saya tak perlu tanya ke ybs geh. Hahaa… Saya coba gambarannya dari sini:
“Ini tiyuh kami: Negeri Saka,” gumam Tama. Ada bangga tersirat di suaranya. “Ayo.”
Kami melintasi lapangan. Di belakang tiyuh, sebuah gunung tampak berselimut kabut. Langit senja melindap kemerahan dan suara azan Magrib sayup-sayup berkumandang.
….
Setting ini kurang lebih sama dengan Pekon Negarabatin di novel NNBB. Penandanya sama, yaitu sebuah lapangan dan gunung di belakang rumah/pekon, gunung yang berselimut kabut. Di novel Negarabatin tertulis begini:
Gunung Pesagi di belakang rumahku. Maksudku dekat dari Negarabatin….
Hal lain, jika Angkasa di SAH ‘bertemu’ Sai Alus yang yang berwajah putih dan tidak punya mulut, yang ternyata Tama mengenakan tupping; maka Uyung bayi dikisahkan didatangi Sai Alus, yang menyebabkan dia harus diobati oleh Uyuk Ukun (dukun) agar sembuh atau terbebas dari ganggungan Sai Halus.
Mengenai bentuk dan rupa Sai Alus, tertulis di SAH: “Macam-macam. Ada yang bilang kalau mereka serupa kurcaci. Ada juga yang bilang mereka serupa perempuan cantik dan lelaki tampan. Tapi banyak yang percaya kalau Sai Alus berbentuk hewan raksasa, harima dan kerbau, atau burung, dan mereka yang menjaga hutan.” (hlm. 223-224)
Selain Sai Halus ada juga makhluk aneh khas Lampung yang disebut serimol yang bersua Uyung dalam NNBB. Serimol ini digambarkan sebagai makhluk besar berbulu yang suka menculik anak-anak dan menyimpannya dalam sakunya. Ketakutan Uyung dalam NNBB begini:
Apa? Merebus air? Matilah saya, pekik hatinya. Sebentar lagi ia akan dimasukkan ke kuali direbus hidup-hidup untuk dimakan selagi hangat. Ia ingin lari…. Tapi, ia sudah capai dan tidak tahu lagi mau lari ke mana. Ia pasrah kini.
Satu lagi, Angkasa dkk dalam SAH dan Uyung dkk dalam NNBB sama-sama penggemar buku dan menjadi penganjur gemar membaca. Yang ini penting disampaikan kepada pembaca. Sebab, sejatinya inilah tujuan keberadaan novel-novel ini: meningkatkan literasi dan merealisasikannya dalam bentuk konkrit yang bukan sekadar simbolik-seremoni.
Eh iya, kayaknya saya punya dan pernah baca buku berwarna merah berjudul Perambah Hutan atau Kambing Hitam: Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung karya Ahmad Kusworo. Di dunia nyata, kayaknya saya kenal Bung Oki, Pak Tisnanta, dan Ricco. Salut kepada mereka. Lebih salut kepada Rilda yang menjadikannya inspirasi penulisan dan menggarap novel SAH ini selama dua setengah tahun.
Rilda selalu membuat saya terperangah dengan karya-karyanya. Sebelum novel ini, ia datang dengan Kereta Pagi Menuju Den Haag (kumpulan cerpen, 2010), Anomie (novel, 2017), dan Seekor Capung Merah (kumpulan cerpen, 2019). Setelah ini saya akan menunggu kisah Rilda seterusnya. “… Banyak cerita yang terjadi sejak aku membatalkan keberangkatanku ke Inggris enam tahun lalu. Ada cerita suka, ada yang duka. Aku mungkin akan menuliskan cerita-cerita itu juga. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin aku akan membiarkan cerita-cerita itu hanya menjadi milikku sendiri.” (hlm 412). Kisah apa dan siapa pun, Rilda tetap top menulis.
Alhasil, buku ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan. Percaya novel tebal-padat ini (ditambahi sama anak saya: tidak ada gambar lagi, hahaa…) akan membuat pembaca sulit berhenti hingga khatam. Sepanjang membaca SAH ini, Rilda seakan mengajak kita-orang nyeruit, mengan bangik, dan ngupi Pai. Akan banyak hal dan dimensi yang bisa diketahui, dipahami, dan menjadi bahan reflesi (juga diskusi) setelah membacanya. Apa yang saya tulis hanya sedikit perspektif dengan full narsistik. Wahahaa…
Tabik. []