Pustaka

Kolumnis Facebook

MINAT baca saya masih tinggi. Hanya barangkali akses bacaan (buku cetak) saya sangat terbatas. Sudah lama saya tidak ke perpustakaan. Saya juga tidak tahu koleksi perpustakaan ada yang baru atau tidak. Hasrat hati ingin membeli dan mengoleksi buku baru yang bagus-bagus. Apa daya, buat saya, harga buku sekarang sering terlalu mahal. Di samping, masih banyak kebutuhan lain yang lebih prioritas.

Saya masih pembaca konversional yang belum mampu merasakan nikmatnya membaca media daring dan buku digital. Bacaan mengasyikkan bagi saya adalah cetakan yang bisa dipegang, diraba-raba, dibaui kertasnya, bisa dijadikan bantal untuk tidur… Bahkan, kalau lagi kesal, bisa dibanting. Hal yang tidak bisa diperlakukan pada ponsel, laptop atau komputer.

Maka, alangkah bahagianya rasanya mendapati buku-buku di perpustakaan sebuah perusahaan pers yang pernah mengalami masa kegemilangannya di tahun 1990-an. Selama enam bulan mengurung diri di Ibu Kota akhir 2022 hingga medio 2023, di sela-sela tugas, dengan mata tua yang memerlukan kaca mata baca, saya sempat merampungkan membaca beberapa buku seperti Intel dari Comberan, kumpulan cerpen Putu Setia (1994), Student Hidjo, novel Mas Marco Kartodikromo (edisi terbitan Bentang, yang sebenarnya terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, lalu muncul sebagai buku tahun 1919), dan Puisi Orang Sakit dari Kota Singa, kumpulan sajak A. Hasjmy  (1995). Ada juga beberapa jilid buku Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Catatan Hukum-nya Karni Ilyas, buku sastra-seni-budaya, buku-buku babon waktu kuliah pelitik doeloe, dan lain-lain yang tidak saya sentuh karena sudah pernah saya baca ketika masih termuat di medianya atau ada juga yang pernah saya miliki bukunya.

Sebagai pembaca aktif, nama-nama yang saya sebut tadi: Mas Marco Kartodikromo, Putu Setia, Goenawan Mohamad, dan A Hasjmy sedikit-banyak saya mafhum sosok mereka. Selain A Hasjmy yang sastrawan pernah menjadi Gubernur DI Aceh dan Rektor IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh, nama-nama ini dikenal sebagai wartawan yang juga sastrawan.

Dari tumpukan majalah, saya menemukan beberapa tulisan hasil reportase saya di Sinar saat saya menjadi bagian dari majalah berita mingguan ini tahun 1997.

Sebuah buku lagi yang tampak tua, tak terawat, dan berdebu berjudul, Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan (terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1995) dengan susah-payah saya selesaikan membacanya karena ketebalannya mencapai 350-an halaman dengan huruf kecil-padat. Dalam wawancara-wawancaranya di berbagai media yang dihimpun dalam buku ini, Mochtar Lubis bicara keras dan tanpa tedeng aling-aling berkenaan jurnalisme, sastra, dan kebudayaan, yang kadang menyerempet-nyerempet politik tanpa ia merasa harus bergabung dengan salah satu partai politik.

Mochtar Lubis adalah manusia bebas!

(Eh iya, Ramadhan K.H. yang mengeditori buku ini dikenal juga sebagai wartawan, sastrawan, dan penulis biografi yang mumpuni. Sedangkan Salim Said yang memberi kata pengantar juga wartawan, kritikus sastra, serta pengamat film dan militer.)

Mochtar Lubis (1922–2002), wartawan kawakan yang memimpin Harian Indonesia Raya (1951–1974), yang diberedel dua kali pada rezim berbeda Soekarno dan Soeharto karena kritik dan investigasinya mengenai korupsi. Sebelumnya ia pernah menjadi wartawan  LKBN Antara dan harian Merdeka, kemudian memimpin majalah Masa Indonesia (1947-) dan majalah Mutiara. Dia pernah dipenjara 1956–1966 karena tulisan-tulisan kritisnya. Kesan dan pemikirannya selama di penjara ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif  (1980). Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan besar, yang karya-karyanya memikat dan berkali-kali memenangkan penghargaan sastra. Karya-karyanya, antara lain: Jalan Tak Ada Ujung (novel, 1952), Perempuan (kumpulan cerpen, 1956), Harimau! Harimau! (novel, 1975), Maut dan Cinta (novel, 1977), Tak Ada Esok (novel, 1951), Si Jamal dan Cerita-Cerita Lainnya (kumpulan cerpen, 1951), Tehnik Mengarang (1951), Tehnik Mengarang Skenario Film (1952), Harta Karun (cerita anak, 1964), Tanah Gersang (novel, 1966), Senja di Jakarta (novel, 1970), Judar Bersaudara (cerita anak, 1971), Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972), Manusia Indonesia (1977), Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980), Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982), dan Bromocorah (kumpulan cerpen, 1982). Karya jurnalistiknya: Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), Perkenalan di Asia Tenggara (1951), Catatan Korea (1951), dan Indonesia di Mata Dunia (1955).

Nah, saya keasyikan membicarakan Mochtar Lubis. Mestilah ada apa-apanya… Benar! Walau saya tak pernah bertemu langsung atau wawancara dengan Mochtar Lubis, hampir semua buku-bukunya sudah saya lahap sejak SD hingga tamat SMA tahun 1980-an. Karena itu apa pun yang berkaitan dengannya selalu menarik minat saya. Termasuk buku Mochtar Lubis Bicara Lurus yang baru sempat saya jumpai ini.

Dari Mochtar Lubis-lah, terutama setelah membaca buku ini, saya mendapatkan pelajaran penting. Dalam sebuah wawancara–sebagaimana dikutip dari buku ini–setelah menerima Hadiah Sastra dengan penghargaan uang sebesar Rp1 juta atas novelnya Maut dan Cinta (1977) dari Yayasan Jaya Raya pada tanggal 15 Desember 1979, Mochtar Lubis mengatakan bidang berita adalah urusan wartawan, sedangkan makna kehidupan seharusnya menjadi tugas sastrawan. Dalam karya sastra konsep yang ditampilkan adalah makna dari kehidupan. “Semua makna dari kehidupan dan nilai-nilai manusia mencoba mengajak pembaca untuk berpikir dan menentukan bagi dirinya sendiri tentang makna hidupnya, dan tempatnya berdiri dalam kehidupan ini. Dengan membaca karya sastra akan timbul minat pejabat di Indonesia untuk lebih memperhatikan nasib dan kehidupan rakyat banyak,” kata Mochtar Lubis.

Meskipun beberapa bagian dari wawancara itu tidak kontekstual dengan era pascareformasi 1998, secara substansial pandangan dan pemikiran Mochtar Lubis masih sangat relevan untuk menjaga jalannya kebebasan kreatif di segala bidang pers, sastra, seni-budaya, termasuk sosial-politik.

Percik-percik pemikiran dari buku-buku yang sempat saya baca tadi dan apa yang saya alami sendiri; apalagi setelah menulis esai pendek berjudul “Menolak Musnah” yang berisi tekad Lampung Post untuk menjaga keberlangsungan koran cetaknya, yang mendorong saya menghimpun tulisan-tulisan penting-tak penting mengenai jurnalistik, sastra, dan apa-apa yang berkaitan dengan tulis-menulis dan karang-mengarang.

Sejak doeloe, saya bercita-cita menjadi kolumnis. Makanya, saya mulai menulis di kolom-kolom media tempat saya bekerja: “Greget” (Majalah Republica FISIP Unila, 1990–1996), “Etos Kita” (Surat Kabar Mahasiswa Teknokra  Unila, 1991–1996), “Daripada Tidak” (Sumatera Post, 1998—2000), “Nuansa” (Lampung Post, 2000—2015), “Catatan Kecil” (Borneo News, 2006—2009), “Cabik Lunik” dan “Ngupi Pai” (Fajar Sumatera, 2015—2019), dan “Aidah Kidah” (Lampung News, 2000—2021).

Tapi, sejak tak bekerja di media cetak lagi, tulisan-tulisan saya tak lagi dimuat media cetak dan daring. Sebab, bukan perkara mudah bagi saya menembus media-media itu. Saya selalu kalah saingan dengan penulis-penulis top. Satu lagi alasannya, saya juga malas mengirim ke media. Saya harus tahu diri. Biarlah saya menjadi pembaca tulisan-tulisan keren dari para penulis kesohor. 

“Tapi, tulisan Udo selalu dimuat labrak.co. Keren juga,” kata sastrawan Jepara Kartika Catur Pelita yang membuat saya jadi tersipu.

Waduh, hahaa… Media sendiri. Dan, kebanyakan daur ulang dari menulis di Facebook. Kadang di Instagram. Tapi, repotnya tak bisa menulis panjang-panjang di Ig.

Tapi, yang jelas, sekarang—sejak rajin nulis di Facebook–saya lebih bebas menulis tak tentu panjang-pendeknya, tentang apa saja. Kadang serius, kadang setengah serius, kadang biasa-biasa saja, kadang pula lucu–paling tidak saya yang ketawa sendiri.

Belakangan saya menghindari isu politik yang sering membuat si penulisnya jadi serbasalah. Maksud hati memberi “peringatan” (baca: kritik) agar bisa menjadi bahan pertimbangan bagi yang dikasih tahu, eh… malah lebih sering diartikan sebagai bentuk dukung-mendukung atau tolak-menolak. Padahal kan jelas, setakad ini saya tidak pernah masuk partai politik, menjadi tim sukses kandidat tertentu atau nyaleg.

Ya sudah, tak usah diperpanjang. Saya hanya berharap buku Yang (A)gak Serius dan yang Lucu-Lucu tentang Jurnalisme, Sastra, Literasi ini bisa memberi manfaat sekaligus menghibur. Untuk sampai di situ (bermanfaat dan menghibur)  tentu buku ini harus dibaca. Pinjam dengan yang sudah punya boleh. Tapi, sangat dianjurkan beli geh. Sebab, bentuk apresiasi terhadap karya seni yang paling konkrit di zaman medsos ini, bukan sekadar kasih jempol bin ‘like’ dan komen ‘mantap’, ‘keren’, ‘luar biasa’, dst; melainkan dengan membeli karyanya atau membayar tiket pertunjukannya.

Pengantar dari penulis-jurnalis senior Juwendra Asdiansyah untuk buku ini menjadi sanjungan, kehormatan, dan kegembiraan tersendiri bagi saya. Terima kasih, Bro. Terima kasih juga saya perlu haturkan atas apresiasi Duta Baca Indonesia 2021-2025 Gol A Gong, penulis Rilda A Oe Taneko dan amateur d’histoire dan novelis Dyah Merta, pnulis, penerjemah, aktris teater Naning Schheid, dan peneliti Budiyanto Dwi Prasetyo terhadap karya sederhana ini. Buku ini menjadi tanda sayang saya kepada istri dan anak-anak. Juga, kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memungkinkan lahirnya ‘anak rohani’ saya ini.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top