Pustaka

Pengantar Gak Serius untuk Buku (A)gak Serius

Oleh Juwendra Asdiansyah

DI ANTARA hal berat dalam menulis adalah konsistensi. Konsisten untuk sering-sering menulis. Konsisten untuk terus menulis.

Dalam hal konsistensi, ada beberapa tipe penulis. Ada penulis yang jarang-jarang menulis. Sebulan bisa rilis satu tulisan, sudah hebat betul. Malah ada yang setahun cuma satu tulisan. Ini sih parah, terancam dicoret statusnya sebagai penulis.

Ada pula tipe angot-angotan. Sekali waktu tampak rajin betul menulis. Tapi, kemudian tersendat-sendat. Lebih banyak ngesot, macet-macet, sampai mogok sama sekali. Tak menulis dalam waktu yang panjang. Konon istirahat, tapi kok ya lama.

Dua tipe di atas, punya banyak stok kambing hitam: tak ada idelah, menunggu inspirasilah, sibuklah, tidak mood-lah, malaslah, dan sebagainya. Cukup banyak penulis golongan ini. Saya salah satunya.

Berikutnya, tipe si paling rajin. Endurance-nya pol-polan. Super duper produktif. Dalam sepekan bisa menghasilkan beberapa tulisan. Ada pula bahkan yang saban hari menulis. Sehari bisa kelar lebih satu tulisan.

Mereka menulis di segala waktu, segala musim, segala medan. Mereka menulis tak peduli kondisi: kala rindu atau cemburu, ketika nesu ataupun ngguyu, saat mampu maupun buntu. Saya mengenal beberapa penulis dalam tipe ini. Salah satu yang sangat terkenal adalah Zulkarnain Zubairi aka Joel K Enairy aka Zulzet dan aka Udo Z Karzi.

Udo, senior saya di surat kabar mahasiswa Teknokra Universitas Lampung, seperti punya sumur ide yang tak mengenal kering dan kemarau. Apa saja bisa ditulisnya. Sekali waktu dia menulis tema budaya, dan kali lain tema sosial. Kadang menulis obituarium, kadang sekadar catatan kegiatan harian atau ihwal tetamu yang beranjang sana ke rumahnya. Ada kala menulis fiksi, ada masa menulis puisi. Dia cakap membuat prosa, pandai pula mengukir romansa.

Tulisan-tulisan tersebut banyak dipostingnya di Facebook sehingga penggemar seperti saya dengan mudahnya tahu betapa produktifnya dia menulis. Tentu saja bukan semata status-status medsos yang bikin pria kelahiran Liwa, Lampung Barat ini terkenal. Sederet buku dan novel adalah bukti sahih betapa seriusnya Udo Z Karzi melakoni status sebagai “tukang tulis”.

Produktivitas merupakan satu hal yang mengunci eksistensi Udo Z Karzi dalam belantika kepenulisan, khususnyadi Lampung, dalam tiga dasawarsa. Kuncian lain adalah pilihan identitas “kelampungan”. Dia merupakan satu dari sedikit penulis yang produktif membuat tulisan dalam bahasa Lampung dan materi-materi kelampungan: adat istiadat, seni budaya, sejarah, dan sebagainya. Untuk hal ini, dua hadiah Sastra Rancage (2008 dan 2017) menjadi ganjaran sempurna yang sulit dibantah.

Bukan sekadar pilihan konten dan bahasa Lampung, selama puluhan tahun masa kepenulisannya, Udo dalam banyak kesempatan menegaskan diri sebagai penulis (bersuku) Lampung, sebagai orang Liwa, orang Lampung Barat. Clear and clean. Tak pernah samar-samar.

Pilihan ini menjadi tambahan atribusi, penguat identitasnya sebagai penulis cum jurnalis cum sastrawan. Pilihan cerdas yang pada awalnya mungkin saja “tidak disengaja”, namun pada akhirnya menempatkan Udo Z Karzi dalam segmen tersendiri yang kokoh, ajeg, tak tergoyahkan di dunia kepenulisan.

***

Pekan kedua Juli 2023, lewat pesan WhatsApp, Udo Z Karzi meminta saya membuat tulisan pengantar untuk calon buku barunya. “Kehormatan besar bagi saya seandainya Kak Juwe-nya bersedia memberikan kata pengantar untuk buku Yang (A)gak Serius dan yang Lucu-Lucu tentang Jurnalisme, Sastra, Literasi yang sedang proses terbit. Tabik.”

Saya tidak pernah menduga sebelumnya, dan sebab itu saya terkejut atas permintaan tersebut. Namun, pada saat yang sama saya pun merasa terhormat dan tersanjung karena bisa-bisanya penulis semalas saya diminta untuk menulis pengantar buku seorang Udo Z Karzi.

Meski begitu, tak langsung saya iyakan dong. Jual mahal dikitlah, biar tidak kelihatan betul senangnya. Saya bohongi dia. (Pura-pura) saya tolak permintaannya. Saya bilang, “Belum pantas saya, Do. Hebat Udo daripada saya.”

Supaya terlihat lebih serius, saya topang penolakan dengan sejumlah dalih. “Saya cuma beberapa kali membuat pengantar untuk buku. Pengantar untuk buku-buku saya sendiri dan buku-buku yang saya editori. Selebihnya ada dua buku kawan, itu pun saya mau karena mereka junior, usianya jauh di bawah saya.”

“Nah, untuk buku senior, apalagi yang termasuk guru-guru saya, belum pernah saya buatkan kata pengantar. Pernah ada senior yang minta, tapi sebisanya saya menolak. Alasannya jelas, sok hebat amat kasih pengantar untuk buku senior. Malu saya, merasa tidak pantas. Beneran ini. Serius, bukan merendah,” sambung saya.

Udo mendesak. Merayu lebih tepatnya. Masih via WA, dia mengirim beberapa kalimat yang sejatinya lemah sebagai rayuan tapi cukup kuat sebagai pujian dan sukses membuat saya ke-ge-er-an.

Dan, karena pada dasarnya memang cuma icak-icak nolak, akhirnya saya luluskan permintaannya. Soal icak-icak ini, Udo tidak tahu. Harap pembaca budiman menjaga rahasia, jangan bilang-bilang beliau ya!

Oleh Udo, diberinya saya tenggat delapan hari. Sungguh terlalu. Maka, masalah sesungguhnya pun dimulai. Tidak cuma satu, ada beberapa masalah.

Pertama, tentu saja, malas. Jangankan untuk orang lain, tentang orang lain, menulis untuk diri sendiri atau tentang diri sendiri pun seringkali saya malas. Tapi sudah kadung menyanggupi, pasal malas harus dilawan dengan sungguh-sungguh (sungguh-sungguh malas).

Persoalan kedua, tak ada ide. Otak beku. Saya tak tahu apa yang harus ditulis dalam kata pengantar tersebut. Ini sejatinya problem klasik saya. Sudahlah pemalas, paling tidak bisa saya menulis by request, berdasarkan permintaan. Saya menulis jika sedang ingin menulis, bukan karena diminta. Sedang ingin pun, kalau ketumbur malas, biasanya urung menulis. Lah, ingin tapi kok malas? Malas tapi kok ingin? Aneh…

Sebenarnya, buntu ide seperti ini gampang saja mengatasinya. Udo sudah mengirimkan draf-naskah bukunya. Tinggal cuplik beberapa bagian dalam buku, lalu tambahkan pendapat di bagian-bagian tersebut, problem selesai. Tulisan dijamin kelar. Masalahnya, kalau pakai cara ini, saya khawatir nanti malah jadi tulisan resensi, alih-alih kata pengantar. Tugas dari Udo kan bikin pengantar, bukan resensi.

Kalau tulisan pengantar ini tak menyinggung sama sekali materi dalam buku, bakal jadi masalah juga.  Jangan-jangan nanti dikira Udo saya belum membaca draf bukunya? Bakal kelihatan betul malasnya. Sampai sini, saya malah tambah bingung.

Sempat pula mau menulis dengan agak serius, dengan materi dan bahasa yang lebih berat. Maksudnya, biar terlihat keren dan pantas sebagai sebuah pengantar untuk buku tokoh literasi sekaliber Udo Z Karzi.

Tapi, opsi tersebut tidak jadi dieksekusi karena dua sebab. Pertama, kapastitas otak dan wawasan saya tidak memadai untuk membuat tulisan serius dengan materi yang berat dan bahasa yang tinggi. Jika dipaksakan, malah bakal ketahuan tidak pintarnya. Kasihan yang punya buku nanti. Bisa-bisa dia kena bully: alangkah banyak orang pintar, Do, kok nekat kali malah meminta pengantar dari orang seperempat pintar.

Sebab kedua, saya keburu sadar, untuk apa menulis pengantar yang serius, wong bukunya pun tidak serius. Judulnya saja “Yang (A)gak Serius dan yang Lucu-Lucu”. Jelas ini buku jauh dari serius.

Bahkan, untuk sekadar “agak serius” pun penulis tampak tidak punya nyali. Huruf “A” dalam kata “agak” diberinya tanda kurung, sehingga bisa juga dibaca “Yang Gak Serius dan yang Lucu-Lucu”. Kata “gak” maksudnya adalah nggak atau tidak. Tidak serius. Sudahlah tidak serius, masih pula ditambah “yang lucu-lucu”. Terang benderang sudah, buku ini tidak serius, sebatas lucu-lucuan belaka.

Lebih jauh saya malah berpikir, buku ini mestinya tidak perlu pakai kata pengantar. Ingin rasanya saya kirim pesan WA ke Udo, yang isinya begini: “Do, kata pengantar akan membuat buku ini tampak serius. Padahal buku ini kan tidak serius. Agak serius pun tidak, sekadar lucu-lucuan. Buku tak serius kok pakai pengantar. Ia bakal merusak citra tidak serius buku ini.”

Lantas, apakah masalah saya sudah berakhir? Belum. Kata pengantar tetap harus dibuat. Pertanyaannya, dengan kondisi serumit ini apa yang harus saya tulis sebagai kata pengantar? Tidak ada, selain ucapan selamat kepada Udo Z Karzi aka Kak Zul-nya atas kelahiran buku barunya, juga doa agar senior keren ini senantiasa sehat dan terus menulis sepanjang hayat dikandung badan. Tabik.

Kota Baru, 16 Juli 2023

—————————-
Juwendra Asdiansyah, jurnalis senior, menulis buku Sekincau:Status-Status Masa Pandemi (2020) dan Pertengkaran Orang Baik (2021).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top