Human

Refleksi Satu Tahun Kelas Bahasa Lampung Doeloe Boemi

Oleh Rilda A Oe Taneko

‘A people without the knowledge of their past history, origin, and culture, is like a tree without roots’ –Marcus Garvey.

ORANG Lampung generasi kakek-nenekku kebanyakan polyglot, menguasai banyak bahasa dan pandai bicara dengan dialek apa saja. Dengan filosofi kehidupan nemui-nyimah, mereka mampu mengganti bahasa sesuai asal lawan bicara.

Misalnya saja, kakekku, R.A. Djohan Oelangan, yang sejak kecil sekolah di E.L.S, fasih berbahasa Belanda, dua dialek Bahasa Lampung: dialek A dan dialek O, dan bahasa Indonesia. Ketika berjumpa saudaranya yang asal Kedaton, Atupuan berbicara dalam dialek A, sementara ketika bersama saudaranya yang dari Menggala, Gunung Sugih dan Sukadana, Atupuan bicara dialek O. Bersama suku lain, Atupuan pakai Bahasa Indonesia. Lalu Bahasa Belanda dengan yang memang bisa berbahasa Belanda.

Puisi bahasa Lampung di Kelas Bahasa Lampung. | Ist

Datuk Zainal Abidin Pagaralam, adik Atupuan yang juga pendiri dan peletak dasar-dasar pembangunan Provinsi Lampung, bahkan menguasai lebih banyak bahasa lagi, termasuk Belanda, Inggris, dan Jerman.

Selain secara lisan, generasi ini juga menguasai bahasa tulisan. Masih fasih menulis menggunakan had Lampung: ka-ga-nga.

Lalu, yang kuperhatikan, generasi setelah Atupuan agak berbeda. Setidaknya ada tiga kelompok besar.

Pertama, yang puritan. Hanya bicara dengan satu dialek. Misalnya orang Pubian harus bicara dialek A saja, harus dialek A yang Pubian, harus sesuai dengan kosakata yang dipakai di kampung tertentu.

Kelompok kedua, yang berbahasa Lampung campuran. Dialek A dan O. Biasanya kelompok ini berasal dari kota atau daerah-daerah yang heterogen. Kelompok ini menggunakan kata-kata dari dialek A dan O secara otodidak. Ada yang paham asal katanya, ada yang tidak.

Yang ketiga, yang  tidak bisa berbahasa Lampung sama sekali. Di kelompok ini ada dua jenis juga: yang tidak bisa dan mau belajar, atau tidak bisa dan tidak mau belajar. Jika mau belajar, maka akan masuk ke jenis kelompok satu atau dua. Aku termasuk kelompok ini, tidak bisa berbahasa Lampung sama sekali, dan ingin belajar.

Sekarang, sudah amat langka orang Lampung yang masih bisa menulis dengan aksara ka-ga-nga. Meski mungkin masih ada orang-orang Lampung polyglot seperti generasi Atupuan, yang paham mana dialek A dan O dan bisa berbicara sesuai asal lawan bicaranya, tapi tampaknya tidak banyak lagi.

Selama perjalanan satu tahun Kelas Bahasa Lampung Doeloe Boemi, sejak Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2022, dan sampai Batch 4 ini, sayangnya, ada kutemui orang-orang Lampung yang menganggap bahasanya sendiri yang lebih tinggi dari yang lain, yang bahasa di kampungnya adalah yang paling benar, yang ribut tak henti hanya karena beda penggunaan huruf ‘r’ atau ‘gh’ atau ‘kh’. Kelompok ini biasanya paling suka protes tapi NATO, bersuara paling ramai dan bising, dan merasa paling tahu, tapi tak punya karya sama sekali. Dan ujung-ujungnya, mereka ini yang buat pusing orang-orang yang baru mau belajar. Melihat perilaku mereka ini, maka tak heran jika akhirnya Bahasa Lampung masuk kategori terancam punah.

Karena itu, Kelas Bahasa Lampung Doeloe Boemi adalah oase bagi kami. Di kelas ini, kami menawarkan kelas terpisah dialek A dan dialek O. Alhamdulillah, ternyata peserta yang Menggala mau belajar dialek A, yang Kedaton dan Krui mau belajar dialek O. All welcome tanpa sekat suku, umur, tempat tinggal dll. Semua melebur jadi satu dan melihat perbedaan dialek sebagai kekayaan bahasa Lampung. Perbedaan kata adalah keragaman sinonim yang sepatutnya dirayakan dan bukan jadi perdebatan.

Bahkan, ada peserta yang bukan bersuku Lampung dan tidak pernah tinggal di Lampung, dan mau belajar kedua dialek dengan gembira.

Ketika kita belajar bahasa asing, Inggris misalnya, kita tidak mempermasalahkan dialeknya. Entah British, entah American-English. Entah dialek London, Manchester, atau pun Liverpool. Seiring jalan, kita akan tahu sendiri perbedaannya, dan bisa menyesuaikan dengan kebutuhan. Bahkan ada yang bilang bahasa internasional itu bukan English, tapi Broken-English. Yang terpenting kembali pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.

Yang kita perlu hanya membuka pikiran dan mempelajari bahasa apa pun dengan gembira. Semoga yang sukanya ribut-ribut akan lebih dewasa menerima perbedaan, mampu merayakan keragaman, dan bisa berpikiran maju. Semoga Bahasa Lampung akan lestari selalu. Semoga orang-orang Lampung mampu kembali menjadi polyglot, menguasai bahasa sendiri dan menguasai banyak bahasa dunia, seperti juga generasi-generasi sebelumnya.

Generasi yang memiliki akar budaya yang kuat, terbuka pada dunia, dan mampu tumbuh besar tanpa kehilangan jati diri.

‘A tree with strong roots laughs at storms’ –Malay proverb.

‘When the roots are deep, there is no reason to fear the wind’ –African proverb.

Amin.

Lancaster, 27 Mei 2023

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top