Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (24)


Pitha yang baik,
Ketika masih sama-sama kuliah di kampus ini, sesekali kita bertemu di PKM atau di kantin Kopma. Tetap sebagai dua orang asing. Kita senantiasa akrab dalam tatapan, dalam perasaan, dan di dalam sanubari, meski tetap dalam kebisuan.
Aku katakan, engkau cinta pertamaku, Pitha. Di lubuk hatiku, aku tetap menyayangimu, Pitha. Tak ada yang berubah dariku. Hanya, tentu saja semua tersimpan rapi dalam-dalam di relung yang paling tersembunyi.
Mungkin engkau tahu apa yang terjadi padaku selama ini. Tapi, mungkin juga tidak. Makanya aku tetap memerlukanmu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa, yang setidaknya menurutku, penting tak penting, perlu tidak perlu, menarik tidak menarik aku sampaikan dalam surat panjang ini. Semua kisah ini aku tuturkan kepadamu. Hanya kepadamu. Untuk kesekian kalinya, aku memintamu agar kau tak jemu membacanya.
Aku teruskan suratku ya.
***
Aku baru saja mengantar Vitalita ke perpustakaan, memilih buku-buku untuk referensi, dan membantunya menyusun outline paper yang ditugaskan dosen Sosiologi.
“Kak, sekalian bantu ketikin ya,” ujar Vita.
“Wadau, ini sih bukan membantu namanya. Tapi, pelimpahan tugas,” ledekku.
Pitha merajuk. Tapi, tambah manis.
“Tolong sih Kak. Kakak kan biasa nulis-nulis kayak gini.”
Aku tambah semangat menggodanya dengan mengatakan, “Yee… mana bisa gitu. Mahasiswa ya harus bisa nulis. Bikin ndiri…”
“Iih… menyebalkan. Kakak ini… mau bantu nggak?”
“Iya… iya, apa sih yang nggak bisa buat Vita seorang!”
“Yee…”
“Tapi Kakak minta upah ya…“
“Apa?”
“Nanti deh. Sini dekat, Kakak kasih tahu…”
Tapi, … semprul betul Afdal yang tiba-tiba nongol di redaksi majalah Republica. Dia berkata, “Nut, ikutan diskusi Fordima6 ya!”
“Kapan?” tanyaku.
“Sejam lagi,” sahut Afdal.
Wadaw, acaranya di Jalan A Yani, Durianpayung, dekat kantor Lampung Post. Berarti harus berangkat sekarang dong. Kita-kita harus naik angkot. Dari kampus, untuk sampai ke tempat diskusi harus tiga kali ganti angkot.
Sebalnya, lagi asyik-asyik berduaan sama Vita kok harus meninggalkannya. Mengajak Vita iya nggaklah. Vita tak terlalu suka dengan diskusi-diskusi politik kayak begini. Dilema ini. Tapi, tidak ikut diskusi kali ini rasanya tak enak hati pula dengan Afdal dan kawan-kawan lain.
“Ikut nggak?” desak Afdal.
“Ya, ikut. Sebentar ya. Tunggu saya,” kataku,
Afdal keluar dan dari kaca jendela, aku lihat bergabung dengan mahasiswa bergerombol duduk di bawah pohon di Gedung E FISIP.
Asyik. Kembali berduaan dengan Vita.
“Eee…“ Aih, aku dan Vita kok ngomongnya barengan ya. Jadinya, tertawa bareng juga setelah itu.
“Ya, udah, Kakak yang ngomong duluan.”
“Lupa… Ya, sudah Vita saja yang ngomong…”
Diam sejenak.
“Kakak minta apa tadi?”
“Aahh… nggak jadi. Vita masih ada kuliah?”
“Iya.”
“Ya, udah. Kakak ke diskusi ya. Tadi diajakin Afdal.”
“Diskusi apa sih Kak?”
“Enggak tahulah, teman-teman. Katanya sih mau bahas korporatisme negara.”
“Apa itu Kak?”
“Nggak tahu. Makanya mau diskusi. Mau ikut nggak?”
“Kakak saja.”
“Eh, iya… kalau ketemu Vita ngapain juga bahas-bahas pelitik, negara, dll. Hahaa… Mending hal-hal yang asyik-asyik saja.”
“Apa hayoo…”
“Ya apa saja. Tentang kita… tentang….”
“Halah…”
Diam sejenak.
“Ya sudah. Kakak sudah ditunggu Afdal tuh.”
“Ya, Kak. Vita juga mau kuliah.”
“Ok, nanti pulang kuliah sendiri ya. Diskusinya nggak tahu berapa lama.”
“Jangan khawatir, Kak. Nanti bareng Tya dan Ella.”
“Tiga sekawan…tak terpisahkan kalian ya.”
“Iyalah, Kak.”
“Siiplah. Kakak pergi ya.”
“Ya, Kak. Hati-hati ya. Jangan lupa tugas paper Vita ya!”
“Siyaap, Vita sayang. Nanti malam dikerjakan.”
Aku pun melangkah keluar ruang redaksi Republica dan menghampiri Afdal di depan dan langsung cabut ke tempat diskusi.
>> BERSAMBUNG
6 Fordima: Forum Dialog Mahasiswa
