Kental Nuansa Etnik, tapi Bukan Kebanggaan Primordialisme

Oleh Irene Teng Siat Hwa
Judul:
Negarabatin, Negeri di Balik Bukit
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Jaya, Bandung
Cetakan: 1, 2022
Tebal: 168 hlm
ISBN: 978-623-221-834-5
LUMAYAN lama saya tenggelam dalam kesibukan sebagai mak rumtang, saya terpaksa menunda janji untuk me-review novel Mas Udo (ini harusnya udo aja ya, nggak pake ‘mas’ lagi). Maaf ya, Mas. Saya ternyata segombal itu.
Membaca judul dan melihat kovernya, terbersit di pikiran saya bahwa novel ini adalah kisah tentang ilmu kebatinan, atau semacam dongeng surealistik, atau sesuatu yang berbau klenik-klenikan.
Eternyata saya salah dong.
Novel ini ternyata novel coming out yang sangat realistik dan down to earth. Jenis tulisan dan style yang sangat saya favoritkan.
Dengan humble dan cute, juga teramat jujur, (Mas) Udo melemparkan saya ke petikan-petikan kenangan masa kecil yang dialami oleh sebagian besar generasi kelahiran 70-80an. Menciptakan deja vu yang terhablur dengan cantik, membuat saya seakan berkaca dengan diri saya sendiri.
Meskipun sepintas seperti novel kanak-kanak, (Mas) Udo cukup berani dengan kosakata dewasa. Di antaranya penggunaan kata jerabuk (jembut) dan nenet (kemaluan anak lelaki, mungkin sama artinya dengan tytyd). Ini keberanian yang saya acungi jempol, karena tahun-tahun belakangan ini penghalusan atau eufimisme dalam karya sastra sudah menyempitkan penggunaan kosakata tertentu, sehingga dianggap tabu dan mencarut.
Dilatarbelakangi keindahan alam Liwa dan ditaburi berbagai kosakata serta peribahasa Lampung, novel ini sangat kental dengan nuansa etnik, meskipun uniknya tidak terasa sebagai kebanggaan primordialisme. Karena itulah novel ini dapat dinikmati oleh non-Lampung sekalipun.
Jadi wajar saja kecantikan novel ini (ketika dalam versi bahasa Lampung) membuatnya didapuk sebagai pemenang Hadiah Sastra Rancage tahun 2017.
Di sisi lain, ada hal-hal yang harus saya garis bawahi. Selain beberapa typo, ada semacam inkonsistensi dalam plot maupun POV. Misalnya (Mas) Udo berganti-ganti menggunakan POV1 dan POV3 tanpa batasan jelas. Inkonsistensi ini juga terjadi pada plot prolog dan isi novel, sehingga terjadi semacam ketidaksinambungan di antaranya: sampai akhir pembaca tidak diberi tahu apa penyebab si ‘aku’ enggan pulang ke Negarabatin.
Namun, selain itu, novel ini amat layak masuk daftar buku favorit dan direkomendasikan. Yang jelas novel ini novel favorit saya dan saya merekomendasikannya.
Way to go, (Mas) Udo! Kudos! []
——————–
Irene Teng Siat Hwa, novelis
