Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (15)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

CUKUPLAH rasa terluka, sakit, dan kecewaku. Hanya karenamu, Pitha. Aku hendak melanjutkan perjalanan yang tentu masih akan panjang lagi. Ya, melangkah saja mengikuti alur yang sudah ditentukan. Tak selalu mulus. Ada saja situasi yang membuatku terguncang, oleng, bahkan terlempar jauh untuk kembali berdiri tegak meneruskan gerak kaki menuju suatu tempat. Berhenti sejenak di tempat tersebut. Lalu melanjutkan lagi ke tempat lain. Istirah sebentar, lalu melanjut langkah kaki lagi ke tempat lain lagi. Begitu seterusnya.

Ya, ternyata hakikat kehidupan adalah perjalanan tanpa henti dari satu tempat ke tempat yang lain. Sampai mati! Bahkan, kematian pun hanya perhentian sementara untuk perjalanan panjang selanjutnya untuk memasuki alam yang satu ke alam lainnya.

Sebagai manusia biasa toh aku hanya bisa mengikuti perjalanan yang kadang menyenangkan, kadang memerihkan… Ah, itu sebenarnya bergantung pada kita bagaimana kita memaknai warna-warni perjalanan itu.

Aku teringat seorang temanku yang mengingatkanku. Janganlah engkau diombang-ambing perasaan sedih-gembira, kecewa-bangga, luka-bahagia, menangis-tertawa,  dan seterusnya. Sebab, semua emosi itu tak lebih dari reaksi dari dalam diri kita terhadap apa yang terjadi di luar diri kita, hal di luar diri kita, orang lain yang bukan diri kita. Mengapa kita kita harus menanggapi situasi-situasi yang terjadi bukan oleh kita secara berlebihan dan cenderung melukai diri sendiri. Janganlah dilakukan!

Kita cukup merespon segala sesuatu itu dengan porsi yang setepatnya. Tak perlu berlebih. Tapi, jangan pula bergeming. Kalau kita bijak menyikapi semua itu, kita akan menjadi orang yang paling senang dalam menjalani hidup ini. Tak ada beban yang terlalu berat bagi kita. Semua bisa kita hadapi dengan ikhlas, gembira, dan menganggap segala sesuatu itu sebagai hal yang memang semestinya kita hadapi.

Seandainya aku bisa mengikuti itu, tentu aku pun akan menjadi orang yang paling bahagia. Tapi, bagaimana pun aku manusia biasa. Ketegaranku kadang kalah oleh keringkihanku. Kekuatanku acap tersingkir oleh kelemahanku. Kekokohanku sering rontok oleh kerapuhanku.

Kadang aku hayati benar penderitaan, kedukaan, dan rasa terluka itu dengan sepenuh jiwa seolah rasa kesakitan yang teramat sangat itu menjadi kenikmatan tersendiri. Semacam kepahitan yang terasa manis terkecap.

Tapi, untungnya aku memiliki semacam alarm yang mengingatkanku untuk tidak berketerusan menghukum diri dengan penderitaan. Di batas tertentu aku akan bangkit dari keterpurukan dan kembali melangkah meskipun tertatih untuk memulai sesuatu yang mungkin lebih berarti.

***

Mulai sekarang aku mau bercerita dengan riang-gembira kepadamu, Pitha.

Rutinitas bersekolah, bermain, menjelajah bentang alam kota kita: ladang, kebun, sawah, sungai, hutan, bukit, lurah tak membuatku menjadi jenuh. Semua berlaku normal, semua membuatku senang-senang saja. Keluarga, tetangga, guru, teman sekolah, karib-kerabat, semua orang di sekitarku membuat hidupku menjadi indah.

Tak terasa, aku dan teman-teman seletingan harus pula meninggalkan SMlP. Ya, sudah ada pengumuman kelulusan. Ada rasa sedih karena mesti meninggalkan sekolah tercinta. Tapi, tentu kegembiraan juga meliputi karena keberhasilan menempuh studi di sekolah menengah pertama itu. Dan, rasa senang bertambah karena aku pun telah juga diterima di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri terbaik di Kota Ini.

Lalu, aduuh… kenapa ini terjadi lagi.

>> BERSAMBUNG

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top