Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (14)


Pitha,
RAHASIA hatiku padamu tetap tetap tersimpan rapi di lubuk terdalam, tersembunyi rapi di sanubari dalam waktu lama, terabadikan dalam kenangan tak lekang oleh waktu. Kerinduan-kerinduan padamu kian membuncah setelah persuaan kita di Desa K. Aku kembali menelusuri jalan yang mempertemukan kita kala itu. Aku ingin menampak lagi rawut wajahmu, hidungmu, rambut panjangmu, senyummu, atau tutur kata lembut yang membuatku terpana. Tapi, aku tak menjumpaimu kembali. Jalan-jalan, lapangan, jejeran rumah panggung, yang aku lewati seperti sengaja menyembunyikanmu. Aku menjadi sunyi, aku menjelma sepi, aku merasa hampa.
Ke mana engkau, Pitha? Kenapa engkau kembali menghilang, nyumput, dan kini kian menjauh. Padahal, aku merasa engkau telah kembali dan Tuhan telah sengaja mengatur pertemuan kita kembali tempo hari. Dan, benar-benar mukjizat karena tidak ada yang tahu, kecuali aku, kau, dan Yang Maha Melihat, bahwa aku telah bersua denganmu. Bahkan, teman-teman kita yang seharusnya masih mengenalmu ketika melewatimu, nyatanya tak melihatmu ketika itu. Hanya aku yang secara naluri merasa menyaksikan dan kita pun berjumpa karenanya.
Sayang, sekejap saja. Engkau pun segera menghilang. Aku pun merasa kehilangan. Hasilnya hanya membuatku menderita oleh rindu dan keinginan untuk menemukan dirimu kembali. Lalu, aku menyesali diri. Seandainya saja aku bisa sedikit menahan waktu, membuat janji untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Kesempatan tak akan berulang dua kali. Tapinya, nyatanya aku diberi lagi kesempatan yang kedua. Tapi, aku sia-siakan. Tapi, nyatanya pula aku masih belum punya nyali untuk mendekatimu lagi. Engkau lepas lagi. Ehh, kapan pula aku pernah menggenggam tanganmu, mendekapmu dengan segenap rasa kangen atau merasa memilikimu seperti tak kan berpisah lagi.
Karena kepengecutanku, engkau malah tak tahu sama sekali apa yang tersembunyi di dada dan sebenarnya hendak kunyatakan dengan sepenuh rasa romantis, melankolis atau mungkin herois. Seharusnya, apa pun tanggapanmu, apa pun sikapmu, apa pun reaksimu, setelah engkau paham hatiku, aku tak mesti ambil peduli. Yang penting, engkau tahu betapa aku menaruh pengharapan padamu. Sejak dulu, sejak engkau menjadi teman sebangku, sejak engkau memberiku sejumput mawar, yang kemudian mekar berseri mengabadi dalam diriku.
Tapi, itulah dilema diriku. Itulah yang aku tak mau. Itulah yang takutkan… Manakala aku dengan segenap keberanian yang aku punya mengutarakan segalanya padamu. Lalu, semuanya sirna, musnah… Hasrat, kehendak, dan pengharapanku padamu yang sekian lama aku jaga, pelihara, dan simpan hancur lebur seketika. Aku pun…
Ah, aku tak mampu membayangkan itu.
Biarlah semua hasratku padamu ada sumputkan di ceruk dada yang terdalam. Biarlah semua segera berlalu dan secara alamiah menjadi seperti sediakala. Kini, aku sepi, sunyi, sendiri… tanpamu.
>> BERSAMBUNG
