Cerita Pendek

Sebuah Meja Kecil

Cerpen Rifdal A

SEBELUM malam pergi. Setelah hiruk-pikuk orang meninggalkan kedai ini, aku kembali menemukan kesedihan tiba dengan gegas menghampiri. Ia duduk tepat di meja pojok kedai dan menatapku pelan-pelan. Aku tau ia akan datang saat-saat begini, ketika aku tak menemukan hal yang ingin dikisahkan pada tuts-tuts laptop. Kemungkinan ia menagih sesuatu yang tak ingin aku ingat. Sesuatu yang jika ia tiba, aku akan terpelanting ke bilik meja dengan menekan-nekan dada.

Ada garis-garis di mana hidup yang jauh tertinggal di belakang tak mesti kita kenang. Meskipun, garis tersebut menawarkan kuasa untuk saling menautkan. Dan sekarang, aku di posisi tersebut. Kesedihan seperti seorang penembak jitu yang siap melepas peluru untuk menembus kepala dan jantungku. Bedanya, kesedihan memakai peluru kenangan yang terbuat dari cerita-cerita indah dan senyum mantan. Sayangnya, ketika aku ketepatan sendiri, tak kuasa aku menghindar. Setelah itu lahirlah sungai-sungai kecil di wajahku.

Dan, jika tebakanku benar, kesedihan akan pelan-pelan berjalan ke meja kecil tempat aku duduk seharian. Sesuai pengalamanku, ia akan menanyakan macam-macam. Suatu kali pernah ia menanyakan mengapa aku menembus hujan hanya untuk mengantarmu, mengapa akal dan pikiran mengalah begitu saja pada kuasa hati? Dan anehnya itu tepat saat aku di kamar mandi. Tentu, aku sedang sendiri. Maka sungai-sungai kecil yang riaknya tak mampu diterka orang datang pada ujung mataku. Dan suaranya menembus tembok-tembok. Sialnya ada orang di luar menunggu antrean. Setelah sungai surut aku memaki-maki kesedihan yang tiba tak disangka itu.

***

Beberapa bulan setelah aku membakar satu-satunya potret kita di balkon kamar dan memutuskan pergi jauh ke kota sebrang, sebetulnya aku tetap memberi sisi kecil dalam hatiku untuk mengingatmu meski sejatinya sudah berulang-kali aku lepas di setiap tempat yang Bis jurusan kota kita dan kota tujuanku berhenti. Aku tak memahami betul, tetapi anehnya kesedihan selalu membuntuti. Kadang bergelantung di bahu jalan ketika aku tiba-tiba sedang melihat jendela Bis. Aku tau, jika ini aku ceritakan padamu kau akan tertawa ngikik dan mengingat cerita ketika malam-malam sehabis aku datang warung kopi dank au menelpon hanya untuk mengabariku bahwa di dahan pohon mangga ada kuntilanak bergelantung dan menatapku. Tiba-tiba saja aku lari tanpa mempedulikan motor. Luntang-lantung.

Kau tau, kesedihan sudah berjalan ke meja kecilku di kedai ini dan tertunduk. Seakan-akan bahunya di tumbuhi pohon besar dan rimbun. Pohon yang berbuah rindu. Pohon yang tumbuh atas keputusan-keputusan bodohmu. Aku sebetulnya berusaha tak memedulikan apapun, termasuk kesedihan itu. Aku tetap menatap layar laptop yang kosong dan berpura-pura mengetik sesuatu. Sialnya, kesedihan itu tak mengurungkan niat untuk menghampiriku. Ia duduk dengan mata yang tepat menatapku. Mata yang menawarkan kesia-siaan. Mata putus asa. Mata senja. Dan aku tak mampu untuk menolaknya sekali lagi.

Aku masuk ke matanya dan terhanyut. Serpih-serpih kisah kita yang tinggal puing terangkai rapi kembali. Doa-doa yang sering kita lepas ke langit terdengar lagi. Suara khasmu membelai telingaku dan akhirnya tanggul mataku jebol dan mataku banjir. Sungai-sungai meluap. Aku sesenggukan, kau tau. Meski tidak ada orang di kedai ini, aku tetap merasakan aneh sendiri. Mengapa kebodohan-kebodohanmu tercipta tepat saat aku memutuskan memberi segala kuasa? Mengapa? Hingga akhirnya aku gagal memaknai apa arti perasaan ini. Di sudut paling kecil meja kedai ini. []

Yogyakarta, 2022

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top