Menyesal dan Kalau Sudah Ajal dari A Hasjmy
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa gunanya kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada muda yang kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju arah padang bakti
SAYA langsung mengingat soneta berjudul “Menyesal” karya A. Hasjmy yang tertera dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar tahun 1970-an sampai 1980-an ini; begitu menemukan buku kumpulan puisinya, Puisi Orang Sakit dari Kota Singa (Jakarta: tanpa penerbit, tanpa ISBN, 1995).
Dari pengantar Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof Dr Syamsuddin Mahmud diketahui jika buku puisi A Hasjmy ini ditulis saat dia sakit dan diopname di National University Hospital, Singapura, 12 April–9 Mei 1994, untuk sebuah operasi besar berisiko bagi orang yang berusia 80 tahun.
Ternyata, beberapa buku puisi A Hasjmy lahir ketika dia dirawat di rumah sakit. Malam-Malam Sepi di Rumah Sakit MMC terbit setelah ia dirawat di Rumah Sakit MMC tahun 1992. Lalu, opname kedua di rumah sakit yang sama tahun 1993 hadirlah buku puisi Mimpi-Mimpi Indah di Rumah Sakit MMC.
A Hasjmy (nama lahir: Muhammad Ali Hasyim) dengan nama alias Al Hariry, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsun (lahir 28 Maret 1914–meninggal 18 Januari 1998) dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah Aceh.
Ia dikenal juga sebagai pejuang kemerdekaan, tokoh politik, dan pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Aceh (1957—1964) untuk dua kali masa jabatan.
Ia mengenyam pendidikan di Al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang dan Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (profesor) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ia sempat menjadi Gubernur Jakarta diperbantukan Menteri Dalam Negeri periode (1964-1968) dan menjabat Ketua Majelis Ulama Aceh.
Ia pernah menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh, dan jabatan-jabatan penting lainnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Jakarta. Dia juga pernah menjadi tahanan dalam penjara Jalan Listrik, Medan karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereu’eh di Aceh, September 1953-Mei 1954.
Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya seperti Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936), Dewan Sajak (1938), Bermandi Cahaya Bulan (roman, 1939), Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman, 1940), Dewi Fajar (roman, 1943), Tanah Merah (roman, 1950), Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen, 1963), Jalan Kembali (kumpulan sajak, 1963), Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (1963), Nona Press Room (novel, 1963), Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia (1978), Cinta Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980), dan Kesusasteraan Indonesia dari Zaman ke Zaman (1983).
Seperti sajak “Menyesal” yang dikutip di awal, puisi-puisi dalam antologi Puisi Orang Sakit dari Kota Singa ini banyak mengingat pesan dan kesan orang-orang yang dekat A Hasjmy, tempat-tempat yang meninggalkan pengalaman batin, organ-organ tubuh seperti hati, jantung, hati, limpa. Juga, beragam perilaku manusia, peristiwa-peristiwa yang menimbulkan hikmah, dan puitisasi beberapa surat Al-Qur’an.
Tentu, terselip nasihat kepada para pembacanya agar bisa menggunakan nikmat hidup dan sehat untuk semakin meningkatkan harkat kemanusiaan kita.
Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar lewat “Derai-Derai Cemara”. Tapi, bagi A. Hasjmy dalam sajak “Kalau Sudah Ajal” (berlinimasa: Singapore Lyson Hotel, 11 April 1994) demikian:
Dengan air mata berlinang
Kunyatakan keteguhan hati:
Ajal manusia telah ditentukan
Pengunduran atau penyegeraan
Kemungkinan tidak terbuka… []