‘Ibu Bumi Ayah Matahari’ Diansi: Warna Lokal Bisa Menjadi Jalan Proses Dialektika


SAJAK-SAJAK Diansi memiliki imaji yang kuat. Beberapa puisi Diansi menggunakan ikon lokal Makassar. Warna lokal ini menjadi menarik dan bisa menjadi jalan untuk proses dialektika.
Sastrawan Oyos Saroso HN mengatakan hal itu dalam peluncuran dan diskusi buku puisi Ibu Bumi Ayah Matahari karya Diansi di Dijou Coffee Wisma Bandar Lampung, Jalan ZA Pagar Alam, Bandar Lampung, Sabtu, 31 Desember 2022 malam.
Meskipun demikian, kata Oyos, Diansi masih perlu mempertegas konsepsi puitikanya sehingga perjalanannya ke depan sebagai penyair akan makin kokoh.

“Kesalahan elementer terkait bahasa harus dihindari. Meskipun penyair memiliki licentia poetica — hak untuk tidak taat asas atau menyimpang dari kaidah bahasa — penyair tetap harus paham tentang tata bahasa. Misalnya tata penulisan kata, harus ada konsistensi,” ujarnya.
Menurut Oyos, peran bahasa bagi penyair adalah mendasar. Penguasaan segala segi bahasa menjadi penting bagi seorang penyair. “Saya melihat beberapa puisi Diansi masih muncul beberapa kesalahan Bahasa. Kesalahan bahasa ini bukan licentia poetica,” tegasnya.
Ia mencontohkan pemakaian kata “Buk” dalam judul puisi. Bagaimana pun kata “Buk” tidak baku. Alih-alih memperkuat puitika puisi, kata ini malah merusak. “Mengapa tidak menggunakan kata yang benar?”
Oleh karena itu, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi TerasLampung.com ini berharap agar penyair.yang ingin menerbitkan buku puisi sebaiknya meminta bantuan editor atau penyunting. Editor atau penyuntinglah yang akan meminimalkan atau bahkan menihilkan kesalahan bahasa.
Oyos melihat sejak rubrik sastra di media cetak tak ada lagi, saat media daring merebak, puisi lahir dan amat mudah terpublikasi.di ruang-ruang website atau media online.
Meskipun demikian, kata Oyos, ruang sastra saat ini banyak sekali celah untuk dimasuki dan dimanfaatkan. “Tetapi harus banyak belajar atau memiliki banyak referensi dan inferensi,” ungkap Oyos.
Buku Ibu Bumi Ayah Matahari mengemas 42 puisi yang berisi pergulatan kreatif Diansi dalam kurun 2016-2018. Peluncuran buku ini dihadiri kalangan seniman, mahasiswa, dan pecinta sastra di Lampung. Sejumlah penyair Isbedy Stiawan ZS, Edy Samudra Kertagama, Iin Zakaria, Fitri Angraini juga turut membacakan puisi karya Diansi.
“Saya bersyukur bisa meluncurkan buku ini di Lampung, sebuah wilayah yang dulu sama sekali tidak saya kenal dan tidak saya bayangkan,” kata perempuan berdarah Makassar ini.
Diansi yang bernama asli Sinar Siang Daeng Tarrang kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1 Januari 1980 ini. Ia menyelesaikan sarjana keguruan di IAIN (UIN) Alauddin, Makassar tahun 2003.
Fokus menulis puisi sejak usia 16 tahun, dia sering ikut dalam pembacaan di radio-radio swasta dan RRI.
Buku Ibu Bumi Ayah Matahari (terbit 2020) adalah buku puisi ketiga perempuan berdarah Makassar Bernama ini setelah Prosesi rindu (2017) dan Maha Sepi (2018). Puisi-puisinya yang lain dimuat 12 antologi bersama para penyair Nusantara. []
