Oleh Moh Naufal Zabidi
Judul: Pembebas dari Kesesatan
Penulis: Imam Al-Ghazali
Penerjemah: Bahruddin Achmad
Penerbit: Al-Muqsith Pustaka
Tebal: 161 Halaman
Terbit: Mei, 2020
ISBN: 978-602-1583-43-2
TATKALA mencari kebenaran, manusia sering kali terjebak oleh kepentingan dan kekuasaan. Kebenaran selalu diperebutkan oleh berbagai kelompok. Tak ayal jika hati dan pikiran seorang pencari kebenaran selalu terombang-ambing. Hal ini yang dialami imam Ghazali, iamenempuh semacam penderitaan saat mencoba menelusuri “hakikat kebenaran”.
Pada zamannya, Al-Ghazali menemukan bermacam golongan yang berlebihan dalam beragama. Berbagai aliran filsafat, ilmu kalam, tasawuf, hingga ajaran kebatinan menyertai beliau di tengah perjalanan hidupnya. Keadaan semakin diperparah, golongantersebutmerasa hasil pemikirannya paling benar,sehingga golongan yang tidak sejalan dengan pemikirannya dianggap keliru.
Namun, keadaan ini tidak membuat Al-Ghazali langsung menghakimi mereka. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, ia mencoba masuk untuk mempelajari dan berdialog dengan beragam macam golongan tersebut. Walhasil, Al-Ghazali berhasil membedah buah pikiran mereka dengan metode yang dia miliki.
Hujjatul Islam—demikian julukan kaum muslim terhadap Al-Ghazali—hidup pada periodisasikejayaan pendidikan Islam. Ia pernah menguraikan landasannya untuk memperoleh kebenaran. Menurutnya, kebenaran harus dicari, dan terus dicari dalam waktu yang tak terbatas. Kebenaran tidak hadir dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang lain. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.
Landasan ini sudah ia lakukan sedari kecil, sampai-sampai ia harus melepaskan belenggu taqlid dan menggusur benteng keyakinan (akidah) yang ia terima sejak kecil. Pada dasarnya,taqlid dilakukan karena ketidakmampuan orangsaatmemperoleh dan memberikan hujjah.Sehingga, orang tersebut ikut dalam suatu golongan meskipun tanpa adanya proses validasi.
Kesadaran seperti ini juga timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disampaikan Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
Dari paparan tersebut, kita beralih pada kisahnya yang dituliskan dalam bukunya ini. Disana dijelaskan,bahwadengan bekal ilmu dan keberanian, Al-Ghazali menyelami tiap sisi gelap akidah. Upaya ini dilakukan agar ia tidak terjebak dalam kemusykilan. Di sisi lain, upaya ini juga ia lakukan agar terbukanya jalan kebenaran bagi umat Islam ketika mendalami ilmu.
Percobaan pertamanya dilakukan ketika usianya mencapai lima puluh tahun. Salah satu golongan yang dimasuki adalah penganut Ilmu Kalam. Dari sini ditemukan beraneka macam tujuan dan fungsi utama Ilmu Kalam, meskipun nantinya, ilmu ini tidak berhasil memuaskan Al-Ghazali tatkala mengarungi lautan keilmuan.
Adapun yang ia uraikan adalah tujuan ilmu kalam itu sendiri. Ilmu tersebut menjaga dan memelihara akidah Ahli Sunah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan. Namun, sebagaimana pengakuan Al-Ghazali sendiri, bahwa ia tidak menemukan manfaat dari Ilmu Kalam, kecuali manfaat itu kembali kepada golongan itu sendiri.
Penyebab pengakuan tersebut tentu memiliki alasan. Al-Ghazali menjelaskan, bahwadisiplin Ilmu Kalam mulai tidak terfokus pada kajiannya, pembahasan terlalu melebar dan mulai melenceng dari tujuan. Disamping itu, para Ahli Kalam lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi ilmu itu sendiri (Hal. 28).
Dalam prosesnya, masih ada beberapa firqoh (golongan) yang ia kunjungi. Golongan kebatinan dan filsafat misalnya, Al-Ghazali pernah menyelami lautan ilmu tersebut saat perjalanannya. Akan tetapi, golongan tersebut masih belum memberikan jawaban. Malahan, Al-Ghazali dalam bukunya tahafut al-falafifah, menjelaskan dengan gamblang mengenai kesesatan-kesesatan aliran filsafat.
Dengan demikian, pada titik ini kita bisa tarik konklusi, bahwa perjalanan Al-Ghazali tatkala mendalami bermacam aliran masih belum mendapatkan kepuasan. Ia masih meragukan validitas aliran-aliran tersebut dengan berbagai alasan yang dipaparkan. Kegunaan ilmu yang seharusnya menuntun kepada ajaran Allah, justru bertolak belakang dengan-Nya.
Pada lain tempo, setelah Al-Ghazali mengalami pergumulan dialektis, ia bertemu dengan kaum sufi. Kaum ini menjadi satu-satunya yang tidak menerima kritikan dari Al-Ghazali. “Keberhasilan mereka” kata Al-Ghazali “ialah menghilangkan rintangan jiwa dari sifat tercela. Sehingga jiwa ini akan sampai pada pengosongan hati selain Allah ta’ala dan menghiasinya dengan dzikir kepada-Nya” (hal. 89).
Metode beragama tasawuf ini yang kelak akan ditempuh Hujjatul Islam dengan mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Damsyik Suriah.Hal ini dilakukan karena menurutnya, inti ajaran tasawuf bukan terletak pada teori melainkan pada aplikasinya.
Begitulah narasi dan perjuangan Al-Ghazali dalam mencari hakikat kebenaran. Meskipun perjalanannya dibarengiberbagai dilema, tetapi tidak menjadikan hatinya ciut untuk terus melangkah. Berbagai upaya yang telah ia alami berujung pada satu titik, yakni ketikabertemu aliran sufi. Sebab, di sana ia menemukan pentingnya amal yang mengantarkannya pada Allah, tidak seperti ilmu lain yang membuat hatinya tetap kosong.
Al-Ghazali menjadi sosok yang patut dicontoh umat Islam. Karena dianggap penting, gagasan Ghazali dikaji di berbagai forum sawala ilmiah dan pemikiran. Di sisi lain, umat tidak hanya bisa bercermin berdasarkan argumen teoritis, tapi juga amaliah serta perjuangan menuju jalan Allah Swt.
Walhasil, mengingat buku ini hanya salah satu ikhtiar mengulik kembali pemikiran dan perjuangan Al-Ghazali. Masih banyak khazanah pustaka yang tidak kalah penting untuk dipelajari dan diamalkan. []
———-
Moh Naufal Zabidi, Mahasiswa
Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, aktif di LPM Rhetor.