Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (02)


AKU tidak suka gombal ya. Dan, memang aku tak banyak-banyak bicara denganmu, Pitha. Yang jelas, aku selalu bersemangat berangkat ke sekolah, belajar, bertemu guru-guru dan teman-teman, dan tentu saja dengan teman sebangku, ya… dirimu. Meski merasa rikuh, selalu menyenangkan berdekat-dekat denganmu, sesekali berbincang-bincang, senyum-senyum di kulum, dan melihatmu tertawa.
Cinta… aduh, aku baru tahu sedikit-sedikit dari nonton film-film yang dibintangi Roy Martin, Sophan Sophian atau Rano Karno atau baca-baca sedikit dari kisah roman-romanan. Merasakan sendiri rasa jatuh cinta kayaknya belum… belum berani. Tapi, aku dengar cerita selentingan, seorang cewek sekelas kita pacaran dengan tetangganya yang baru yang beda sekolah dengan kita. Tak bisa kubayangkan bagaimana model pacaran anak seumuran 11-12 tahunan. Tapi, itulah yang terjadi.
Diam-diam, aku suka memperhati segala gerak-gerik teman sebangkuku. Bagiku, apa pun yang engkau kata katakan, apa pun yang engkau lakukan, termasuk diammu selalu menyenangkan. Di antara teman-teman perempuan, engkau lebih menonjol. Tentu saja! Selain manis, engkau bisa menyaingi teman laki-laki dalam pelajaran, sesuatu yang tidak bisa dilakukan perempuan sekelas lainnya. Dalam waktu sebentar saja, engkau bisa merebut rangking di kelas kita yang sebelumnya dikuasai kaum pria. Tidak! Aku sendiri tak merasa tersaingi. Aku malah senang engkau menjadi juara kelas. Walaupun karenamu, aku tersingkir dari tiga besar rangking kelas. Aku merasa aku memang selalu berada di bawahmu dalam soal kepintaran. Sesekali aku suka juga berdebat denganmu. Tapi, tetap saja aku selalu kalah. Tak mengapa, aku suka saja melihatmu senang.
Pitha yang cantik,
Pagi, siang atau sore-sore ketika sedang di dalam rumah, aku suka memandang ke jalan raya lewat jendela dari balik tirai… Aku selalu terpesona melihat engkau berjalan anggun dengan wajah ceria, meski keringat mengucur di keningmu.
Mestinya aku keluar, berlari menjumpaimu, menyapamu, mengajakmu mampir walau cuma basa-basi karena tak pantas juga rasanya dirimu yang mampir ke rumahku atau mengantarkanmu sampai depan rumahmu.
Tapi, ah… khayalanku saja. Tak terlalu sering engkau berjalan sendirian di muka rumahku. Kalaupun engkau kepergok jalan sendiri dan aku sedang sendiri pula, paling aku cuma mampu menyebut namamu, “Pitha”. Pelan, bahkan dirimu mungkin tak mendengarnya. Setelah itu mulutku terkunci. Dan engkau… engkau pun cuma membisu… senyum kecil lalu termangu. Lalu, kita hanya bicara lewat tatapan mata. Aku tak mengerti, tentu engkau juga. Banyak yang aku dan mungkin juga engkau yang ingin ungkapkan, tetapi tak ternyatakan dalam kata.
Di luar kelas, kita tak banyak bicara. Tapi, aku selalu punya alasan untuk mengajak atau aku yang ikut teman-teman datang ke rumahmu. Hampir setiap malam Minggu atau malam-malam lain dengan alasan belajar bersama. Di antara obrolan-obrolan, candaria, dan permainan kita, aku malah sibuk menata hatiku sendiri yang tidak paham harus bagaimana meletakkan perasaanku.
Ah, entahlah.
Satu momen yang paling kuingat adalah saat pelajaran keterampilan. Oleh Bu Guru kala itu kita sekelas diminta membuat prakarya bunga dari kertas. Tak terkecuali lelaki dan perempuan harus memotong, menjalin, dan membentuk kembang dari kertas-kertas dengan kawat-kawat kecil. Nah, di sini kelemahanku, tanganku tak terlalu terampil untuk membuat bunga-bunga kertas. Beberapa kembang yang aku buat tidak proporsional dan sama sekali tak ada indah-indahnya. Sementara aku lihat bunga-bunga buatanmu bagus-bagus. Aku jadi minder kau buat. Dan, menjadi tambah kecil hati saat kau tengok hasil kerjaku.
Kau tertawa melihat bunga-bungaku yang kelihatan keriput, tak segar, dan jelek. Sedangkan aku memberengut saja. Lalu, kau ambil bahanku, tanganmu yang lentik mulai bergerak membentuk sebuah bunga merah yang mekar dan segar.
“Begini…” ujarmu menyodorkan bunga Mawar merah kepadaku.
“Bagus. Buat saya ya,” sambutku.
“Iya,” katamu.
Satu bunga. Kau tambah lagi, bunga kedua, bunga ketiga… sampai beberapa bunga, termasuk daun-daun, ranting, dan menatanya dalam sebuah jembangan.
Ingin kusimpan bunga-bunga darimu sebagai kenangan. Tapi, apa daya Bu Guru meminta bunga dikumpulkan dan mungkin menjadi perhiasan di ruang tamunya.
>> BERSAMBUNG
