Human

Antara Budaya Nasihat dan Ewuh Pekewuh

Oleh Gufron Aziz Fuadi

BEBERAPA tahun yang lalu profesor SAS memuji dan mengunggulkan Islam Nusantara yang lebih harmonis dibandingkan Islam di tempat lain yang cenderung keras. Ungkapan ini disampaikan di depan Grandsyaikh Al Azhar, yang kemudian membalas dalam sambutannya bahwa Allah lebih tahu bahwa bangsa Arab lebih cocok untuk lahir, tumbuh dan berkembangnya Islam.

Dalam berbagai kitab Sirah Nabawiyah, kita akan menemukan tentang karakteristik bangsa Arab sehingga lebih cocok dibanding bangsa manapun sebagai tempat lahirnya Islam. Diantaranya karena mereka memiliki harga diri yang tinggi, semangat juang yang kuat, perilaku yang terus terang apa adanya dan lain sebagainya.

Budaya dan perilaku tersebut memungkinkan Islam berkembang sangat cepat, hanya dalam kurun sepuluh tahun setelah hijrah, sudah merebut perbatasan Romawi dan Persia. Dua negara super power pada masa itu dan tiga puluh tahun kemudian sudah sampai di India dan Bukhara di Asia Tengah. Sedangkan kearah Barat dan Utara membebaskan Syam dan Mesir dari cengkeraman Romawi.

Mungkin tingkat penyebaran dakwah yang masif seperti itu tidak akan terjadi bila Islam turun di wilayah zamrud khatulistiwa. Bukan karena bangsanya lebih rendah dari bangsa Arab, tetapi karena ada model budaya yang bisa menjadi hambatan, yaitu budaya ewuh pekewuh.

Kata ewuh pakewuh berasal dari bahasa Sansekerta.  Ewuh yang berarti repot, sedang pakewuh memiliki arti tidak enak perasaan.

Budaya ini, belakangan sering disadari sebagai penghambat atau kendala tidak jalannya proses perbedaan pendapat dan pandangan masyarakat. Tetapi sulit untuk dihilangkan,  karena budaya ini sudah berhasil menghegemoni masyarakat (terutama masyarakat Jawa).

Soeharjono (2011) mendefinisikan ewuh pakewuh sebagai sikap sungkan atau rasa segan serta menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior.

Berdasarkan definisi ini maka budaya nggih-nggih mboten kepanggih berkembang menjadi sikap masyarakat.  Budaya ini juga menyuburkan kebiasaan ABS. Membiarkan para atasan, senior atau bos yang berbuat salah atau menyimpang. Seolah olah menjadi kewajiban kita untuk tutup mata, asal boss senang.

Akhirnya kita sering tersandra dengan sifat ewuh pekewuh. Ingin berkata benar dan tegas, tapi malu dan sungkan mengatakannya. Sehingga akhirnya tidak bisa berkata benar apa adanya apa lagi bersikap tegas.

Akibatnya, perilaku menyimpang yang awalnya  dilakukan seseorang (terpandang) pada akhirnya  terus bertambah, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Padahal, ketika penyimpangan semakin banyak, berat dan besar maka proses penyelesaiannya pun semakin komplek dan berat pula. Dan tidak menutup kemungkinan dalam rentang waktu yang lama, penyimpangan semakin menggurita. Awalnya  hanya satu dua orang, kemudian terjadi secara masal tanpa memandang level sosial lagi. Persis seperti penjual narkoba yang tadinya hanya para mafioso akhirnya meluas sampai ke jenderal berbintang dua.

Rasulullah mengajarkan kepada kita dengan sabdanya:

قل الحق ولو كان مرا – 

“Katakanlah yang benar, walaupun pahit.
Atau jujurlah, meskipun itu pahit”.

Perintah ini, meskipun simpel kelihatannya, tetapi sulit diterapkan oleh masyarakat yang kental dengan budaya ewuh pekewuh.

Apalagi kalau ditambah dengan: Mikul dhuwur, mendhem jero (memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam) jasa seorang pemimpin atau orang tua harus dijunjung tinggi tinggi sedangkan kesalahannya harus ditutupi, dipendam sedalam dalamnya.

Islam juga mengajarkan dalam banyak tempat agar kita menghidupkan budaya saling nasihat menasihati.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-ashr: 1-3)

Maka, tak heran ketika kita mendengar kisah Umar bin Khatab, khalifah yang wilayahnya kekuasaannya membentang dari Mesir sampai perbatasan India, tertunduk lama dipinggir jalan mendengarkan nasihat dari seorang wanita tua, Khaulah binti Tsa’labah.

Imam Al Qurthubi menceritakan pada suatu hari pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, Amirul Mukminin pernah berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda.

Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti. Dinasihatilah Umar oleh perempuan itu.

Ia berkata, “Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa…”

Nasihat ini cukup lama, hingga adzan dzuhur berkumandang.

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top